Nasi Tumpang

Inilah salah satu makanan khas, Nasi Tumpang,yang selalu dirindukan Ibu. Biasanya kami membelinya di pasar Ngawi. Si mbok sudah punya angkringan sendiri. Nasi Tumpang ini ada berbagai versi, setiap kota mempunyai kekhasannya tersendiri. Di Kediri, sambal tumpang dimakan bersama pecel (aneka sayuran rebus), di Salatiga, sambal tumpang dicampur koyor, kikil, jerohan dan lain-lain, di Klaten, berwarna agak putih karena ada variasi sambal kelapa dan bubuk kedelei. Sedangkan di Solo, sambal tumpang dicampur dengan kerupuk kulit.

Lucunya, di Ngawi, dijual dengan semua perpaduan itu, bisa dimakan dengan pecel, mau ditambah kikil, ceker atau jerohan, ya silakan sesuai selera, karena semuanya sudah masuk kedalam 1 kuali besar, yang sudah tampak berwarna hitam. Yang beli, wow…ngantri lho, sejak pagi.

Biasanya, sambel tumpang dimasak dari tempe yang sudah terlalu lama difermentasi (bosok) dan dicampur tempe yang masih bagus (waras). Tapi aku dengan kadar kematangan tempe yang sama.

Sambel tumpang ini biasa disajikan saat upacara siraman temanten. Doanya ialah, supaya berkatnya “temumpang” (=tumpang dengan sisipan em). Yaitu supaya berkatnya menaungi orang yang saat itu punya kerja dan temanten berdua.
Cara membuat Sambal Tumpang

Bahan yang diperlukan (I) :

10 buah tempe yang 2-3 hari lebih matang dari yang seharusnya (sebaiknya pakai tempe berbungkus daun, dan tempe jangan dimasukkan ke kulkas)
8 cabe merah
4 cabe rawit atau lebih bila suka yang puedesss
5 butir bawang merah
4 butir bawang putih
2 butir kemiri
2-3 cm kencur
10 helai daun jeruk
1 batang serei, geprak
200-300 ml air

Bahan II
2 helai daun salam
1-2 cm lengkuas, geprak
200 ml santan kental
1000 ml santan encer
garam secukupnya
gula secukupnya
1/2 ons krecek (kulit sapi)

Pelengkap:
nasi putih
bayam, kacang panjang, dan kecambah direbus
karak

Cara :
1. Rebus semua bahan I sampai airnya hampir habis
2. Haluskan semua bahan I yang telah direbus, kecuali daun jeruk dan sereh
3. Sementara itu, rendam krecek dalam air hangat, supaya cepat lunak
4. Rebus bahan I yang telah dihaluskan, termasuk daun jeruk dan sereh, dengan 1000 ml santan encer, masukkan daun salam dan lengkuas

5. Masukkan krecek bila sudah mendidih dan empuk. Biarkan hingga mendidih lagi.
6. Terakhir masukkan santan kental, garam, gula, biarkan hingga mendidih, rasakan rasa asinnya, tambah garam bila perlu.
7. Angkat kalau krecek cukup lunak.
8. Sajikan dengan pelengkap
9. Cocok untuk makan pagi dan siang.

Sedapnya menikmati nasi putih hangat dengan sambal tumpang dan teh manis hangat….:-)


Mengenang Leluhur dengan Nyekar

Aku bermaksud melanjutkan cerita perjalananku bersama Ibu akhir  bulan Februari 2010 yang lalu, sesuai dengan judul sub kategori diatas, maka betul..tujuan utama dari perjalanan ke Ngawi ini adalah Nyekar ke makam Eyang dan Eyang Buyut ku yang ada di Ngawi.

Nyekar, sesuai dengan asal katanya yaitu dari kata ‘Sekar’ yang berarti bunga. Jadi tujuan aku kesana biasanya selain menebarkan bunga, juga mengingat leluhur dan nenek moyang dari mana kita berasal, menengok makam, apakah makam dalam keadaan kotor atau banyak rumput dan tanaman liar di sekitarnya, apakah ada keramik yang rusak atau tanah yang ambles dan perlu ditambah.

Nyekar, dalam bahasa Indonesia berarti Ziarah ke Makam. Di tengah pro kontra antara adat istiadat, budaya Jawa dan agamaku yang Kristen Protestan ini, ditambah lagi dengan pernikahanku dengan suamiku dari suku Batak, aku selalu merasa rindu untuk melakukan ritual ini. Temanku hanya berpesan agar tidak melakukan doa di makam. Betul juga, untuk apa kita berdoa di makam, toh yang meninggal sudah berada dalam tangan kasih Tuhan dan bersama dengan Nya.

