Kreativitas seperti tidak ada habisnya bagi penulis yang juga penyanyi dan pencipta lagu bernama akrab Dee ini. Dewi Lestari, demikian nama lengkapnya, kembali menerbitkan karyanya yang keenam dan diberi tajuk Perahu Kertas. Karya berbentuk novel ini menawarkan citarasa yang berbeda dibandingkan dengan karya-karya Dee sebelumnya. Selain memiliki citarasa berbeda, novel ini juga melewati sebuah proses yang dalam ungkapan Dee sendiri, ”Petualangan baru dalam tema, genre, dan juga proses kreatifnya.”
Seperti apa itu? Simak saja wawancara khusus yang dilakukan oleh Mizan.com dengan Dee berikut ini.
Kapan tepatnya karya ini dibuat? Berapa lama prosesnya?
Sebetulnya ini karya lama yang “dibangunkan” kembali. Pertama kali saya menuliskan Perahu Kertas (dulu judulnya Kugy & Keenan) pada 1996. Lalu, pada saat sudah tiga perempat selesai, proses menulisnya sempat terhenti. Sebelas tahun kemudian, tepatnya pada 2007, saya mendapat tawaran dari sebuah perusahaan content provider untuk menerbitkan novel digital dalam bentuk WAP yang akan dipasarkan oleh perusahaan telco lewat HP (pada saat itu Excelcomindo). Jadi, orang-orang bisa baca novel lewat layar HP mereka. Pada saat itulah saya terpikir untuk menulis ulang Perahu Kertas dan menjadikannya novel digital pertama di Indonesia karena saya memang ingin memberikan materi yang fresh dan bukan sekadar digitalisasi novel-novel saya yang sudah beredar di pasaran.
Kendala semacam apa yang menjadi tantangan dalam proses pembuatannya?
Karena naskah lama, tentunya banyak sekali penyesuaian waktu, konteks, bahkan jalan cerita. Bisa dibilang saya memang memulai lagi dari nol. Dan pada saat itu deadline saya cukup mepet, jadi saya pun dipaksa untuk mengubah sistem menulis saya. Pada akhirnya novel tersebut bisa saya selesaikan dalam waktu 60 hari kerja, padahal itulah novel terpanjang yang pernah saya tulis (hampir 450 halaman).
Anda sengaja indekos untuk menulis novel ini dengan para mahasiswi, seperti apa efeknya bagi proses penulisan?
Sebetulnya nggak sengaja ngekos. Hehehe. Untuk sistem kerja yang intensif sebagaimana yang saya terapkan dalam penulisan Perahu Kertas, saya membutuhkan semacam ”markas besar” untuk menulis, di mana tempat itu aman dari segala distraksi, dan saya bisa menerapkan jam kerja yang disiplin. Akhirnya saya pilih cari tempat kos. Nulisnya sih seperti ngantor: saya berangkat pagi lalu pulang sore, atau pergi siang lalu pulang lagi menjelang makan malam. Dan begitu, sampai di rumah saya nggak menyentuh lagi pekerjaan saya. Tapi ternyata punya tempat kos seperti itu membantu juga untuk mengembalikan spirit dan suasana kuliah sebagaimana setting di cerita Perahu Kertas. Rasanya lebih menjiwai. Waktu saya nulis, kadang-kadang suka kedengaran tetangga-tetangga kamar saya, yang notabene anak-anak kuliah, berkumpul, menggosip, ngobrolin tugas, dsb. Kadang-kadang juga kita makan bareng di meja makan bersama. Jadi, secara suasana lebih dapet rasanya.
Apa beda Perahu Kertas dengan karya-karya sebelumnya?
Bisa dibilang inilah cerita saya yang benar-benar ada di kategori fiksi populer. Karya-karya saya sebelumnya lebih bernuansa sastra atau berada di tengah-tengah antara sastra dan fiksi populer. Jadi segmen pembaca yang dituju untuk Perahu Kertas pun lebih lebar secara usia.
