Cinta Indonesia, Jangan Di Bibir Saja

Mencintai Indonesia identik dengan mencintai seseorang atau sesuatu merupakan suatu bentuk kata kerja aktif yang membutuhkan tindakan atau tingkah laku yang nyata sebagai bentuk ungkapan cinta kepada Indonesia.

Indonesia adalah sebuah Negara tempat dimana kota kelahiranku berada. Disinilah aku dilahirkan, tumbuh melewati masa kanak-kanakku, bersekolah dan belajar hingga bekerja dan menamatkan kuliah Pasca Sarjanaku di Jakarta, yang notabene adalah bagian dari Indonesia. Namun mengapa ternyata tidak mudah menuliskan bagaimana sesungguhnya apa yang telah kulakukan untuk Indonesia ku tercinta ini.

Sebagai seorang anak Indonesia yang lahir dari orangtua yang berasal dari keturunan Jawa, aku tumbuh dalam lingkungan yang memegang kuat adat istiadat dari suku Jawa. Konon menurut cerita ayah, Eyang Buyut Putri (Nyi Samidah bin Moh Irsad) menikah dengan Eyang Buyut Kakung (Ki Dasijun Darmowidjojo bin Atmoprawiro) dan Eyang Buyut Kakung adalah Keturunan ke-14 dari Sultan Demak ke-3 (Sultan Trenggono) Yogyakarta.

Dengan demikian sudah pastilah meskipun aku lahir di Jakarta dan kami menganut kepercayaan agama Kristen, tata cara dan adat istiadat Jawa masih terasa begitu kentalnya dalam keseharianku di rumah. Bapak Ibu saling berkomunikasi dalam Bahasa Jawa, Eyangku meminta kami untuk selalu berbicara dalam Bahasa Jawa dengan beliau. Selain dalam hal berbahasa, aku pun diajarkan bagaimana tata karma bergaul sebagai layaknya orang Jawa, ada hal-hal yang bisa dianggap tabu dan tidak pantas untuk dilakukan, misal sebagai anak perempuan sangat pantang untuk tertawa keras sampai terbahak-bahak.

Kecintaan orangtua ku pada leluhurnya, membuat aku juga menjadi mencintai apa yang menjadi akar budaya keluargaku, mulai dari makanan nya sampai dengan tata cara berbusana dengan kain atau jarik tradisional sampai pada acara adat yang mesti dilakukan dan ada sejak bayi didalam kandungan, seperti upacara nujuh bulan, upacara kelahiran bayi, upacara tedaksiti (bayi mulai berjalan), upacara sunatan (untuk anak laki pra remaja), upacara haid pertama (untuk anak perempuan pra remaja) dan seterusnya sampai lamaran, pernikahan yang diawali dengan acara siraman, midodareni, akad nikah dan panggih dan bahkan sampai acara adat kematian.

Semua itu menjadi bagian dari kehidupanku yang tumbuh di kota Jakarta dalam lingkungan yang multikultural di luar rumah, beruntung aku mempunyai orang tua yang berpendidikan dan demokrat, sehingga berada di tengah kota besar seperti di Jakarta ini, mereka dapat mengerti apa yang mesti mereka lakukan dalam membina dan menjaga aku bersaudara agar tetap mencintai Indonesia khususnya tanah Jawa. Di luar rumah, kami wajib memegang norma-norma yang sudah diajarkan dari rumah, yang sebagian besar berakar dari adat istiadat budaya keluarga besar kami, baik berupa pitutur luhur atau petuah luhur agar hidup baik, yang sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan suku bangsa lain, yang mengajarkan untuk bersikap sopan kepada orang tua, cara makan, cara berbicara yang berstrata, dan juga cara berpakaian yang sesuai dengan budaya ketimuran.

Perbedaan yang terjadi di luar rumah karena kebetulan aku bersekolah di wilayah Jakarta Selatan, dimana perbedaan bisa terjadi sangat mencolok di sekolah, mulai dari kendaraan yang digunakan untuk datang ke sekolah, uang jajan, cara bicara dan cara bersikap yang sangat berbeda satu anak dengan yang lain, kami diskusikan bersama di rumah. Tentu agak mengejutkan pada awalnya, saat aku yang dari suku Jawa, masuk sekolah dengan mayoritas anak berasal dari keluarga yang berada dari luar Jawa, khususnya dari suku Batak, Manado dan Ambon.