Dalam kunjunganku ke Ngawi ini, kami mendatangi 4 makam, yaitu Makam Mundu, tempat Eyang dan keluarga dari pihak Ibu ku dimakamkan, yang kedua Makam Kerkof, tempat Eyang Buyutku dari pihak Ibu, yang ketiga Makam, tempat Eyang Buyut dan keluarga pihak bapakku dimakamkan, sedangkan yang terakhir adalah Makam Cupo, makam tempat pembantu pertamaku dan keluarganya dimakamkan. Perjalanan ini kami lalui bersama tukang becak langganan kami yang setia, berkeliling dengan panas teriknya kota Ngawi.


Sari Ater

Kali ini Sari Ater kembali menjadi tempat tujuan kami berlibur ke Bandung, kenapa sih suka banget kesini, karena disini kita bisa puas dan bebas berendam air panas kapan saja dan mau berapa lama. Selain itu banyak mainan yang disukai anak-anak seperti naik kuda dan flying fox. Dan sekarang ada juga theatre 4 Dimensinya.

Sore ini setelah sampai dan beres urusan check in di kamar 157, kami mulai putar-putar keliling di kawasan penginapan. Walau mendung, akibat hujan dan sepertinya akan hujan lagi, anak-anak memaksa untuk berkuda. Okelah dengan tarip 1 putaran Rp 15.000,- per anak. Tak lama mereka berkuda, hujan turun rintik-rintik dan menurut anak-anak, pembawa kuda memaksa kuda berjalan lebih kencang untuk menghindari hujan dan kembali ke tempat.

Karena cuaca tidak mendukung, kami kembali ke hotel dan mampir ke Coffee Shop untuk beli black forest dan cheese cake, juga menikmati welcome drink, sesuai pilihan kami, secangkir kopi dan beberapa gelas jus jeruk.

Kami kembali ke kamar untuk bersiap-siap mencari makan malam. Setelah makan malam, kami menuju ke kolam rendam air panas Kimanis. Ternyata banyak yang berendam disana, tua muda, kakek nenek, anak-anak. Kami hanya sanggup berenang setengah jam saja, selanjutnya kembali ke kamar, untuk mandi dan siap-siap tidur…duh nyamannya setelah seharian berjalan, berendam air panas, dan sekarang tiduuur.

Esok pagi, aduuuh rasanya masih pengen tidur, tapi suami dan si bungsu sudah mengajak untuk ke kolam rendam lagi, okelah ayooo…dan betul ternyata sudah penuh juga. Aku dan si kakak hanya berendam sekitar  setengah jam saja karena si kakak merasa sesak.

Foto disini, klik ya

Selanjutnya sarapan, jalan-jalan, naik ATV, nonton film 4 dimensi di teater dengan judul The Adventure of Jet n Jin, beli ketan bakar dan flying fox, terakhir sebelum pulang, naik kuda lagi.


Warung Sate Shinta Setiabudi

Satu tempat makan enak lagi yang kami temui dalam perjalanan libur kali ini adalah Warung Sate Shinta, yang terletak di kiri Jalan Setiabudi (arah bawah) setelah Rumah Mode, kalau dari arah Lembang. Rumah makan ini kami temui dalam perjalanan kami pulang ke Jakarta, hari Minggu 16 Mei 2010. Hujan yang terus mengguyur perjalanan pulang kami, membuat kami malas untuk berhenti, sejak keluar dari Sari Ater, anak-anak tertidur pulas di mobil, aku harus menemani suami yang pegang kemudi. Semula aku menyarankan untuk berhenti di Ayam Brebes Lembang, tapi si tengah tidak mau ayam goreng katanya, jadi kami lanjutkan perjalanan menuju Bandung, padahal jam makan siang sudah lewat beberapa waktu.

Mau makan di Rumah Sosis, suami tidak suka sosis dan posisi Rumah Sosis ada di kanan jalan. Ada juga Risol Risol di kiri jalan, tapi kok ga mantap ya kalau ga makan nasi. Ya sudahlah jalan terus ke bawah.

Tepat pukul 14.40, kami tiba di Warung Sate Shinta, sempat ragu untuk masuk karena disitu tertulis, buka hari Minggu jam 10.00 sampai 03.00. Aku bilang, wah hampir tutup nih, tapi tukang parkir masih suruh kita masuk kok, berarti dia masih terima pesanan dong. Dasar aku yang udah kelaparan atau si sulung yang cepat tanggap, dia jawab, itu jam 3.00 (tiga nol nol, katanya) ma, jam 3 pagi, sampe jam 3 pagi bukanya. Hohoho iya ya..kan tertulis jam 03.00, bukan jam 15.00….yup turun, dengan gerimis hujan (lagi).

