Selamat Jalan Ibunda, Selamat Jalan Eyang Uti

Tulisan ini sengaja aku buat untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan, sebagai manusia biasa, tanpa mengurangi rasa hormatku kepada Tuhan Yesus, para Pendeta, semua kerabat dan teman yang memberikan penghiburan buat kami sekeluarga.

Kepergian seseorang, perpisahan sementara di dunia, pertemuan abadi di surga nanti, peristiwa kematian atau apapun namanya, pada kenyataannya adalah saat ini aku sudah tidak dapat berkontak fisik dengan Ibu. Aku tidak dapat lagi berbicara kepada Ibu secara langsung, apalagi mendapat jawaban ataupun respon dari beliau. Aku tidak dapat memandikan Ibu, mengelap tubuhnya, membalurkan minyak gosok ke punggungnya, membedaki wajahnya, memotongi kuku kaki dan tangan lalu merendamnya dengan foot foam, apalagi menuntunnya berjalan dan menyediakan makanan untuk Ibu setiap waktu seperti yang Ibu inginkan (karena penyakit diabetesnya, ibu cenderung terus merasa lapar dan ingin makan saja)

Ibu adalah sosok yang istimewa buat setiap anak, walau buat aku, di masa hidup (masa mudanya, semasa bapak masih berkarir), Ibu memang sudah tampak super luar biasa. Ibu terlalu “gesit” dan cekatan buat aku, sementara aku sendiri cenderung lebih tenang dan lebih suka di rumah. Jadi, karena berbeda “gaya” pasti ada saja beda pendapat 🙂 Sejak kami masih anak-anak, Ibu selalu aktif membantu bapak dalam segala hal, baik untuk menunjang karir Bapak, menambah penghasilan keluarga (dengan menerima pesanan untuk membuat ikan pepesnya yang luar biasa empuk sampai ke tulang-tulangnya –waah aku rindu pepes ikan Ibu, aku rindu gule kambing Ibu – Ibu ku pintar memasak ) dan bahkan masih sempat mengajari kami berlima semua mata pelajaran, khususnya berhitung (yang semasa aku SD, kami masih menggunakan buku Cerdas Cermat, isinya lebih banyak berhitung soal bukan Matematika).

Setelah karir Bapak mulai menanjak dan Bapak menduduki Jabatan Eselon I, saat itu kami juga semakin dewasa, seingat aku, itu sekitar tahun 1987, saat Bapak diperbantukan dari Sekretariat Negara ke Badan Administrasi Kepegawaian Negara, aku mulai kuliah di Akademi Ilmu Statistik, Ibu juga ikut berkibar mendukung karir Bapak melalui kegiatan Dharma Wanita, dengan luar biasa tetap mampu menjalankan kodratnya sebagai seorang Ibu dan Istri. Mau tahu bagaimana hebatnya Ibu saat itu ? Ini salah satu kehebatannya, setelah mengantar adik bungsuku ke sekolah (coba bayangkan di masa itu saja, Ibu sudah menyetir mobil sendiri kesana kemari – aku ? oh tidak – satu-satunya orang yang tidak piawai di kegiatan outdoor di rumah kami adalah aku), dari sekolah adik, Ibu pergi ke salon untuk memasang sanggul, berganti baju disana dan dengan kebaya sanggul menyetir sendiri mobil jeep jimny coklat kami dari salon di daerah Mayestik menuju ke kantor Bapak di wilayah Cililitan. Sementara kami dibiarkan pulang bersama supir bapak, tapi Ibu melaju sendiri dengan kemandiriannya yang luar biasa. Buat Ibu, lebih baik menyetir sendiri daripada memakai supir dari kantor Bapak, beda ya dengan kebanyakan istri pejabat saat ini? 😀

Setiap hari Ibu piawai mengatur jadwal kami dan lalu lintas keluar masuk orang di rumah, baik saat ada pembantu di rumah ataupun tidak. Siapa yang mesti melakukan tugas di rumah sebelum dan sesudah pulang dari sekolah. Kami semua punya tugas untuk melakukan kewajiban di rumah sejak kami kecil, yang aku ingat waktu aku duduk di SD pun, setelah mengerjakan PR, sebelum tidur siang, aku punya kebiasaan membantu Ibu mengangkat jemuran pakaian kering, yang lama-lama menjadi tugas rutinku tanpa disuruh Ibu. Ibu mampu membuat sebuah ‘perintah’ menjadi “kebiasaan rutin” kami, ntah itu karena galaknya Ibu atau karena wibawa dan berkarismanya Ibu di mata kami.

Oh ya Ibu, bukan sosok wanita yang cerewet dan bawel lho, apalagi ngerumpi ? sebagai seorang istri pejabat di masa itu, Bapak selalu mengajarkan kepada kami untuk mampu menahan diri dan tidak mudah bicara sana sini, kebetulan kami sekeluarga bukan tipe yang seperti itu. Kembali pada Ibu, walau Ibu tidak cerewet tapi jika Ibu sudah marah karena ketidakpatuhan kami, Ibu bisa lebih galak dari apapun, contohnya seperti bekal makanan yang tidak kami makan di sekolah padahal Ibu sudah sibuk menyiapkannya sejak pagi. Wah marahnya bisa lebih dahsyat daripada badai dimanapun, jadi jangan coba-coba melakukannya, maka kalau bekal tidak habis, kami bersaudara akan saling cek tempat bekal kami dan menghabiskannya dalam kendaraan sebelum tiba di rumah.

