Di usia yang sudah ga remaja alias semakin menua ini, aku memang semakin selektif memilih buku. Walau kadang sudah selektif pun masih terjebak dalam kesalahan yang sama. Novel memang tergantung pada selera pembaca. Bukan pilih-pilih karena novel itu ga bagus atau aku yang udah jago nulis, engga, bukan karena itu, tapi memang lebih pada selera pembaca dan gaya bahasa penulis nya saja, yang dulu aku suka dengan gaya romantis macam Shidney Sheldon dan Danielle Steel atau yang misteri detektif macam Agatha Christie, sekarang aku lebih memilih novel yang ringan tapi maknanya dalam, sehingga sepadan antara waktu yang digunakan untuk membaca dengan inspirasi yang aku dapat setelah membaca buku.
Singkat cerita, aku sedang sengaja mencari beberapa novel pada suatu siang di Gramedia World BSD dan takjub dengan toko buku yang penuh dengan buku-buku baru dan keren-keren, tapi pilihan akhirnya jatuh pada sebuah buku berjudul asli menggunakan bahasa Indonesia yang berjudul “Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin” di antara sekian banyak buku keren pengarang Indonesia yang judulnya bercampur baur antara Bahasa Indonesia dan bahasa asing. Dari judulnya saja sudah Indonesia banget dan juga pilihan katanya yang unik. Info saja, hari itu aku memang juga memilih buku dari pengarang Ika Natassa, yang sudah aku review di postingan sebelumnya. Itu juga buku pertama Ika yang aku baca sampai tuntas, demikian juga ini buku pertama Tere Liye yang aku baca dan bersyukur banget kalau aku ga salah pilih.
Ceritanya sederhana, membumi, kejadian yang bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Bukan cinta yang tiba-tiba tapi cinta dari rasa kagum, yang tumbuh sejak masa kanak-kanak sampai dewasa. Cinta pada sang malaikat, yang juga manusia biasa. Daun yang jatuh memang tak pernah akan bisa membenci angin karena angin juga bertiup bukan karena keinginannya tapi karena kejadian alam, yang mana di sana tangan Sang Pencipta yang bekerja.
Buku ini keren banget menurutku, walau alur ceritanya menggunakan alur balik (flash back) tapi mudah diikuti karena tokohnya tidak banyak, kata-katanya sederhana dengan pemilihan tempat kejadian yang bisa terbayang oleh siapa saja yang membaca. Namun mampu mengaduk-aduk isi hati pembaca, dimulai dari kepedulian seorang karyawan pada anak-anak jalanan karena ia sendiri juga anak yang tumbuh sebagai anak yatim piatu.
Waktu yang aku gunakan tak berakhir sia-sia, kembali pada tulisan di awal, waktu memang terbatas untuk membaca novel, ini pun aku membaca dalam beberapa babak karena satu dan lain hal. Buku ini sarat kata dan makna yang dalam, yang bisa saja terjadi pada kita.
Hal 232 ~ Dedaunan yang kering dan jatuh dari tangkainya mengombak di rumput taman. Siluet bentuk “hati-hati” yang kecokelatan memenuhi sepanjang kakiku menjejak. Mengering. Getas. Berbunyi saat terinjak
Dilihat dari rating details dalam Goodreads.com, novel ini mendapat nilai rata-rata 3.96, sementara aku sebagai bagian dari 38% pembaca memberi nilai 5 alias sempurna.
91% of people liked it
All editions: | 3.96 average rating, 9638 ratings, 846 reviews, added by 33136 people, 18525 to-reads |
This edition: | 3.96 average rating, 9616 ratings, 839 reviews, added by 33086 people |
Beberapa quote dalam buku ini,
|
|
|
|
|
|
|
|
Dan salah satu yang terasa jleb di hati, adalah perkataan Danar sang malaikat kepada Tania,
“Tania, kehidupan harus berlanjut. Ketika kau kehilangan semangat, ingatlah kata-kataku dulu. Kehidupan ini seperti daun yang jatuh. Biarkanlah angin yang menerbangkannya.”
makasih reviewnya , belum baca nih
terima kasih mbak Hastira, keren ini mbak 😉