Memasuki rumah makan ini, rasanya biasa saja dari tampak depan, eh tapi ternyata, mereka punya saung juga lho, walau hanya tersedia 4 meja atau 4 saung…wah tentu dong kami memilih duduk di saung yang lebih santai. Dengan cepat, aku memesan makanan, yah jangan pesan yang aneh-aneh, perlu cepat, supaya ga masuk angin. Kami memesan sate ayam, sate kambing, sup dan gule kambing, juga seporsi tahu tempe. Minumannya banyak yang menarik, seperti Shinta Moon, Shinta Sun, Shinta Sunset, haha lucu, kapan-kapan boleh dicoba ya, kami pesan yang standar saja, tea manis, lemon tea dan milkshake dengan float buat anak-anak.

Penyajiannya cukup cepat, nasi dalam bakul disajikan panas-panas, sate kambingnya empuk banget dengan potongan lemak gurih di tengah potongan daging, sate ayamnya biasa saja tapi cukup disukai si bungsu yang sulit makan, gule kambingnya mantap, sayang daging dalam sup kambingnya kurang empuk tapi bolehlah. Sate dilengkapi dengan irisan tipis cabe rawit dan bawang merah serta potongan tomat. Satu yang lupa kutanyakan, kecap nya pakai kecap apa ya, kok enak banget? Lain sama yang biasa kami pakai di rumah. Harus kesana lagi nih kayaknya…..:-) kambing gitu lhoh, jangan banyak-banyak ah… Oh ya untuk makan siang kali ini, kami habis tidak sampai dengan harga Rp 150.000,-

Oh ya kabarnya, warung sate ini juga punya cabang di Cipanas, Jawa Barat.


Kampung Daun Culture Gallery & Cafe

Sebelum pergi kali ini, aku sudah sempat browsing di internet, tempat makan mana yang perlu kita coba di sekitar Setiabudi. Nah dari hasil browsing dan disetujui seluruh awak penumpang, akhirnya kami memutuskan untuk menuju ke Jalan Sersan Bajuri Km. 4,7 No. 88, Cihideung, yang letaknya masuk kedalam dari jalan raya Setiabudi.

Letak geografis Kampung Daun di sebuah Lembang yang diapit oleh 2 tebing batu alami dengan sebuah sungai yang mengalir dari gunung Burangrang. Konsep Kampung Culture Gallery Cafe adalah tradisional, yang lebih ke arah perkampungan yang terbentuk saung2 lesehan dengan 75% menyajikan menu2 tradisional Indonesia. Budaya menjadi pandangan didalam operational sebagai dasar tematik Kampung Daun.

Business Hour

Senin – Jum’at dan Sabtu : 11:00 – 23:00

Sabtu & Hari Besar : 11:00 – 24:00

Price

Buffet / Paket / Happy Hour : 80,000 – 200,000 minimal 25 pax

Special Menu

Main Course : Nasi Goreng Kampung Daun, Sop Buntut, Nasi Tutuq oncom, Nasi Kukus, Nasi Liwet Parahyangan, Nasi Bakar Special, Kampung Daun Beef Ribs, Nasi Timbel, Gurame Bakar & Sambal Cobek

Beverage : Bandrek, Bajigur, Skoteng, Wedang Ronde, Dwi Warna Juice, uice Sawi Hijau

Jajanan : Aneka Macam Serabi, Poffertjes, Colenak, Pisang Buntel

Awards : Best Restaurant Versi Jakarta Java Kini Th. 2005 – 2006, Indonesian Interprising Spirit 2003 as Rank XVI Small Scala Company (Majalah SWA), Adhi Karya Pariwisata Jawa Barat Tahun 2002

Disarankan untuk r eservasi lebih dahulu ke PH 1: (022) 278-7915, PH 2: (022) 278-4572, apalagi jika punya special order, misal membawa orang tua atau orang sakit kar ena letak saung-saung yang diatas bukit-bukit berbatu.

Kami sendiri memesan, sate ayam dengan nasi seharga Rp 29.500,-, ayam goreng kampung daun dengan nasi uduk seharga Rp 35.000,-, nasi goreng seafood seharga Rp 32.000,-, soto betawi dan nasi seharga Rp 30.000,-, kangkung balacan seharga Rp 17.500,-, ditemani dengan kelapa muda seharga Rp 20.000,-, vanila milkshake seharga Rp 20.000,-….oh ya pesanan kami diawali dengan Sausages Pizza seharga Rp 30.000,-.