Ibu, Ibu, Ibu, tidak cukup menceritakan kelebihan dan kekurangan Ibu pada selembar layar di blog ini, sampai saat inipun, aku pribadi, selain anak-anak dan suami, yang telah tinggal bersama Ibu tiga tahun terakhir ini, masih merasa sangat kehilangan dan membicarakan Ibu. Namun, Ibu memang sosok yang luar biasa, sejak kecil Ibu sudah hidup “ngenger” ikut pada kerabat lain agar hidup mandiri, memang menjadikan Ibu sebagai seorang yang kuat, mandiri dan tahan banting, ini pula yang Ibu ajarkan kepada kami, khususnya kepada 4 (empat) orang anak perempuannya. Hasil didikan dan buah kasih Ibu yang berjuang untuk kehidupan kami yang lebih baik tidak sia-sia, itu semua tampak dalam kehidupan kami, dalam kepribadian dan kemandirian kami. Aku dan kami semua percaya kasih Ibu yang begitu dalam dan besar bak samudera telah menghantarkan kami menjadi manusia yang mempunyai hati pada orang lain.

Dua minggu terakhir ini, sejak kepergian Ibu tanggal 17 Januari yang lalu, memang menjadi hari-hari yang berat buat aku, tiga kali aku mengalami demam dan jatuh sakit karena masih sangat berat kehilangan energi yang luar biasa dari sosok Ibu yang walau beberapa tahun terakhir banyak berbaring di tempat tidur, mampu memberi kami semangat yang luar biasa buat aku, suami dan anak-anak beraktifitas tiga tahun terakhir ini. Namun, sebagai seorang Ibu, aku juga harus melanjutkan semangat Ibu ku dan memberikan energiku kembali kepada anak-anak dan suami yang tentu masih membutuhkanku. Maafkan aku, Ibu, kalau aku belum merawat Ibu dengan maksimal, di saat keadaan keuangan ku mulai membaik, di saat paspor Ibu sudah aku siapkan bulan Nopember yang baru lalu untuk kembali berobat ke Penang, Ibu malah sudah pergi meninggalkan kami ke rumah Bapa di surga.

Manusia memang hanya boleh mempunyai rencana, namun Tuhan yang punya kuasa pada kehidupan kita berkehendak lain, pertumbuhan iman Ibu yang mencapai puncaknya, kesetiaan Ibu pada Tuhan dan pertobatan Ibu atas tindakan di masa lalu sudah terjadi, berubah menjadi kepasrahan total pada Tuhan, seperti yang disampaikan para Pendeta yang rutin melakukan perlawatan ke rumah, membuat Tuhan Allah menyatakan kehendak Nya untuk memanggil Ibu pulang.

Berat sebagai manusia biasa menghadapi hal ini. Perpisahan dengan seorang teman dekat atau saudara saja cukup menimbulkan kepedihan, apalagi Ibu yang mengandung, melahirkan, membesarkan, mendewasakan dan melingkupi kehidupan anak cucu dan menantunya sampai saat ini, tentu bukan hanya pedih yang terasa, aku benar-benar kehilangan separuh nyawaku saat ini, tapi sebagai anak Tuhan, yang percaya pada Roh Penghiburan dari Tuhan, maka aku dan keluarga ikhlas bersedia menyerahkan hidupku untuk menerima rencana Tuhan buat hidup kami ini 🙂

Natal terakhir kami bersama, formasi lengkap, sebelum Mas Loegeng bertugas di Filipina (Desember 2011)

Bersama 8 cucu di hari ulang tahun terakhir ke -67 (Juni 2012)

Damai besertamu Ibu di sana, kami akan selalu berdoa untukmu, meneruskan semangat dan cita-cita Bapak Ibu (Eyang anak-anak kami) untuk menjadi orang-orang yang berguna di mata Tuhan dan sesama kami, saling rukun, saling menopang dan saling mendoakan.


10 thoughts on “Selamat Jalan Ibunda, Selamat Jalan Eyang Uti

  1. Ibu memang sosok yang atak pernah habis kita bicarakan yaa. Walau raganya sudah tak ada di bumi ini, beliau akan selalu berada di hati kita. Semoga Almrh Ibunda ditempatkan di sisi terindah Tuhan ya, mak

  2. Selamat jalan tante…
    kenangan bersama ibu, pasti akan terus melekat dalam hati dan pikiran kita…sampai kapanpun.
    Mamaku juga hampir 1 tahun, tapi aku juga masih sering menitikkan air mata, setiap teringat akan kegiatan, kesukaan, kebiasaannya. Bau masakan, bau obat, baju atau saputangan, bahkan warna…. semua selalu dikaitkan dengan mama. Semoga kita berdua bisa terus menjadi ibu yang mendekati kehebatan ibu-ibu kita ya Jeng…

  3. terimakasih ya Mel, berat, ga mudah ya, apalagi posisi kita sebagai anak perempuan tertua – aku memang masih punya abang laki-laki tapi dia tugas di luar negeri

    yaa, kita harus bisa punya semangat seperti ibu-ibu kita spy bisa menjadikan anak-anak kita, anak yang mandiri, kuat dan berbakti kepada Tuhan dan sesama.

  4. 20 Oktober 2012, menjadi kenangan yang terlupakan buat saya, karena Mama meninggal dunia pada tanggal itu, setelah sakit kanker serviks selama 7 bulan 🙁
    Sampai sekarang rasa sakit kepergian Mama masih terasa, dan masih sering menangis juga, apalagi buat mbak Laras yang ibunya baru pergi.
    Tetap kuat dan tabah ya, Mbak. Sering berkirim doa, cara yang ampuh 🙂

  5. Sesuai 2. Ketentuan Umum, ayat i.
    Artikel yang diikutsertakan dalam kontes harus artikel baru dan diterbitkan selama periode kontes berlangsung.

    Silahkan membuat yang baru ya Jeng
    Terima kasih
    Salam hangat dari Surabaya

Comments are closed.