Mirota Yogyakarta

Siapa yang belum tahu Mirota Yogyakarta ? Hampir sebagian besar orang yang pernah ke Yogyakarta, pasti tahu Mirota dan pernah kesana. Yang pernah kesana pun pasti ndak akan bosan datang kesana. Walau letaknya di ujung akhir jalan Malioboro, kalau kita datang dari arah Tugu, toh aku selalu mampir kesana. Kadang ada pernik yang lucu, yang unik ada disana. Dan harganya pun hampir lebih miring dengan mutu yang baik, dibanding kita harus berlelah-lelah tawar menawar di sepanjang jalan Malioboro (walau kadang tawar menawar di kaki lima Malioboro selalu tak pernah kulewatkan juga).

Mirota dibangun sejak tahun 1987, lokasinya berseberangan dengan Pasar Beringharjo, hanya bedanya Mirota, yang tidak kalah ramainya dengan Pasar, buka dari pukul 8 pagi sampai dengan pukul 21 malam. Jadi karena aku dan teman-teman, baru selesai mandi selepas magrib, maka kami pun baru tiba agak gelap di Malioboro dan Mirota.

Masuk ke dalam Mirota, pengunjung akan disambut oleh seorang pelayan yang menyerupai abdi dalem kraton Yogyakarta yang lengkap dengan busana tradisional dan keramahannya tapi oh tidak, kali ini aku bahkan tidak berani menengok ke arah wajah pelayan di pintu depan itu karena suaranya terdengar berat dan seram. Sebelum pulang, aku beranikan untuk mengambil foto pelayan penjaga di pintu itu, benar-benar seram ..mungkin supaya tidak ada pencopet masuk kedalam Mirota ya 🙂

Aroma dupa yang tercium dengan pekat selagi aku mencari-cari pakaian batik untuk suami dan si bungsu serta sarung untuk ibu dan oleh-oleh teman. Ditambah dengan iringan musik tradisional, suasana jadi sungguh terasa njawani. Aku berjalan keliling di lantai 1, ada aneka jamu, pakaian batik, kaos, sarung, taplak meja, yang penuh sesak dengan pengunjung, Di lantai 1, juga ada seorang ibu yang membatik disana, kita bisa mengamati prosesnya dan seorang mas penjaga yang ‘tidak berwajah seram’ mengijinkan aku untuk memotret pembatik itu.

Selanjutnya aku mencoba naik ke lantai 2 untuk melihat-lihat keramik, tempat lilin, tempat tissue, barang-barang dari kuningan, kayu, barang antik, aneka wayang dan pernak pernik lainnya.

Setelah puas berkeliling, aku sempat untuk mampir membeli Coklat Monggo, coklat khas Yogyakarta, di dekat meja Kasir, yang akan aku ceritakan kemudian.

Mirota…Mirota, memang itu saja isinya, tapi selalu ngangeni…teringat pesan dalam bahasa Jawa yang berbunyi “Urip sejatine gawe Urup”...mengunjungi Mirota membuat hidupku lebih ‘urup’..ntah kenapa…mungkin juga karena semakin lama disana, semakin banyak yang mau dibeli..hahaha…:-)