Ketika Sambadi Curhat

Sambadi menulis surat seperti ini

Aku ingin curhat, tapi serba salah karena semua tempat sudah terlanjur diketahui banyak orang. Jadi sementara kubuat surat ini. Beberapa waktu lalu, aku bertujuan mencapai ke suatu tempat, segala sesuatunya kupersiapkan dengan baik untuk perjalanan ku itu. Aku siapkan diriku sebaik-baiknya, dengan bekal perjalanan dan juga fisik serta mental yang sehat. Setelah perjalanan yang cukup berliku aku lalui, aku tiba di tempat itu. Aku memang belum mengenal apa saja yang ada di tempat itu, aku hanya mempelajari tempat tujuanku saja, tapi aku tidak sampai mengetahui, apa nama jalan yang ada disana, apa saja yang dijual disana, bagaimana orang-orang yang aku temui di tempat yang baru, bagaimana tempat tinggalku, siapa tetanggaku, dimana aku mencari tempat tinggal, dimana aku akan berbelanja dan bagaimana aku akan hidup dengan aturan disana, tidak kutahu sampai sejauh itu. Aku hanya memikirkan bahwa tempat itu adalah tempat yang cukup baik untuk aku datangi dan berharap aku mendapatkan sesuatu disana.

 

Lalu akhirnya aku tiba disana, aku mulai berjalan dan memandang sekeliling, tentu yang pertama harus aku lakukan adalah dimana aku akan tinggal. Tempat tinggalku cukuplah nyaman. Sebuah tempat yang terbuka, seperti kesukaanku, ruang yang terang sehingga tidak perlu terlalu banyak alat penerangan, furniture yang seperlunya, meja kursi lemari dan tempat beristirahat yang cukup baik. Aku memang tidak hanya melakukan kunjungan singkat, tapi aku bermaksud menetap disana.

 

Sesuai kemampuanku, aku menjelajahi tempat tinggalku, secara bertahap,sedikit demi sedikit. Perbaikanpun kuberikan kepada orang yang berwenang disana, biasa disebut Ketua RT. Pak RT menanggapi masukanku dengan antusias dan bersedia membantu usulan perbaikan untuk diterapkan pada warga. Namun apa yang terjadi, usulan perbaikan yang tidak seberapa itu, tidak mendapat respon positif, karena baik dari pak RT sendiri, sekretaris RT sampai petugas satpam yang melakukan siskamling sibuk dengan urusannya masing-masing. Mereka mungkin beranggapan bahwa tanpa kehadiran aku pun, kehidupan bermasyarakat dan kehidupan tiap individu disana toh bisa berjalan saja. Usulanku mungkin malah mengganggu kesibukan mereka. Aku ini hanya warga pendatang, yang tak tahu apa-apa. Aku mulai lelah menyampaikan usulanku, dan masalah itu kembali terjadi dan semua orang terutama para petinggi kampong, menunjuk ke arahku dan menganggap akulah yang harus bertanggungjawab menjawab masalah ini. Dan apa yang aku lakukan selain memendam dalam hati ‘lhoh kok aku ? aku sudah berusaha memperbaiki bukan ? kenapa aku lagi yang harus bertanggungjawab, sekalipun kalian semua mengatasnamakan sibuk demi pembangunan kampong ini’

Lelah……….. aku merasa  berada di persimpangan jalan, dengan begitu banyak orang berlalu lalang tak mengindahkan ku, namun pada beberapa detik kemudian, mereka serentak menunjuk ke arahku, seperti yang aku tuliskan kepada seorang kawan

di suatu tempat…mencari jawab…berusaha memberi pendapat…tp tiada menjawab….smua sibuk…akhirnya kesalahan yg sama trjadi lagi…apakah aku di tempat yang salah ? 

Apa jawabmu kawanku ?

Apa jawabmu kawanku, begitu tanya Sambadi pada-ku dan aku pun belum mampu menjawab.