Kalau dilihat menu makanannya tidak terlalu aneh-aneh banget dan dari segi rasa, juga cukup tapi disini kita benar-benar akan membeli sebuah suasana yang lain untuk sebuah tempat makan dan penampilan yang cukup unik dari makanan yang disajikan, seperti nasi goreng yang disajikan diatas buah nenas dan soto betawi yang disajikan diatas wajan lengkap dengan tungku pemanas dari tanah liat. Total yang kami keluarkan untuk semua ini sebesar Rp 260.700,- termasuk tax sebesar 10%.

Selain itu, di Kampung Daun, juga dijual beberapa penganan tradisional seperti gulali, arum manis, kue rangin, kue ape, dan kerak telor. Tersedia juga Souvenir Shop, yang memasang harga cukup mahal dibandingkan dengan harga-harga produk di FO yang banyak bertebaran di Bandung.

Hampir setiap pojok di tempat ini indah untuk dijadikan back ground pemotretan, dari ujung tempat parkir sampai tempat pembayaranpun. Betul-betul unik…kabarnya, tempat ini sangat romantis dikunjungi di malam hari….pantas…di hari minggu, tempat ini tutup pada pukul 24.00….ck ck ck, pasti romantis sekali yaa.

Ini salah satu obyek foto yang menarik untuk diambil, walau takut-takut untuk naik, karena posisinya yang diatas, dan dibawah ada aliran sungai. Dokar juga tampak tua dan rapuh. Tuh ketauan kan siapa yang ga berani naik, tapi tetep mau mejeng? hahaha…

Ada tempat lain, yang juga diminati tidak hanya oleh anak muda tapi juga oleh orang tua, nah tempat ini nih, lucu yaa…

Yuk ke Kampung Daun, jangan patah semangat dengan jauhnya lokasi, tapi nikmatilah kenyamanan dan hidangan di sana….


Rumah Mode

Rumah Mode belum buka ketika kami tiba, jadi kami berfoto-foto ria dulu. Kami malah melihat-lihat dulu ke FO sebelah, Natural, yang sedang direnovasi dan mengumbar sale sampai 70%. Disana aku tidak menemukan apa-apa karena disana banyak produk wanita dalam bentuk kaos dan celana casual saja. Namun suamiku mendapat beberapa potong kaos dan si bungsu mendapat sepotong celana renang.

Pukul 09.00, Rumah Mode mulai dibuka, baru dibuka saja, sudah banyak mobil parkir di pelataran. Kami mulai bergerilya sendiri-sendiri. Si bungsu dengan papanya dan anak-anak cewek dengan aku. Tapi karena kelompok pakaian kami berbeda, tetap saja, anak-anak memanggil aku berkali-kali untuk minta pendapat. Duh, kapan mama selesai memilihnya? Ganggu aja sih bocah-bocah ini…hehehe

Hampir sejam lebih kami berada didalam Rumah Mode, yang dari menit ke menit semakin banyak orang yang datang, tapi akhirnya everybody feels happy, ada yang dapat baju kerja (aku, maksudnya), ada yang dapat cardigan, jaket dan kaos.

Yuk udahan, mulai laper nih…sudah waktunya bayar, kalau engga berhenti, pengeluaran bisa semakin membengkak nih. Kami minum es cendol dan menikmati makanan ringan, seperti risoles dan kue soes yang dijual di gerai dalam pelataran parkir Rumah Mode.

Sebelum meninggalkan area Setiabudi Bawah, kami sempat mampir ke Donna Tello, yang menjual aneka sepatu, tapi tak seorangpun dari kami memperoleh sesuatu yang sesuai dengan pilihan hati dan kantong. Sekarang…waktunya makan siang. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 11.00, kami masih harus check out dulu dari Setiabudi 266.


Pemancingan Cipaku

Sabtu pagi, 15 Mei 2010, setelah sarapan pagi, kami berangkat keluar hotel. Rencananya mengajak si bungsu untuk berenang di Cipaku Indah, tapi ternyata dia tidak tertarik untuk berenang disitu karena tidak ada perosotan, katanya. Akhirnya kami berjalan-jalan ke tempat pemancingan di belakang kolam renang. Wah tempatnya benar-benar asik buat jalan-jalan. Juga tempat pemancingan, yang dilengkapi dengan Rumah Makan Sunda. Sayang..tempat itu belum dibuka, tapi kami jadi leluasa menikmati tempat itu.

