Poem “Dancing Under The Sun”

Bloom in my heart gently/Stretch gracefully dispel gloom/Its petals whisper the sweet notes of love/Soft light illuminates the day/In moments of silence gentle and pure/Sunflowers thrive in long-lasting dreams/Cherished flower bright forever/Guiding my soul through the darkest night.


Buku Antologi Putiba “Latar Yogya” Bersama 54 Penyair

Antologi Putiba (Puisi Tiga Bait) bertema Yogya dengan sejuta kenangan, bersama Prof Tengsoe Tjahjono dan 54 penyair yang tergabung didalam Teras Putiba Indonesia. Dalam kata pengantarnya, Prof Tengsoe menyampaikan bahwa buku setebal 188 halaman ini mengajak kita untuk merenungkan kehidupan sehari-hari di Yogyakarta melalui lensa sosiologi dan budaya.

Ada tiga puisiku dalam buku ini, berjudul Janji Tak Luntur Serasa Gudeg Mataram, Mie Pele Goyang Rasa dan Wedang Uwuh di Kaki Gunung.

Buku Antologi yang memuaskan kerinduan kita pada kota Yogya dan membangkitkan kenangan yang pernah tercipta di setiap sudut kota. Monggo sudah dapat dipesan ya.

Salam literasi


Wisata Alam dan Budaya di Lombok

Wisata ke Lombok ini sudah kami rencanakan jauh hari, tepatnya 8 bulan lalu, saat kami sama-sama tergabung menjadi Panitia Natal Paduan Suara Wanita Sola Gratia dalam kegiatan Kunjungan Kasih ke Panti Asuhan. Di sela kegiatan, kami “mendadak” merencanakan untuk berwisata ke Lombok. Tiket dipesan karena ada promo tiket dari Kartu Kredit Bank Mandiri.

Setelah tiket terpesan, mulailah kami menabung sejak bulan Desember 2023 sampai awal Agustus 2024. Mulai memesan tiket hotel yang juga dengan voucher potongan, menyusun ittenary dan memesan kendaraan.

Kamis, 22 Agustus 2024, kami berenam berangkat menuju Lombok, dengan pesawat Garuda GA432, penerbangan menempuh waktu selama 2 jam 30 menit. Berangkat pukul 7.00 WIB dan tiba pukul 10,30 WITA.

Setiba di Lombok, kami langsung menuju hotel Swiss BelCourt, yang terletak di wilayah Praya, Lombok, untuk menurunkan barang bawaan dan melanjutkan perjalanan kami ke Desa Sukarara. Tiba di Desa Sukarara, kami langsung disambut oleh Sani, yang mengarahkan kami untuk memilih pakaian adat suku Sasak yang akan kami gunakan untuk berfoto. Sebelumnya, salah seorang dari kami berbisik bertanya, “kami harus bayar berapa?” Sani menjawab, “Seikhlasnya”. Baik, kami melangkah untuk memilih kain sesuai selera kami dan Sani membantu kami memakai kain, atasan hitam dan mengikatkan angkin diatas kain sarung.

Sukarara adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan JonggatKabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara BaratIndonesia. Desa ini sebagian besar penduduknya bersuku Sasak. Songket Sukarara merupakan kain tenun yang terletak di desa, yang dikenal sebagai desa penenun kain tenun khas Lombok, dengan motif Keker, Subanala dan Nanas, dengan warna-warna yang cantik walau masih menggunakan peralatan tenun tradisional.

Puas berfoto, kami mulai memilih-milih kain tenun dalam berbagai bentuk, misal sarung, stola, ikat kepala atau bahan untuk pakaian. Kami berenam membeli stola atau selendang sesuai selera kami masing-masing. Di Sukarara, kami juga mencoba belajar menenun dari penenun langsung. Harga bervariasi sesuai dengan jenis benang dan tingkat kesulitan pembuatannya. Aku membeli satu buah ikat kepala dan selendang tenun.

Dari Desa Sukarara, kami lanjut makan siang di Rumah Makan Keker. Rumah Makan dengan ornamen dan vibes khas Lombok, dengan interior didominasi bambu, menambah rasa nyaman dan adem, dengan angin semilir dan ditambah pemandangan menghadap ke pegunungan yang hijau dari kejauhan. Di sini, kami memesan Ayam Taliwang khas Keker, tentu dong, ini makanan yang wajib dicoba saat ke Lombok. Selain itu, ada Cumi Tumis Hitam, Beberuk Terong dan Plecing Kangkung. Masakannya juara. Direkomendasikan untuk dicoba. Untuk minumannya, kami memesan Es Kelapa Muda.

