Dilema Nada dan Tata

Kamis siang itu, aku duduk kelelahan di deretan kursi di jalur 6 Stasiun Tanah Abang. Ya betapa tidak lelah, pagi itu aku berusaha mengejar bis Feeder BSD untuk berangkat menuju kantor pusat di jalan MH Thamrin Jakarta. Beruntung aku bisa naik bis yang berangkat pukul 06.10 sehingga bisa tiba di kantor sekitar pukul 08.00 dan sempat sarapan bubur ayam langganan yang aku beli di belakang gedung sebelah kantorku.

Selesai menambah kelengkapan berkas persyaratan kenaikan pangkat beberapa karyawan (termasuk kenaikan pangkat-ku) untuk periode bulan April 2012 ini dan mengambil beberapa dokumen yang terbit, aku melanjutkan perjalananku menuju Stasiun Tanah Abang untuk menaiki kereta api menuju ke Depok Universitas Indonesia dengan tujuan mengambil legalisir ijasah Pasca Sarjana di Ruang PPMT (Pusat Pelayanan Mahasiswa Terpadu), depan Gedung Rektorat. Naik kereta api dari jalur 3 menuju Depok ini sangat nyaman sekali karena dilakukan bukan di jam sibuk, tiba disana, aku lanjutkan menaiki bus kuning (mahasiswa disana menyebutnya Bi-Kun alias bis kuning) menuju Ruang PPMT. Berada di lingkungan kampus seperti ini, membuat aku ingin berkuliah lagi. Belajar terus tanpa henti. Beruntung aku, dokumen legalisir yang telah aku proses sejak bulan Juni 2011 masih ada dan sudah siap diambil, sudah cukup lama memang, karena selain legalisir, aku juga minta menerjemahkan ijasahku kedalam bahasa Inggris. Tak lama berada disana, aku kembali lagi menempuh jalur yang sama, naik bus kuning menuju stasiun UI Depok, lanjut naik kereta menuju Tanah Abang. Sayang kali ini aku tidak mendapatkan tempat duduk, karena kereta sudah penuh oleh penumpang dari arah Bogor. Oh ya legalisir ijasah ini juga diperlukan sebagai salah satu syarat kenaikan pangkat yang disertai dengan penyesuaian ijasah S2 ku.

Tiba di stasiun Tanah Abang ini, aku menunggu waktu cukup lama untuk dapat naik kereta AC atau Commuter Line menuju Serpong. Dan di saat menunggu ini, datanglah dua anak, yang satu masih usia SD, mari kita sebut namanya Tata dan yang satu sudah cukup besar,rupanya adalah kakak dari Tata, kita sebut Nada. Penampilan kedua anak ini, cukup baik, mereka memakai baju dan sepatu yang bersih. Tata duduk tepat di sebelahku dan menebarkan senyumnya. Semula aku merasa lelah dan enggan bercakap-cakap, tapi anak ini menolehkan kepalanya dan menarik mulutnya mengajakku tersenyum beberapa kali. Mau tak mau, akhirnya aku melontarkan pertanyaan standar, ‘mau kemana ?’ dan percakapan menjadi berlanjut.

Kedua anak ini, Nada dan adiknya, Tata, berasal dari Angke dan mereka bermaksud menuju rumah ibu dan neneknya di Serpong. Nada berusia 18 tahun, tamatan SMP dan sudah memiliki anak usia dua tahun yang dititipkan di rumah mertuanya di kampung. Suami Nada adalah seorang mandor bangunan,yang baru ditangkap polisi karena kendaraan yang digunakan tidak memiliki surat-surat. Perjalanan yang akan mereka berdua lakukan ini adalah dalam rangka mengantarkan Tata kepada ibu atau nenek mereka. Selama ini Tata tinggal bersama Nada dan suaminya karena tidak diurus ibunya dan ibunya juga kerap bersikap kurang baik kepada anak-anaknya. Mereka bertujuh bersaudara, tidak ada seorangpun yang tinggal bersama ibu mereka. Yang menyedihkan dari percakapan ini, Tata yang berusia 8 tahun tidak bersekolah padahal dia bercita-cita menjadi seorang dokter.

Bagaimana ini bisa terjadi ? di jaman sekarang ini, di tengah kota, ada anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Sementara aku sendiri selalu menggebu dengan kegiatan belajar dalam bentuk apapun. Aku bertanya mengapa ia tidak bersekolah, jawaban yang diberikan sangat beragam, semula dikatakan lokasi sekolah jauh,lalu disebutkan malas belajar dan terakhir tidak ada biaya, sementara mereka bersaudara hidup pas-pasan. Tata memang tampak tidak antusias ketika kusarankan untuk kembali bersekolah, mungkin karena sudah terlanjur senang dengan kesibukannya yang hanya main dan menonton televise sehingga ia menjadi malas berpikir dan belajar. Aku sebagai orang yang baru mengenal mereka, tentu tidak bisa langsung memaksakan keprihatinanku menjadi terwujud. Bersekolah tentu harus muncul dari dalam diri seseorang. Sementara, aku sendiri masih ingin melanjutkan pendidikan sampai S3 tapi ada orang lain yang tidak punya sarana dan prasarana untuk melanjutkan pendidikan, meski itu hanya pendidikan dasar saja. Lalu,siapa yang wajib memperhatikan masyarakat kelas bawah seperti ini, minimal wajib belajar yang dicanangkan Pemerintah ? sudahkah berjalan dengan baik program ini? Sungguh memprihatinkan, sama dengan fasilitas gedung sarana dan prasana sekolah yang ambruk di beberapa tempat,juga akses menuju sekolah yang memprihatinkan dan membahayakan pada anak-anak.

Sebelum aku turun di Stasiun Rawa Buntu, aku berpesan kepada Nada dan Tata, untuk melanjutkan sekolah lagi.Tata sempat melambaikan tangannya pada ku, aku berharap di hati kecilku, agar ia mampu meraih cita-citanya dan mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan yang layak sebagai seorang anak bangsa.