Jalan menuju ke kolam pancing, jalan batu bata yang naik turun, tentu saja agak harus berhati-hati karena selain licin akibat hujan semalam, jalan itu juga sudah cukup berlumut. Suasananya asik banget, seperti berjalan di hutan kecil, masih dengar suara burung, suara air dari sungai, suara binatang seperti jangkrik (tapi kata suamiku, itu bukan suara jangkrik), pokoknya alami sekali.

Sampai tempat pemancingan, duh aku lebih suka lagi…kolam pemancingan ada ditengah-tengah, sisi kanan dan kirinya ada tempat duduk untuk memancing dan juga meja kursi buat kerabat si pemancing untuk menunggu hasil pancingan ditangkap dan dimasak, karena selain alat pancingan, kami juga melihat ada alat timbang ikan. Kolam dibagi dua jenis ikan, ada ikan bawal, ikan nila dan ikan mas.

Selain menunggu hasil pancingan, ada menu lain, yang disediakan di Rumah Makan tersebut. Setiap hasil pancingan wajib dibeli atau dibayar, 1 kg ikan mas seharga Rp 25.000,-, ikan nila seharga Rp 27.000,- dan ikan bawal seharga Rp 22.000,-. Jika hasil pancingan mau dimasak, misal dibakar atau digoreng akan dikenakan biaya tambahan yang pasti terjangkau. Sedap nyaa….(dengan logat seperti Upin Ipin kalau melihat ayam goreng)

Kapan-kapan kita akan main kesana lagi yaa…Perjalanan kami lanjutkan ke Rumah Mode, Natural dan Donna Tello yuk, mumpung masih pagi.


Mak Uneh Setiabudi

Hujan masih turun, tapi perut kami sudah mulai lapar. Jadi kami segera keluar kamar untuk mencari sesuatu untuk dimakan. Kami memilih Mak Uneh, yang ternyata, maaf..tidak seperti yang kami bayangkan. Rumah makannya, yang di jalan Setiabudi ini, dibangun dengan model elegan, padahal kami sebenarnya ingin gaya yang santai. Meja makannya panjang dengan kursi bersandaran tinggi. Tidak ada jarak antara satu kursi dengan kursi yang lain, mungkin kebanyakan kursi. Namun apa mau dikata, hujan masih deras, untuk turun dari mobil saja, kami masih menggunakan payung untuk menghindari sakit kepala, jadi ya sudah, ayo mulai pesan makanan.

Suami memesan ikan pepes mas, yang dipatok harga Rp 30.000,- aku sendiri tidak ikut mencicipi (kurang selera untuk hujan yang dingin ini), tapi menurut suami, terlalu berminyak, ntah bagaimana proses membuatnya, mungkin diungkep atau dibumbui dahulu supaya bumbu meresap, baru dipepes. Suami juga memesan ikan jambal goreng dengan sambal seharga Rp 9.000,- yang ini benar-benar mengundang selera untuk tak sekedar dicicip.

Aku dan si sulung memesan sop buntut dengan porsi semangkuk besar, dengan harga Rp 35.000,- benar benar mantap karena daging buntutnya sangat empuk dan mudah lepas dari tulangnya, hangat yang pas, dengan diberi beberapa potongan wortel dan emping.

Si tengah, aneh-aneh memesan cumi, mungkin bayangan dia, cumi goreng mentega seperti yang biasa dimasak di rumah, tapi ternyata yang hadir adalah cumi sayur yang dimasak dengan potongan cabe merah dan cabe hijau. Sepertinya cumi nya bukan cumi segar, maaf ya kalau salah, cumi asin ukuran besar. Sayangnya untuk masakan yang tidak habis dimakan oleh aku dan si tengah ini, kena harga Rp 30.000,- juga…oh ampuni kami Tuhan karena tidak menghabiskan makanan yang mahal ini. Makanan ini kami bungkus akhirnya, rencananya kami akan makan untuk sarapan besok, tapi ternyata…sudah tidak ada selera….

Si bungsu masih (tak bosan) memesan ayam goreng kampung, yang sepotongnya dikenakan harga Rp 14.500,- Selain itu kami juga memesan jus alpukat dan jus jeruk. Dan semua pesanan kami ini, kami membayar dengan harga Rp 258.000,- termasuk pajak restoran sebesar 10%.

Malam yang masih disapu gerimis ini, dengan berjalan-jalan ke sebuah toko (saja) di Cihampelas dan diakhiri dengan Martabak manis Liana, yang terkenal dengan martabak bolunya, dengan harga Rp 40.000,- rasanya benar-benar enak dan lembut di lidah, beda dengan martabak Bangka, yang biasa kami beli dekat rumah.

(Maap…ga ada fotonya…dah kelaperan sih…hehe)