“18” itu Sesuatu

Pernah aku dan suami pergi bepergian hanya dengan anak bungsu kami, seseorang bertanya “ini anak pertama ya ?” mungkin beliau heran melihat kami berdua yang sudah tampak beruban beberapa helai ini punya anak yang masih usia SD.

Namun ada lagi perjumpaan yang lain, dengan orang yang berbeda, kala itu aku bersama anak sulungku, lagi terdengar pertanyaan seperti ini, “ini anaknya atau adiknya bu ? ibu nikah muda ya ?” ntah apa maksud pertanyaan itu, ya tentu tetap dijawab, “ini anak saya, sulung, ah saya menikah tidak muda-muda amat kok” betul, untuk masa 18 tahun yang lalu, menikah usia 27 tahun, itu sudah usia rata-rata menikah, teman seangkatan banyak yang menikah antara 22 – 27 tahun

Bebas orang berpendapat dan bertanya mengenai anak-anak dan pernikahan kami, namun pada kenyataannya, Puji Tuhan, bulan lalu, kami mensyukuri Hari Ulang Tahun Pernikahan kami yang ke-18, tepatnya pada 28 Oktober 2013, kala anak-anak sibuk mempersiapkan diri untuk Upacara Hari Sumpah Pemuda, dan juga banyak karyawan Instansi Pemerintah serta organisasi Kepemudaan menggelar upacara di tempat masing-masing 🙂

18 tahun bukan waktu yang lama dan panjang seperti kami melihat banyak pasangan yang sudah menikah sampai puluhan tahun, boleh dibilang kami ini belum ada apa-apanya, namun waktu yang 18 tahun juga bukan waktu yang dianggap sebentar. Betul, waktu dan umur (usia) adalah “sesuatu” yang sangat relatif karena ditetapkan Tuhan, ada rencana Nya didalam masa itu, ada pula tugas yang harus kami kerjakan dalam hidup pernikahan kami. Hari itu, aku hanya mampu berdoa agar kami berdua mempunyai kasih yang semakin mengasihi, mampu menjaga kasih kami sampai maut memisahkan kami berdua.

Banyak pasangan dapat mencapai usia pernikahan puluhan tahun, namun dengan kasih yang semu belaka, kebersamaan yang hanya menunjuk pada jumlah tahun, bukan cinta kasih yang berkualitas, kami ingin mampu saling mengisi dan saling melengkapi sehingga kasih yang mula-mula semakin sempurna dan kami sungguh menjadi pasangan yang sepadan, seperti yang Tuhan kehendaki.

Kami juga bukan pasangan yang sempurna, seperti yang pernah aku tuliskan di blog ini sebelumnya (pada HUT Pernikahan kami yang ke – 15), kami dari dua latar belakang keluarga yang berbeda, beda karakter, beda kebiasaan, usia juga cukup jauh berbeda (kami berbeda usia 7 tahun), sehingga di awal pernikahan kami, mungkin tidak seperti kebanyakan pasangan yang baru menikah yang lain, kami lebih banyak “berbeda” pendapat dalam banyak hal. Berjalan dengan waktu, kami belajar dan terutama mengalahkan ego kami masing-masing, sampai sekarang, kami terus belajar, agar kami bisa menjadi pasangan yang berkualitas dan menjadi orang tua yang baik di mata anak-anak kami serta mampu mengantarkan anak-anak kami menjadi anak-anak yang mandiri bertumbuh jasmani rohani.

Ya Tuhan berkati pernikahan kami berdua, keluarga kami dan anak-anak kami, hanya kepada Mu lah kami berlindung


Membuka Lembaran Baru

Beberapa minggu terakhir ini, kata-kata “Membuka Lembaran Baru” atau “Membuka Halaman Baru/Berikutnya” menjadi kata-kata yang ramai dibicarakan orang. Kata-kata ini berkaitan dengan seseorang yang ingin mengakhiri cerita lamanya dan memulai ‘membuat ‘ cerita yang baru. Kurang lebih berkaitan dengan hal baru, itulah tulisan ini dibuat. Namun sebagai seorang yang menjalani hidup dengan berawal dari masa yang lalu, tentu tidak mungkin kita melupakan masa lalu karena masa lalu adalah pengalaman hidup yang akan terus ada bersama kita.

Tidak mudah memimpin diri untuk kembali pada jalan awal, jika dalam perjalanan, kita mengalami gangguan, sandungan atau halangan atau apapun itu namanya, yang telah sempat masuk dalam hidup diluar yang menjadi perkiraan atau rencana kita. Ya….seperti yang aku alami di awal tahun ini, Ibu meninggalkanku selama-lamanya, sementara aku mesti melanjutkan perjalanan hidup di dunia ini, walau tanpa Ibu dan melanjutkan tugas Ibu yang tertunda untuk melaksanakan pernikahan adik bungsuku.