Selesai menikmati makan siang, kami lanjut menuju Desa Sade. Desa Sade terletak di Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa Sade berada satu dusun dengan Desa Rembitan, desa ini merupakan desa adat suku Sasak, Lombok. Tiba di sana, kami langsung disambut oleh pemandu bernama Wira. Wira memperkenalkan diri dan menyebutkan karena ia sudah menikah dan memiliki anak bernama Edelwise, maka Wira dipanggil orang dengan sebutan Ama Edelwise.

Wira menjelaskan secara singkat mengenai kehidupan adat suku Sasak dan mengajak kami berkeliling ke beberapa bagian dari desa itu. Ia menunjukkan rumah asli suku Sasak dan kehidupan sebagian penduduknya, yang juga sebagian hidup dari menenun. Lagi, kami mencoba berkain dengan kain tenun khas Sasak. Luas desa Sade sekitar 5.5 hektar dengan 150 rumah di sana. Penduduk di desa ini masih satu keturunan karena mereka memperbolehkan pernikahan antar saudara. Di desa ini, rumah yang mereka huni adalah rumah khas Sasak dengan atap rumah yang tinggi dengan anyaman bambu.

Sebelum menuju wilayah Mandalika, kami mampir ke Sasaku Galery. Tujuan awal adalah berganti pakaian tapi ternyata di sana tersedia banyak produk sebagai alternatif untuk oleh-oleh dengan kualitas yang bagus dan harga juga terjangkau, malah harga ikat kepala di toko ini jauh lebih murah dari yang aku beli di tempat sebelumnya. Di sini dijual kaos, souvenir khas Lombok dan juga produk makanan seperti kopi, madu, manisan dan sambal.

Kami lanjut menuju Sirkuit Mandalika dan Bukit Merese. Sayangnya, cuaca kurang bersahabat, langit mendung dan berangin, namun tak mengurangi semangat kami untuk mendaki. Saat berada di depan gerbang Sirkuit Mandalika, kami dibantu beberapa anak untuk mengabadikan keberadaan kami di sana, mereka bahkan membantu untuk membuat video pendek. Selain itu, di depan gerbang itu juga banyak penjaja yang menawarkan souvenir untuk kami bawa pulang, seperti kaos, dompet dan asesoris mutiara. Catatan ya, kita mesti pandai memilih dan menawar harga barang tersebut.

Kami tiba hampir gelap di Bukit Merese, namun tidak mengurangi hasrat kami yang penasaran dan berharap dapat menikmati matahari terbenam sesungguhnya dari balik bukit.

Hari pertama itu, kami tutup dengan santap malam di Rumah Makan Taliwang Nyaman di kota Mataram, tentu dengan menu ayam taliwang dan sambal yang super enak.

Jumat, 23 Agustus 2024, kami awali perjalanan kami ke Sembalun dengan sarapan di hotel, seperti biasa, setengah cangkir kopi hitam akan menemani pagiku. tertulis “kopi Lombok” wah layak dicoba ini dan ternyata tidak mengecewakan. Menu sarapan di hotel cukup bervariasi.

Tujuan kami pertama adalah ke Pusuk Sembalun, yang menempuh waktu sekitar dua jam dari hotel. Perjalanan yang cukup jauh namun terbayarkan dengan suasana dan pemandangan yang begitu indah di Sembalun. Kami puas berfoto di sana. Kami dikenakan tarif berfoto sebesar Rp 5.000,- per orang dan dibantu diabadikan oleh penjaga di sana. Nilai yang cukup sesuai ya. Menurut catatan, Pusuk Sembalun ini terletak antara 900 sampai dengan 1.300 MDPL.

Termasuk berfoto di pintu Taman Nasional Gunung Rinjani, sambil menunggu pengemudi kami sholat Jumat. Menurut informasi yang kami dapatkan, biasanya wisatawan yang akan mendaki Gunung Rinjani diberangkatkan dari pos ini. Dari pos ini juga ada kendaraan minibus yang membawa wisatawan pulang pergi ke Mataram.

Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan kami ke Bukit Selong, yang berada 1.800 MDPL, untuk dapat melihat kawasan pedesaan Desa Bleq dari atas bukit. Dikenakan tarif sebesar Rp 5.000,- per orang, kami menyusuri menuju puncak bukit, yang tertulis “hanya” 350 meter namun dengan kemiringan yang lumayan untuk orang seusiaku.

Dari tempat ini, kami lanjut makan siang di Kedai Sawah, yang terletak di tengah kebon stroberi. Masakan dan makanan yang disajikan enak buat kami tapi sayangnya penyajiannya sangat lama menurut kami. Aku memesan Ikan Kuah Khas Sembalun. Ikan yang digunakan adalah ikan nila, yang digoreng lebih dahulu lalu dimasak bersama bumbu dan kemiri sebagai pengganti santan, sehingga kuahnya terasa ringan. Aku suka, apalagi jika disajikan dengan nasi hangat. Selain itu bakwan sayurnya juga enak, digoreng dadakan dan disajikan hangat-hangat.

Selesai menikmati makan siang dan berganti pakaian, kami melanjutkan perjalanan kami menuju Tanjung Bias (rencana kami, untuk menikmati matahari terbenam dan makan malam), namun rencana ini kami sesuaikan dengan kondisi di tempat, akhirnya kami tutup dengan menikmati Pantai Senggigi, yang menurut aku kurang bersih, ditambah lagi dengan toilet yang tak terjaga dengan baik, walau ada penjaganya.

Dari Pantai Senggigi, kami kembali ke Mataram, menikmati makan malam kami di Sate Rembiga Bu Sinnaseh, yang terletak di Jl. Dr. Wahidin No.11B, Rembiga, Kec. Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Bar. 83124. Sate Rembiga adalah sate sapi khas daerah Rembiga.

Hari ketiga, Sabtu, 24 Agustus 2024, kami nikmati dengan bangun pagi dan menuju ke Selong Belanak, silakan klik link berikut ya Menyambut Pagi di Selong Belanak. Dari Selong Belanak, kami kembali ke hotel untuk melanjutkan sarapan kami dan bersiap kembali untuk ke bandara.

Terima kasih Tuhan, untuk perjalanan yang kami rencanakan jauh hari ini, untuk semua sukacita yang Kau berikan, untuk penyertaan dan pemeilharaan Mu sehingga kami berenam beserta keluarga kami di rumah dalam keadaan baik dan dapat pulang dengan selamat.

Semoga sukacita kami dapat dirasakan juga oleh para pembaca dan bisa menjadi alternatif liburan di masa yang akan datang. Oh ya selama kami di sana, kami dibantu Pak Dika dan Pak Wawan, yang turut bersama menyusun ittenary. Jika ada yang memerlukan info transportasi di sana, hubungi aku ya, nanti aku beri informasinya. Terima kasih Pak Dika dan Pak Wawan.

Salam semesta dan wisata Indonesia


Menyambut Pagi di Selong Belanak

“The ocean stirs the heart, inspires the imagination and brings eternal joy to the soul.” – Robert Wyland: Ocean Life Themed 12 Month Undated Planner

Lokasi ini sesungguhnya masuk daftar ittenary kami di hari pertama, dengan tujuan melihat matahari terbenam dan iringan kerbau pulang kandang, namun karena sesuatu dan lain hal terutama karena angin mulai kencang berhembus di sore hari pertama itu, maka kami membatalkan menuju Selong Belanak. Jadilah kami menyambut pagi terakhir di Lombok di sini.

Bersyukur rasa penasaran kami terobati, memaksa diri untuk bangun lebih awal, kami berempat menuju ke Pantai Selong Belanak.

Selong Belanak adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Desa ini sebagian besar penduduknya bersuku Sasak. Di desa ini terkenal dengan keindahan Pantai baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing. (Wikipedia)

Langit biru, pasir putih, angin sepoi berhembus, semburat sinar matahari pagi yang mulai nampak di balik awan mendung di belahan yang lain.

Dengan menggunakan angkutan mobil online, kami menuju Pantai Selong Belanak, jaraknya sekitar 21 kilometer dari hotel tempat kami menginap di Swiss Belcourt Penujak, Praya, Lombok, atau sekitar 30 menit perjalanan. Dalam kendaraan, kami harap-harap cemas, apakah cuaca akan bagus, dapatkah kami menikmati pantai ini karena kami melihat jalan basah habis diguyur hujan dan ada terpaan rintik hujan.

