Peluncuran Novel Keagungan Manah, Menepis Denting Nurani, de Laras, Desember 2021, di Museum Nasional Jakarta, bersama Pak Kurnia Effendi, Julia Napitupulu, M.Psi dan Ibu Sri Rahayu, M.Si, dengan MC, Kak Retty Hakim




Peluncuran Novel Keagungan Manah, Menepis Denting Nurani, de Laras, Desember 2021, di Museum Nasional Jakarta, bersama Pak Kurnia Effendi, Julia Napitupulu, M.Psi dan Ibu Sri Rahayu, M.Si, dengan MC, Kak Retty Hakim
Membaca Raden Saleh Episode ke-12 ini, dipilihlah bab pada hal 285 dari buku novel sejarah Pangeran Dari Timur, yaitu bab Penangkapan Dipanegara. Pembacaan Episode ke-12 ini diselenggarakan di Toety Heraty Museum, yang dulu dikenal dengan nama Galeri Cemara 6, beralamat di Jalan HOS Cokroaminoto, Jakarta Pusat. Acara dimulai pada pukul 10.00, dimoderatori Bu Debra M Yatim.
Sebelum pembacaan novel, Bu Ananda Moersid, Doktor Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menyampaikan sharingnya yang berjudul Re-invention of Tradition. Kami juga dapat melihat proses pembatikan pada hari ini dari adik bu Ananda dan Mbak Aryani Tina Sitio.
Pak Kurnia Effendi dan Pak Iksaka Banu, mengawali pembacaan dengan menyampaikan latar belakang penulisan Bab Penangkapan Dipanegara.
Seperti kita ketahui dalam Catatan Sejarah bahwa Dipanegara dianggap sebagai pemberontak oleh Pemerintah Belanda sehingga ia ditangkap dan diasingkan.
Diponegoro (1785-1855), keturunan Sultan Yogyakarta dan putra tertua Hamengkubuwono III, dilewati dalam suksesi takhta tetapi tidak melepaskan klaim kepemimpinannya di kalangan priyayi. Dengan deklarasi perang suci melawan penjajah dan proklamasi dirinya sebagai Ratu Adil, ia memberontak melawan sultan yang berkuasa dan pemerintah kolonial Belanda.
Dalam perang yang berlangsung 5 tahun berikutnya di sebagian besar wilayah Jawa Tengah, lebih dari 200.000 tentara Jawa dan 15.000 tentara Belanda tewas. Setelah serangkaian kemenangan besar, sebagian besar pemimpin pemberontakan ditangkap dan peperangan mencapai titik balik yang menguntungkan Belanda. Pada tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro diundang oleh Letnan Hendrik Merkus de Kock ke wisma karesidenan di Magelang untuk menandatangani perjanjian perdamaian dan mengakhiri permusuhan. Ia ditangkap karena kebuntuan dalam negosiasi setelah menolak untuk mengakui statusnya sebagai pemuka agama umat Islam se-Pulau Jawa.
Kemudian ia dimasukkan ke dalam kereta ke Batavia (nama lama dari Jakarta), dari mana dikirim ke Manado di pulau Sulawesi; kemudian dipindahkan ke Makassar, di mana ia meninggal dalam pengasingan dua dekade kemudian. Diponegoro meninggalkan sejarah pemberontakan Jawa yang ditulis secara pribadi beserta autobiografinya
Pembacaan Bab Penangkapan Dipanegara kali ini, moderator memilih dua orang untuk membacakan satu halaman, dengan improvisasi pembacaan diserahkan pada tiap pasangan.
Lukisan Penangkapan Pangeran Dipanegara ini menjadi sangat begitu dikenal di dunia karena kemampuan Raden Saleh melukiskan peristiwa itu tersebut dari sisinya sebagai seorang pribumi, berbeda dengan karya seniman Belanda Nicolaas Pieneman dalam lukisan berjudul Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock (1830-1835).
Saleh melukis lukisan itu pada tahun 1856–1857, setelah itu ia secara pribadi menyerahkannya kepada Raja Willem III dari Belanda. Pada tahun-tahun berikutnya, kanvas ini disimpan di Istana Het Loo, Den Haag. Pada tahun 1978, lukisan itu disumbangkan kepada pemerintah Indonesia yang sudah merdeka, setelah itu dipamerkan di Museum Nasional Indonesia dan Istana Kepresidenan di Jakarta. Karena lukisan tersebut berada dalam keadaan yang buruk, lukisan tersebut sepenuhnya direstorasi pada tahun 2013. Kini lukisan tersebut menjadi bagian dari koleksi Museum Kepresidenan.
Salut pada duo penulis, yang menurut aku berhasil menghadirkan peristiwa Penangkapan Dipanegara ini dalam narasi sepanjang 10 halaman, dengan dialog dan gambaran peristiwa yang membuat aku semakin memahami gambaran peristiwa tersebut.
Kegiatan Membaca Raden Saleh bersama pembaca yang hadir ini, selalu kuusahakan untuk kuhadiri karena seperti disampaikan Pak Kurnia Effendi, pemilihan tempat penyelenggaraan diusahakan sedekat mungkin berhubungan dengan sang tokoh, yaitu Raden Saleh. Selain Bincang Batik dan Pembacaan Bab dari novel sejarah ini, kami juga bertemu dengan para pembaca yang lain, sesama pecinta sejarah dan pembaca buku tentunya, sehingga dalam acara ini juga diadakan Book War, agar kita juga terus menambah wawasan dan mau membaca banyak buku dari perbagai genre.