Dalam hidup, setiap orang pasti akan menghadapi kenyataan yang mau tidak mau, membuka lembaran baru, harus memulai sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dengan apa yang dilakukan pada saat sebelumnya. Melupakan kejadian yang terjadi sebelumnya agar tidak semakin jatuh terpuruk untuk bangkit dan menjalankan hal yang baru atau hal yang tertunda. Namun, membuka suatu lembaran baru dalam kehidupan tidaklah semudah membuka lembaran baru di buku, kompleksitas hidup ini membuat lembaran baru tersebut tidak mudah untuk dimulai, selain itu karena yang pertama, singkirkan dulu hal atau kenangan masa lalu yang membuat terluka seperti melupakan peristiwa kematian tersebut dan mengganggap perpisahan ini hanya sementara serta yang kedua, aktif menempatkan diri untuk membuat hal yang baru dan memikirkannya.

Sebelum Ibu meninggal, sejak bulan September tahun lalu, kami memang sudah merencanakan pernikahan adik bungsu kami untuk dilaksanakan bulan Maret tahun ini. Antara sedih dan susah karena kepergian Ibu, aku tertatih-tatih membantu adikku untuk mempersiapkan pernikahannya, mulai dari pengurusan berkas-berkas yang cukup makan proses, mulai dari Catatan Sipil, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Luar Negeri dan Kedutaan, karena adikku menikah dengan warga asing, juga urusan pelaksanaan tempat pernikahan, acara syukuran, pernjahitan baju pengantin maupun baju seragam kami dan juga undangan untuk syukuran kami yang sederhana, yang rencananya hanya mengundang sebanyak 200 orang saja.

Tak mudah memang untuk melepaskan lembaran yang lama, melupakan kepergian Ibu, namun halaman baru tentu sudah menunggu untuk dibuka, dibaca atau diiisi dengan perjalanan hidup yang baru. Dan aku mulai menjalaninya dengan mengurus semua persiapan ini. Semoga lembaran baru, yang menjadi awal kehidupan yang baru di awal bulan Maret ini menjadi suatu hal yang baik bagiku dan keluargaku, juga kami yang bersaudara ini untuk semakin satu dan saling peduli satu sama lain. Dan semoga lembaran baru ini, melanjutkan amanah Ibu, membuat aku menjadi orang yang bersemangat seperti Ibu, Ibu yang kuat dan Ibu yang mengasihi Tuhan dan anak cucu mantu sampai akhir hayatnya.


Menghibur dan Dihibur

Selama ini aku telah beberapa kali datang menghadiri kebaktian penghiburan atau melayat, ntah itu karena kematian saudara ataupun kerabat. Dalam kedukaan tersebut, biasanya kata-kata penghiburan diucapkan untuk memberi kekuatan pada yang mengalami dukacita. Seandainya pun tidak sempat hadir secara langsung, biasanya kata penghiburan disampaikan melalui media lain, seperti social media ataupun melalui alat komunikasi yang lain seperti telpon ataupun handphone.

Bagaimana kata penghiburan disampaikan dan oleh siapa, sebenarnya bukan menjadi masalah. Namun betapa bermaknanya kata penghiburan itu bisa menjadi kekuatan bagi kita itulah yang menjadi masalahnya. Sejak aku mengirimkan berita kepergian Ibu selama-lamanya dari kehidupan kami di dunia ini melalui pesan singkat di FB, SMS dan BBM, kata-kata penghiburan dan simpati dari keluarga, teman dan kerabat datang tak henti-hentinya. Kata-kata yang rasanya sama terdengar berulang-ulang, semakin diucapkan terasa semakin menguatkan hati, saat mereka mengucapkannya dan saat kita membaca pesan tersebut. Kata-kata yang disampaikan, mengharapkan aku untuk ikhlas dan bersabar menghadapi perpisahan ini.

Kata-kata ada yang semula disampaikan dengan ramah, akhirnya kadang ada juga yang disampaikan dengan agak jengkel atau marah, seperti yang disampaikan adikku, karena sepertinya aku masih belum menerima kepergian ibu sampai dengan saat ini (sudah Kamis yang ke-4 Ibu meninggalkan kami), malah ketika aku melakukan update status di FB, seorang teman mengatakan bahwa kita tidak boleh egois dan hanya memikirkan diri kita sendiri. Ibu tidak meninggalkan kita, Ibu hanya sudah berada di jalan yang berbeda tapi menuju tempat yang sama, begitu kata seorang teman.

Apakah salah mengungkapkan isi hati ? Apakah salah merasakan rindu dan meneteskan airmata ? Apakah karena dosaku pada Ibu sehingga aku begitu merasa kehilangan ? Kematian orang tua, terutama Ibu memang pasti akan menjadi hal yang menyakitkan buat setiap anak, berapapun usianya. Menangis dan rasa pedih yang masih terasa hingga saat ini, tentu menjadi salah satu ungkapan rasa kehilangan itu. Masih berada di kamarnya, sekali waktu duduk dan tertidur disana kadang berhasil mengobati kerinduanku pada Ibu.

Kata-kata penghiburan yang diucapkan begitu banyaknya memang dapat menguatkan kita, namun bukan itu saja, aku bersyukur juga bahwa aku mempunyai beberapa teman yang bersedia mendengar dan memberiku kekuatan. Berbicara kepada teman dan mengungkapkan apa yang kita rasakan, dapat memberi penghiburan dan kekuatan yang baru. Kata Alkitab, Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran(Amsal 17:17). Bisa jadi orang yang membantu kita adalah orang yang sama sekali tidak kita duga-duga.

(bersambung)