Kami, aku dan teman-teman kantor, merencanakan pergi ke Salatiga untuk menghadiri pernikahan teman kami, Ahmad Sarifudin, S. Psi dengan Henny Cristian, S.Pd pada tanggal 28 Juni 2009. Inilah sebenarnya yang menjadi inti acara dari kegiatan Tour de Java kami yang telah dimulai sejak tanggal 26 Juni 2009. Pagi itu, setelah sarapan, kami bersiap-siap berganti baju batik seragam kami dan berangkat menuju Salatiga pada pukul 8.30 pagi.
Tiba di Salatiga tepat pukul 10 pagi dan kami langsung menuju kediaman orangtua teman kami. Bis kami berhenti di ujung jalan. Rumah telah dipenuhi tamu yang hadir walaupun masih ada sederet bangku yang sepertinya disediakan khusus untuk kami, namun pelaminan masih kosong, pasangan pengantin belum hadir (mungkin juga menunggu kami). Sambil menunggu kehadiran pengantin, para tamu dihibur oleh 2 orang penyanyi cantik, yang bergantian membawakan lagu-lagu berlanggam Jawa ataupun Keroncong. Tak lama kami duduk, tampaklah iring-iringan rombongan pengantin memasuki jalan masuk yang kami lewati tadi. Serentak kami, rombongan berpakaian batik, ikut berdiri. Kami pikir, seperti resepsi yang biasa kami hadiri di Jakarta, pengantin akan langsung masuk dan duduk di pelaminan. Tapi ternyata tidak, sebelum memasuki rumah, ada keluarga yang melakukan ‘serah terima’ pengantin, yang diawali dengan penyampaian maksud kedatangan pengantin oleh ketua rombongan pengantin. Penyampaian maksud kedatangan ini pun diberi tanggapan oleh wakil penerima tamu dari pihak tuan rumah. Serah terima ini disampaikan dalam bahasa Jawa dengan ritme, volume dan tempo khas orang Jawa, yang membuat kami yang semula berdiri dengan penuh semangat, akhirnya duduk satu per satu.
Setelah serah terima disampaikan, didahului pengiring pengantin, pengantin didampingi orangtua kedua belah pihak masuk menuju pelaminan. Pengantin tiba di pelaminan, yang kemudian dilanjutkan dengan penyampaian kata sambutan. Perias pengantin memberi petunjuk kepada pengantin untuk melakukan tahapan Saling menyuapi. Pengantin perempuan menyuapi sang lelaki demikian sebaliknya, maksudnya bersuami istri hendaknya rukun, akrab lahir batin saling menerima apa adanya, untuk itu dalam bahasa Jawa bojo (istri) diganti menjadi Jodo (jodoh), mencari istri (bojo) lebih gampang ketimbang mencari jodo (jodoh). Dalam falsafah Jawa : Kewajiban suami : Hangayani (memberi rejeki), Hangomahi ( memberi rumah), Hangayemi (membikin tenteram, ayem), Hangayomi (melindungi), Hangatmajani (memberi keturunan jiwa mulia), sedangkan Kewajiban istri : Gemi-nastiti (hemat cermat), Ngati-ati (hati-hati), Reti-surti (siap-teliti), Ngrukti (memelihara), Setya-bekti (setia berbakti).
Saling menyuapi dilanjutkan dengan Upacara sungkeman / Ngebekten yaitu kedua pengantin berlutut untuk menyembah kepada Bapak dan Ibu dari kedua pengantin. Dalam hal ini bermakna bahwa kedua pengantin tetap berbakti kepada Bapak / Ibu pengantin, serta mohon doa restu agar Tuhan selalu memberikan rahmatnya. Suatu kewajiban moral tradisional bagi sang mempelai untuk secara fisik menunjukkan/menyatakan bakti dan hormatnya lahir batin kepada orang tua dan para pinisepuhnya dengan gerakan tertentu, seraya mohon do’a restu dan mendapat ridho dari Tuhan agar selalu mendapatkan bimbingan dan petunjuk di dalam membangun keluarga dan berguna bagi Nusa dan Bangsa.
Sementara prosesi dilaksanakan dan pengantin berfoto sesuai petunjuk perias pengantin, kami disuguhi minum dan makan, yang diantarkan kepada kami para tamu. Ini yang semula agak janggal buat aku karena biasanya pesta pernikahan yang aku hadiri, makanan dihidangkan secara prasmanan. Namun menurut penjelasan temanku, memang beginilah tata cara disini. Mengantarkan makanan satu per satu kepada tamu, tentu akan melibatkan banyak petugas dan ini akan melibatkan tetangga dan kerabat dari empunya acara. Justru disinilah unsur gotong royong masih lekat terasa.
Setelah penyampaian Ayat Suci Al Quran dan Nasehat bagi kedua pengantin, acara berakhir, para tamu dipersilakan untuk memberikan ucapan selamat dan doa restu kepada pengantin dan keluarganya. Namun buat kami, rombongan teman Syarif belum diijinkan pulang. Keluarga masih menyediakan makanan buat kami, wuih makan lagi? Hm kami disediakan nasi hangat, sambal tempe tumpang, ikan goreng dan lalapan. Ini kesukaanku, sayang untuk dilewatkan. Aku ambil sedikit nasi dan sambal tempe tumpang, benar-benar sedap…dulu ini makanan kesukaan ayahku almarhum dan menurutku, ibukulah yang paling mantap membuat sambal tempe tumpang karena pasti ditambahi dengan potongan daging tetelan yang empuk.
Jam tepat menunjukkan pukul 12.00, sudah waktunya kami mohon pamit karena perjalanan masih akan dilanjutka menuju ke Semarang. Lagi-lagi kami mendapat buah tangan dari keluarga dan pengantin, ada kimpul, gula merah, jajanan dan lain-lain. Beginilah ketulusan dan kemurnian hati orang dari desa, semoga kebaikan mereka tidak luntur dengan polusi ibukota. Terimakasih buat temanku, Syarif…semoga pernikahan kalian langgeng sampai kakek nenek dan seterusnya…