Semua itu akan memperkaya hidupku, begitu kata ayah dan ibu. Kita memang beragam dan sejak kecil aku juga belajar bahwa memang demikian adanya karena Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, 34 propinsi dan ribuan pulau. Ya tentu saja dengan kondisi geografis yang seperti ini otomatis menghasilkan keragaman budaya, adat istiadat, kebiasaan dan perilaku yang tentu berbeda karena pemahaman nilai yang tentunya juga berbeda dalam setiap keluarga.

Keragaman itu akhirnya membuat hidup menjadi lebih indah. Aneka kuliner nusantara dapat aku nikmati dimana saja aku berkunjung, aku bisa menikmati makanan khas di tiap daerah, yang walau tidak semua lidah dapat dengan mudah menyesuaikan, namun pada dasarnya itu dapat dinikmati, mulai dari Kopi Aceh sampai dengan bagea di Sulawesi Utara. Kebetulan aku pernah bekerja di sebuah instansi yang memberi banyak kesempatan untuk berkunjung ke luar kota atau ke daerah.

Lezatnya Kuliner Nusantara

Belum lagi kain warisan nusantara yang ditenun dengan rapi oleh wanita-wanita pekerja keras di desa, menghasilkan tenun tangan yang bernilai tinggi, mulai dari tenun songket Palembang sampai dengan tenun kain dari Sikka, Nusa Tenggara Timur. Kondisi geografis Indonesia yang indah membuat ku bisa begitu menikmati indahnya pemandangan di Danau Toba, Sumatera Utara sampai ke Wisata Bantimurung di Makasar.

Indahnya Wastra menunjukkan keragaman budaya di Indonesia

Keindahan Alam Ciptaan Tuhan buat Indonesia

Kecintaan pada Indonesia melalui keragaman budaya juga terjadi di tengah keluarga besarku. Ada anggota keluarga yang menikah dengan orang diluar suku Jawa, seperti aku yang menikah dengan pasanganku yang berasal dari suku bangsa Batak. Ada anggota keluarga lain yang menikah dengan suku Bali, Padang, Manado dan Flores. Mengenal budaya dan tata cara serta adat istiadat suku bangsa lain menambah wawasan dan memperkaya hidupku.

Aku sungguh mencintai Indonesia dengan segenap jiwa ragaku, sekalipun apa yang terjadi dengan Bangsa ini. Aku tidak ingin duduk diam berpangku tangan, keragaman yang ada memperkaya hidupku seperti kata ayah. Aku memperkenalkan kain nusantara Indonesia dan keindahan pulau lain di Indonesia selain Bali melalui karya foto dan tulisanku.

Membuat tulisan ini membuat aku mengingat potongan lirik lagu berikut ini …..

Kalau kau benar benar sayang padaku … Kalau kau benar benar cinta … Tak perlu kau katakana… Semua itu cukup tingkah laku…Sekarang apalah artinya cinta…Kalau hanya di bibir saja….Cinta itu bukanlah main mainan… Tapi pengorbanan…Semua bisa bilang saying…Semua bisa bilang apalah artinya saying….Tanpa kenyataan

Betul bukan, apa artinya semua kata Aku Cinta Indonesia jika pada kenyataannya kita malu memakai kain tradisional, kita enggan dataing ke Pertunjukan Musik Angklung dan bahkan berpantang memakan makanan tradisional Indonesia karena dianggap kurang bergengsi. Mari wujudkan Cinta Indonesia karena apalah artinya cinta jika hanya di bibir saja 🙂

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Aku dan Indonesia


8 thoughts on “Cinta Indonesia, Jangan Di Bibir Saja

  1. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan :Aku Dan Indonesia di BlogCamp
    Dicatat sebagai peserta
    Salam hangat dari Surabaya

  2. Cinta memang butuh pengorbanan ya Mak….
    Klo cm dibibir saja semua jg bisa ya….
    Semoga sukses GA-nya Mak…
    Salam kenal…

Comments are closed.