Tujuan kami memang Laut Biru Bar and Restaurant, jadi maps googling kami mengarah ke sana. Kendaraan berhenti di gang masuk menuju pantai dan kami mulai berjalan menyusuri pantai, yang menurutku cukup bersih dan tenang sekali. Ada beberapa pedagang di pinggiran pantai, termasuk Laut Biru BR, namun mereka memang masih belum buka, bahkan payung pantai mereka pun belum berkembang. Kami menikmati pantai sebebas-bebasnya, membuat beberapa foto dan bahkan video berulang-ulang, sembari menunggu Laut Biru BB yang baru akan dibuka pukul 08.00.

Aku lupa tidak sempat menanyakan kapan persisnya Laut Biru BB ini beroperasi, namun dari ulasan yang aku baca, Bar dan Restaurant ini sudah ada sejak tahun 2013. Kami dipersilakan duduk walau waktu masih menunjukkan pukul 08.00 kurang. Karena kami masih ingin menikmati sarapan di hotel dan juga dibatasi waktu untuk segera kembali ke hotel, kami memesan minuman hangat dalam poci, pancake dan roti (hot fresh ginger, toast and preserved and stacked pancake with homemade jam) Lumayan untuk mengisi dan menghangatkan perut kami di pagi itu.

Laut Biru Bar and Restaurant, adalah tempat kuliner paling ujung di pantai Selong Belanak untuk saat ini, didominasi warna putih dengan perabot kayu di bagian depan resto. Suasananya cukup nyaman dan pelayanannya juga baik, semoga bukan karena kami pelanggan pertama pagi itu ya. Pelayannya juga ramah dan sabar menjawab pertanyaan kami.

Sebenarnya kami ingin memesan pizza atau makanan lain, tapi karena masih pagi, yang tersedia hanya menu sarapan pagi saja. Semoga lain kali kami dapat berkunjung lagi kemari dengan waktu yang lebih leluasa, untuk menikmati matahari terbit dan terbenam dengan melihat sekawanan kerbau, berangkat dan pulang kandang.

Selain itu, di area resto ini, ada sebuah galeri kecil yang apik dan aku suka banget, menjual banyak pernak pernik, mulai dari asesoris, pakaian, kain tenun dan juga gerabah cantik. Sesungguhnya aku naksir dengan gerabah yang sebagian berwarna biru ini namun kebayang bagaimana harus membawanya ya.


Merdeka, Merdeka? atau Merdeka!

Bangsa Indonesia baru saja merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaannya yang ke-79. Merdeka dari penindasan bangsa penjajah, yang diproklamirkan dua tokoh proklamator bangsa yaitu Presiden RI pertama, Ir. Soekarno dan Wakil Presiden, Drs, Mohammad Hatta. Merdeka dari bangsa penjajah tentu menjadi hal yang sangat disyukuri bangsa ini dan tak kan dilupakan. Para pejuang pendahulu kita telah meraih kemerdekaan bangsa ini dengan peluh dan darah yang terkucur di bumi Indonesia. Bersyukur, aku dan kita yang hidup saat ini sebagian besar telah melewati masa penindasan dan perjuangan yang butuh pertumpahan darah itu. Namun apakah sesungguhnya, aku, kamu dan kita saat ini betul hidup dalam alam kemerdekaan?

(bersambung…)


Selamat Dies Natalis AIS/STIS/PolStat STIS ke-66

11.08.2024

Dies Natalis ke-66 Akademi Ilmu Statistik/Sekolah Tinggi Ilmu Statistik/Politeknik Statistika STIS, kuucapkan Selamat pada Almamaterku, Bangga menjadi bagian dalam perjalanannya, Semoga semakin berkibar dan menyala mencetak Sarjana Statistika untuk masa depan bangsa Indonesia.

STIS, dulu bernama Akademi Ilmu Statistik (AIS) didirikan pada 11 Agustus 1958, merupakan sebuah sekolah kedinasan dibawah naungan Biro Pusat Statistik (sekarang disebut Badan Pusat Statistik).

Saat lulus SMA pada tahun 1986, selain mendaftar ke Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, aku mencoba mencari beasiswa ke Luar Negeri juga, dulu namanya Overseas Fellowship Program (OFP) yang dikoordinir Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Selain itu atas saran orangtuaku, aku mendaftar dan mengikuti test masuk di AIS. Puji syukur, selain diterima di Universitas Padjajaran Fakultas Ekonomi Pembangunan, aku juga diterima di AIS ini.

