Rencana semula dari rumah, mau nonton film Rumah Tanpa Jendela di Teras Kota, yang jam tayang 20.05, eh tapi ternyata tidak ada penayangan jam tersebut. Sebenarnya sudah mau pulang saja, tapi suami mengajak anak-anak untuk cari film yang lain. Ya sudah, karena ada si bungsu, Daniel, kak Dita dan kak Arum mencari jadwal film yang lain, yang dapat dinikmati Daniel juga. Akhirnya terpilih film dari Thailand, yaitu The Little Comedian, yang menceritakan kisah tentang seorang anak kecil laki-laki bernama Tock yang semestinya adalah calon pewaris keluarganya yang telah bekerja sebagai pelawak dari generasi ke generasi. Tapi ada sesuatu yang salah sebagai Tock tampaknya tidak mewarisi apapun kegembiraan dari keluarganya: dia bisa tidak membuat tertawa satu orang pun. Ketika Tock bertemu Ice, dokter kulit temannya, yang berbeda jauh usianya, satu-satunya perempuan yang bisa tertawa untuk leluconnya, kisah persahabatan mereka dimulai.
Review lengkap tentang film ini ada disini. Menurut aku pribadi, di awal cerita, film ini terasa monoton, karena kesannya jadul, mungkin karena settingnya berada di negara Thailand, tapi dengan kelucuan dan keluguan dari Tock dan teman-temannya, maka cerita sederhana ini menjadi menarik. Ditambah lagi pertemanan antara Tock dengan Ice yang secara tak sengaja dikenalnya. Persahabatan ini begitu sederhana, berawal dari ketertarikan seorang anak yang menginjak remaja, yang suka kepada Ice karena Ice menyukai leluconnya, padahal selama ini, ayahnya pun tidak menghargai kemampuannya membuka lelucon.
Cerita bergulir dengan bagusnya, emosi penonton pun dibuat naik turun, dari yang membuat kita tertawa sampai tegang karena keberanian seorang anak Sekolah Dasar, dengan uang yang terbatas, bepergian seorang diri ke sebuah kota besar, dan juga keharuan melihat hubungan kasih antara ayah dan anak, antara Plern si ayah dan Tock, yang baru bisa dipahami melalui pembicaraan dengan Ice.
Film ini juga membawa pesan kepada orang tua, untuk menghargai bakat dan talenta yang dimiliki tiap anak, tiap anak mempunyai kekhususan yang berbeda satu sama lain dan jangan memaksakan kehendak orangtua kepada anak walau diakui mereka punya bakat keturunan dari nenek moyang. Tidak ada yang salah, jika seorang anak tidak mewarisi bakat itu, walau di akhir cerita, akhirnya bakat seni dari Tock pun muncul saat ia membawakan karya seni pada hari kelulusannya dari Sekolah Dasar.
Haru, lucu, tegang dan sedikit tambahan cinta yang sederhana, ada didalam film Thailand yang pertama aku tonton ini. Lumayan, cukup menghibur.