Acara ini tak terlepas dari kebaikan hati Mbak Endah Sulwesi, yang rajin menginformasikan kegiatan, mencatat peserta, mengurus konsumsi, mencatat registrasi dan banyak hal lain, yang kadang tak terpikirkan oleh peserta.Terima kasih Mbak Endah, sehat selalu ya.
Salam literasi, sampai jumpa di kegiatan MRS berikutnya.
Sumber Foto : Pribadi dan Teman2 di WAG Reading PDT
Memilih satu judul untuk diulas dari 34 tulisan yang keren, syahdu dan menyentuh hati, buat aku bukan hal yang mudah. Jujur, belum semua tulisan aku baca, semenjak buku ini kuterima pada tanggal 27 April 2023. Namun karena ada review challenge dari Kak Naomi selaku PJ, mau tak mau, aku harus menetapkan tulisan mana yang harus aku ulas. Dan akhirnya pilihan yang sulit, jatuh pada sebuah judul yang mengingatkanku pada kenangan 31 tahun yang lalu (1992). Kenangan berada di Jepang, yang masa itu saja sudah terkenal dengan teknologi dan hiruk pikuknya tapi masih menanamkan nilai budaya dengan amat kental dalam keseharian. Ya betul, tulisan dari Mbak Aprilia Nurmala Dewi yang berjudul “Tengah Malam di Kabukicho”, membuatku jatuh hati untuk mengulasnya.
Menurut aku, pemilihan judulnya sudah sangat menggoda. Siapa yang tidak mengenal salah satu area wisata terkenal di Jepang ini? Ya, Kabukicho. Tempat ini adalah satu-satunya tempat yang diingatkan pada kami, peserta wanita dalam pelatihan yang aku ikuti, oleh Group Coordinator kami masa itu, Michi-san. Mengapa? Karena Kabukicho adalah distrik hiburan yang sangat populer, khusus orang dewasa. Di sana, bukan hanya ada tempat makan, tapi juga pub, bar, diskotik, tempat hiburan dan host club atau bahkan love hotel. Michi-san menasehati kami yang berasal dari berbagai negara ini, untuk tidak pergi sendirian ke sana, sebaiknya berombongan dan dengan teman peserta pria, juga membawa uang tunai dan menghindari keributan serta saling menjaga satu sama lain.
Kabukicho, yang terletak di Shinjuku, merupakan lokasi yang selalu aku dan teman-teman lewati dalam perjalanan kami pulang dari pelatihan di Akebonobashi ke TIC Hatagaya, setiap hari dari Senin sampai dengan Jumat karena pergantian line/jalur subway menuju tempat tinggal.
Lalu ada apa dengan Tengah Malam di Kabukicho, yang diangkat kisahnya oleh Mbak Aprilia? Jujur, aku tersentuh, ada cinta yang tak biasa dari Keisuke, seorang host boy. Pertemuan di tengah malam yang tak disengaja itu membangkitkan rasa penasaran Keisuke pada Saryu, wanita yang berada di Kabukicho. Rasa penasaran itu membuat Keisuke menguntit Saryu yang juga tidak sengaja ditemui kembali dalam perjalanan dari Shinjuku ke Kasumigaseki.
Saryu membuat Keisuke jatuh hati dan ingin terus bertemu dengan Saryu setiap malam di Kabukicho. Hal lain yang sesungguhnya menjadi tujuan Saryu datang ke Kabukicho.
Mbak Aprilia berhasil menyampaikan kisah ini dengan menarik, bagaimana pertemuan antara Keisuke bersama Saryu berjalan begitu manis, demikian juga kebaikan hati Saryu mengajak Keisuke ke Kuil Hanazono untuk mencari peruntungan agar Keisuke dapat menjadi host boy kaya dan dapat menjadi seorang shimeisha.
Alur yang jelas dan dialog yang dalam tapi tidak terkesan “biasa” membuat tulisan ini menyenangkan untuk dibaca walau pada bagian akhir ada pesan yang ditinggalkan oleh Saryu untuk Keisuke, tapi itu menjadi sebuah harapan dan semangat bagi Keisuke. Pesan yang ditinggalkan, bagi sebagian orang, kadang membuat kita menjadi berduka tapi tidak bagi Keisuke.
Tulisan ini mengingatkan aku pada sebuah quote yang mengatakan bahwa “mature friendship are special kinds of friendships that last even when you don’t talk often. They are built on trust, respect and understanding”. Mungkin Keisuke dan Saryu tidak akan berjumpa lagi, tapi kekuatan keyakinan itu membuat Keisuke percaya suatu hari nanti akan ada malam lain bersama Saryu, yang juga telah mendoakan Keisuke pada pesan terakhirnya.
Keren Mbak Aprilia, salam literasi dan terus berkarya.
Segera miliki buku ASMARALOKA ini buat pembaca ulasan ini. Ada 33 kisah menarik lainnya, yang patut dibaca dan akan menguatkan kita dalam menjalani kehidupan ini. CINTA TIDAK PERNAH SALAH.
#reviuasmaraloka #cintatakpernahsalah #DeLaras