Buat aku yang suka berhitung dan matematika, pada awalnya sekolah ini tidak semenakutkan yang kubayangkan dan pikiranku waktu itu hanya tentang statistika seperti yang kupelajari di SMA. Jadi ketika disarankan untuk ikut test, ya aku ikut saja, apa salahnya mencoba, toh yang diujikan “hanya” berhitung dan matematika. Tapi ternyata bayangan itu berbeda setelah aku masuk, diterima dan mengikuti perkuliahan dengan mata kuliah yang mempunyai nama-nama menakjubkan seperti Inferensia Statistics, Mathematical Statistics, Linear Programming, Parametric Non Parametric Statistic, Experimental Design dan banyak lagi.

Pada tingkat I (Semester 1 dan Semester 2) diberlakukan Sistem Drop Out. Mahasiswa yang tidak memenuhi syarat penilaian untuk naik tingkat, akan di DO setelah semester ke-2 ini. Untuk itu setelah kami menjalani masa persiapan mahasiswa baru, kami diharapkan untuk langsung gas pol, mengikuti perkuliahan dan beradaptasi, yang tentu tidak mudah bagi teman-teman yang berasal dari daerah atau berstatus Tugas Belajar, yang kemungkinan sebagian sudah berumahtangga dan harus hidup LDR untuk kuliah demi kenaikan jenjang pendidikan di Jakarta.

Banyak suka duka yang aku jalani selama mengikuti perkuliahan di kampus tercinta ini, Sukanya karena kami sama-sama berjuang, Yang mampu, dalam arti punya pemahaman lebih, hampir selalu bersedia membantu yang kurang. Kami sering membuat kelompok-kelompok kecil untuk belajar bersama, di bidang-bidang mata kuliah yang kami jeblok. Tujuan kami semua sama, masuk bersama dan lulus bersama.

Oh ya, setiap bulannya, kami mendapat uang Ikatan Dinas sebesar Rp 35.000,- sebulan. Sebagai pembanding harga di zaman itu (1986) ongkos naik bis kota Mayasari Bakti Jurusan Blok M ke Kampung Melayu adalah Rp 100,- dan beli makan di warteg dengan nasi ayam dan sayur, masih di harga Rp 1.000,- sampai Rp 1.500,- Jumlah yang lumayan untuk menambah ongkos dan makan siang kami di kantin atau warteg dekat kampus.

Angkatan kami, adalah angkatan ke-28 di AIS, hanya terdiri dari dua kelas, kelas A dan kelas B. Dari setiap kelas, ada dua jenis status mahasiswa kedinasan, yaitu yang berasal dari Tugas Belajar (sudah PNS) dan dari Ikatan Dinas (lulusan SMA). Perbedaan status ini tidak membuat kami jadi berbeda, tapi justru kami saling tolong menolong. Sebagian dari teman status Tugas Belajar, jelas sudah lama meninggalkan bangku SMA dan mereka lebih banyak melakukan pekerjaan di lapangan sebelumnya. Belajar bersama mereka, jelas melatih kesabaran kami yang dari status Ikatan Dinas -ID, namun juga justru makin memperkuat pondasi kami memahami materi dengan mengulang-ulang hal yang sama.

Saat teman yang lain sedang mengajar, kami ikut mendengarkan dan semakin jadi paham. Tapi jangan salah, kami punya teman dari status TB yang luar biasa pintar dan ulet, kadang pengulangan materi yang diberikan, melebihi yang diajarkan dosen, haha. Beliau bernama Pak Soesiono (almarhum). Untuk membuat kami paham, kadang beliau menguji kami. Ujiannya membuat kami “menyerah”. Yang diajarkan dosen saja sudah membuat isi kepala kami berasap, eh ini masih ditambah lagi.

Duka yang kami hadapi adalah jika kami tidak bisa memahami materi kuliah, walau ini tidak sering, karena kuncinya hanya satu, tidak malu bertanya dan ulet berlatih. Kami punya banyak kakak kelas yang siap membantu kami, karena mereka juga punya prinsip yang sama, ingin semua angkatan lulus.

