Jujur baru kali ini aku membaca novel Ika Natassa tuntas dari awal sampai dengan akhir. Tapi ngomong-ngomong ini bukan review atau resensi buku lho tapi lebih sekedar pendapat aku saja sebagai pembaca novel pertamanya Ika. Sesuai dengan profesionalitasnya baik sebagai pegawai bank ataupun seorang penulis yang telah menulis banyak buku, terbaca bahwa Ika memang keren, ia bisa sangat detil dalam menuliskan banyak hal untuk mendekripsikan sesuatu – terlalu detil malah, sehingga buat pembaca seperti aku yang kadang tidak membutuhkan deskripsi sedetil itu malah banyak melewati bagian tersebut.
Awal melihat judulnya The Architecture of Love (TAoL) dan ditulis oleh seorang Ika Natassa, aku membayangkan ada kehancuran sebuah bangunan cinta yang akhirnya didesain ulang dan dibangun kembali menjadi sebuah bangunan baru yang jauh lebih indah. Sebenarnya arah ke sana “dapat” juga sih karena memang ada dua hati yang hancur sesungguhnya tapi tata ulang arsitekturnya yang kurang keliatan selain tokoh bernama River yang suka menggambar, termasuk menggambar bangunan-bangunan itu.
Secara keseluruhan novel ini bagus, apalagi buat aku yang membayangkan bagaimana proses menulis sebuah novel perlu usaha yang panjang dan waktu yang (cukup) lama. Mengambil setting lokasi di New York seolah pembaca dibawa pergi ke sana dengan penggambaran detil dari Ika. Menurut aku pribadi, masalah yang diungkap cukup sederhana, yaitu bertemunya dua orang yang pernah terluka dan kembali menemukan cinta mereka. Alurnya juga mengalir dengan baik, walau terasa maju mundur seperti biasa umumnya kisah kasih dua sejoli. Klimaksnya dimana ya ? Saat bertemu lagi di pesta pernikahan keluarga Raia ? Oh – mungkin. Sedang endingnya jadi gimana ini akhirnya cuma segitu aja, maksudnya oke “aku mau kamu” – “I can live with it” – memahami dan dipahami, that’s it !
Selain itu menurut ku, novel Ika ini memang banyak menggunakan bahasa Inggris baik dalam percakapan termasuk quote-quotenya dan juga hal-hal yang up to date atau modern, namun kemungkinan juga hal ini tidak banyak bisa dipahami oleh pembaca dalam berbagai latar belakang. Istilah kerennya high class, walau menurut beberapa ulasan, novel ini termasuk yang membumi
Buat aku yang punya “napas pendek” alias hanya mampu menulis artikel atau cerita pendek, novel setebal 300 halaman itu ya pasti oke lah, tapi sebenarnya emosi pembaca masih bisa digali tuh dari kisah Raia dan River di masa lalu, bukan hanya pada pertemuan Raia dan River yang sepertinya kok “kurang dalam” ya karena masih ada kesan “gantung” nya River belum sungguh melupakan kepergian istrinya dan Raia yang masih ragu apakah dia menjadi bagian dari tujuan hidup River ataukah hanya sebuah persinggahan.
Oh ya sebagai pecinta buku dan toko buku, aku suka banget dengan deskripsi toko buku di Episode 22 dan bertanya-tanya adakah seperti itu di Jakarta atau Tangerang, tentu akan sangat menyenangkan, apalagi jika sebuah toko buku itu mudah dijangkau oleh siapa saja, dalam arti bukan di dalam sebuah pertokoan mewah, hm mimpiku 🙂
Maaf kan kalau aku hanya bisa berikan nilai 3.5 saja dari 5 untuk buku ini, satu quote yang tak bisa dielakkan dan dipungkiri oleh siapa pun yaitu
“Disayang itu menyenangkan” ~ Ika Natassa (The Architecture of Love)