Kenapa pilihan ceritanya lebih kepada pembaca remaja?
Perahu Kertas menceritakan tentang dua anak lulusan SMA yang masuk ke dunia perkuliahan dan kemudian menghadapi berbagai tantangan dalam mencapai impian mereka. Otomatis pembaca yang bisa relate dengan masalah seperti itu adalah pembaca dengan usia remaja, tepatnya muda-dewasa.
Anda punya tujuan khusus dalam hal ini?
Nggak juga, sih. Kebetulan memang tema naskah Perahu Kertas dari sebelas tahun yang lalu isinya demikian. Dan saya nggak berniat mengubahnya hanya karena umur saya sekarang. Saya justru ingin mengawetkan spirit dan fondasi cerita Perahu Kertas sebagaimana yang saya tulis sebelas tahun yang lalu karena di situlah memang ”nyawa”-nya.
Bagaimana novel ini mengakomodasi pembaca bukan remaja?
Menurut saya, Perahu Kertas adalah bacaan dengan rentang usia pembaca yang lebar. Walaupun usia karakter-karakternya muda dan gaya penulisannya lebih ngepop, dalam Perahu Kertas banyak lapisan permasalahan yang esensial dan mendalam, misalnya hubungan orangtua-anak, keberanian untuk jujur pada kata hati, kegigihan untuk mencapai cita-cita, dsb. Dan menurut saya, tema-tema itu adalah persoalan universal yang menjadi pergelutan siapa saja, terlepas dari umurnya berapa.
Anda tidak khawatir dianggap melenceng dari karya-karya sebelumnya?
Tidak terlalu. Bukan berarti nggak khawatir sama sekali. Hahaha! Yang penting siap mental saja bahwa karya ini pastinya beda dengan karya saya sebelumnya. Tapi sebetulnya saya memang nggak pernah ingin stagnan dalam satu warna saja. Jika diperhatikan dengan jeli, setiap buku saya warnanya beda-beda, sekaligus mirip-mirip. Ada benang merah yang menautkan semuanya. Tidak terkecuali Perahu Kertas. Saya tetap yakin para pembaca yang mengenal karakter tulisan saya dengan baik akan tetap menemukan ”Dee” di dalam Perahu Kertas.
Ini merupakan ”petualangan” baru Anda dalam proses berkarya?
Iya. Petualangan baru dalam tema, genre, dan juga proses kreatifnya.
Adakah keinginan khusus tentang respons pembaca atas novel ini?
Saya hanya ingin mereka menikmatinya seperti saya pun sangat menikmati proses menulisnya. Perahu Kertas saya rancang sedemikian rupa sebetulnya untuk memenuhi kehausan saya pribadi akan fiksi populer yang seru, menyentuh, sekaligus bernas. Saya berharap semoga pembaca juga mengalaminya seperti itu.
Adakah perbedaan buku ini dengan versi WAP?
Versi cetak ini lebih lengkap, ada beberapa bagian cerita yang bahkan dalam versi WAP tidak ada. Bisa dibilang ini adalah versi yang lebih sempurna, juga lebih enak dibaca tentunya karena nggak harus lihat lewat layar mungil sebuah HP.
(Sumber : Mizan.com, Bookoopedia.com, Pribadi)
hmmm aku jatuh cinta pada Dee, waktu membaca recto verso. Dia berhasil membuat aku menangis dalam waktu 4 jam aku membca keseluruhan novel di suatu sabtu.
Waktu baca Filosofi Kopi, hmmm dalem…
Aku punya semua karyanya, tapi recto verso, adalah yang pertama kubaca. Akankah aku seperti penggemar Paolo Coelho yang kecewa akan antiklimaks setelah membaca alchemist?
Sudah punya buku ini di Jakarta. Tinggal nunggu ngambilnya dan… yang terpenting waktu untuk membacanya.
EM