Pernah aku menangis di Semester III karena pertama kalinya seumur hidupku, aku mendapat nilai 27 dan itu aku terima dari mata kuliah Statistik Matematika (Stat Mat) dengan nama dosen pengajar, Bapak Wynandin, dosen cool yang ga banyak bicara, cara mengajar yang penuh simpatik tapi mematikan saat memberi nilai. Salah kami juga mungkin, terlalu terpesona pada beliau, haha. Saat menerima lembaran hasil ujian itu, aku schok, sempat aku meremas-remas kertas itu dan tidak berani menengok kiri kanan. Tapi entah apakah aku harus bersyukur atau bersedih karena ternyata, kalau tidak salah, tidak ada seorangpun yang mendapat nilai diatas 50. Dan sebagian dari kami, tampak bahagia…OMG

Selain jadwal kuliah yang padat dan juga tugas yang amat banyak, aku membalancing kan hidupku di kampus, dengan mengikuti kegiatan di Senat Mahasiswa, Paduan Suara dan Persekutuan Doa. Selain itu, ada juga kegiatan Olah Raga dan Pecinta Alam. Sekali aku ikut kegiatan naik gunung ke Pangrango (Gunung Gede). Selain itu kegiatan kepanitiaan lain yang tidak kalah serunya, yaitu Penerimaan Mahasiswa Baru.

Seperti kegiatan kemahasiswaan di kampus lainnya, kami juga ada kegiatan Kuliah Kerja Nyata. Saat itu angkatanku melaksanakan KKN di Desa Citali, Sumedang, Jawa Barat. Kami dibagi dalam beberapa kelompok kecil dan tinggal di rumah penduduk. Kelompok KKN ku saat itu ada Babah Syahruni, Bambang Tri Budi, Muktamar Amal, Dhiko Wiweko dan sahabatku, Iwien Marciana Setijawati. Kami melakukan survei dengan membawa kuesioner, ke rumah penduduk, sore kami melakukan verifikasi data di rumah dan selanjutnya pengolahan dilakukan setelah kami selesai KKN.

Beberapa dosen favoritku masa itu, ntah karena kebaikan atau kekillerannya, ada Bapak Idaman, Bu Kartini, Bapak Syamsuar, Bapak Pask Suartha, Bapak Jopie Bambang, Bu Gita Oktavia, Bapak Sridodo, Bapak Tumpal Sitorus, Bapak WP Riwu, Bu Lusi, Bapak Bagus Sumargo, Bapak Didik Kusbianto, dan masih ada beberapa nama lagi yang maaf sedang berusaha kuingat-ingat.

Seperti umumnya mahasiswa di Akhir Masa Kuliah, selain KKN, kami juga ada membuat Skripsi Kelompok. Anggota kelompokku ada Bapak Rodin, Mas Sumarlan, Mbak Rumini dan Jafar Nawawi. Kami berempat membuat tulisan yang berjudul Aspek Perundang-Undangan tentang Kepegawaian dalam Penyajian Data PNS, dibawah bimbingan, Bapak Sahat Manalu, S.E, lulusan AIS yang saat itu dipekerjakan di Badan Administrasi Kepegawaian Negara.

Puji syukur pada Tuhan, angkatan kami, angkatan 28 lulus pada bulan September 1989 dan diwisuda pada bulan Oktober 1989 bertempat di Balai Sarbini, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan.

Semua pengetahuan, pengalaman dan kehidupan kampus yang kami terima, tidak seluruhnya dapat kami terapkan di tempat kerja, namun semua itu menjadi bekal buat kami memasuki hari-hari kerja setelah kami dinyatakan resmi lulus dan menjadi pegawai Biro Pusat Statistik. Terima kasih untuk anugerah ini.

Sekali lagi Selamat Ulang Tahun, Dies Natalis ke-66 untuk AIS/STIS/Polstat STIS dengan sejenak mengheningkan cipta untuk para dosen dan teman yang sudah lebih dahulu pergi meninggalkan kami.

#badanpusatstatistik #akademiilmustatistik #diesnatalis66


Puisi : Tatapan dan Senyuman Perempuan Itu

sorot mata  tajam menghunjam,
simpan hasrat  misteri berambisi,
mata perempuan bagai  pedang,
sentuh jiwa dengan kilatan tajam.
berkerling seperti bayang malam

bibir merah tipis tersenyum sinis,
suara perlahan berujar dingin,
merah merekah ranum beracun,
sisakan luka di setiap hembusan.
ciptakan gelombang di lautan hati

tatapan mata dan bibir berpadu,
tembus dinding jiwa terdalam
sembunyikan aura  menusuk kalbu
di balik rahasia cantik menawan,
kelabu kegusaran dalam meronta