Berjuang Untuk Bersama

Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan Bapak Ibu tercinta. Ah terasa sesak di dada menuliskan ini di blog. Padahal tadi pagi update status di FB biasa-biasa aja, selain rasa suka cita. Selamat HUT Pernikahan ke-55 (25 Februari 1965) ya Bapak Ibu.
bpibu55
Hari ini HUT Pernikahan yang ke-7, yang mungkin Bapak Ibu rayakan bersama di surga ya. Hm bagaimana ya suasana di sana? Ah fantasiku mulai melayang-layang di udara.
 
Ini bisa jadi lanjutan dari postingan status FB ku sebelumnya. Bagaimana aku belajar mengenai kehidupan dalam perbedaan yang dipersatukan. Bukan hanya dari mereka berdua tapi juga dari keluarga besar kami.
 
Mereka berdua, Bapak Ibuku, hanya ditakdirkan bersama sampai usia pernikahan mereka yang ke-33 (6 September 1998, ketika Bapak berpulang lebih dahulu).
 
Perjuangan cinta mereka yang luar biasa (sebelum akhirnya mereka menikah), menjadi kekuatan bagi mereka untuk bertahan dalam setiap gelombang kehidupan. Berapa tahun ya mereka berpacaran? Mungkin sekitar 5 tahun. Karena sesungguhnya rumah Ibu berhadapan dengan rumah Eyang dari Bapak. Dan Bapak berteman baik dengan kakak dari Ibuku (PakDe Dipoyono. Perjuangan mereka, dimulai dari awal Bapak bekerja dan berjuang di Ibu Kota. Tangis, air mata, perjuangan menahan rindu, sementara harus melanjutkan studi demi cita-cita karena perbedaan jarak dan perbedaan lain, membuat cinta mereka semakin kuat.
 
Surat-surat dan buku harian mereka masih tersimpan rapi. Bapak, termasuk orang yang rajin menuliskan itu.Masa itu mereka hanya berkomunikasi dengan surat dan telegram. Bapak kuliah di Jakarta (Universitas Indonesia) dan Ibu masih sekolah di Malang.
 
Hubungan mereka punya landasan yang kuat untuk terus bertahan. Gelombang pasang surut pasti ada dalam kehidupan mereka sebelum dan sesudah menikah.
Dan itu membuat kami semakin mengerti apa artinya hidup dengan cinta dan kasih sayang. Mereka adalah salah satu panutan kami, hidup dalam perbedaan dan banyak hambatan.
 
Masih adakah cinta yang terus berjuang dan dipertahankan di masa sekarang?
 
Selamat merayakan HUT Pernikahan di surga, bersama nyanyian merdu dan malaikat berjubah putih dengan alunan orkestra, yang Bapak Ibu sukai. Dari kami, yang merindukan Bapak Ibu, Eyang kami.

Ungkap Cinta Ibu Dalam Kontes Unggulan

Terus terang aku termasuk blogger yang jarang mengikuti Kontes Give Away yang digelar teman-teman di blog nya (jangan dicontoh ya), bukan karena temanya kurang menantang atau ga butuh dan ga suka sama hadiahnya, tapi lebih karena keterbatasan waktu, ceileh alasan aja. Sebenarnya lebih ke masalah tema, kalau temanya pas sehingga punya inspirasi cepat untuk menulis yang tentunya menghemat waktu, biasanya aku pasti ikut.

Contohnya belum lama ini, ada tawaran menulis di Kontes Unggulan di Blog nya Pakde Abdul Cholik . Temanya dahsyat “Hati Ibu Seluas Samudera” Saat membaca setelah diingatkan beberapa kali sama Pakde, hati sudah tergugah, tapi tangan menolak untuk menulis karena topiknya tentang Ibu. Lah kenapa rupanya wong topiknya ga susah kan Ibu adalah sosok yang dekat dengan kita. Nah justru itu masalahnya, beberapa kali mencoba mengetik di depan laptop kok ya ga sanggup mengurai kata. Akhirnya aku memutuskan pada tanggal 17 Nopember 2014 untuk mengirimkan tulisan yang sudah ada di blog ku, yang aku tulis 4 Februari 2013.

Dan tentu saja, ternyata tulisan yang aku kirim itu tidak memenuhi syarat dan ketentuan berlaku bahwa tulisan harus pada periode kontes berlangsung. Singkat kata, tulisan ditolak. Dan berkat semangat dan dorongan dari Pakde, aku berusaha untuk menulis lagi, yang tentu membutuhkan hati yang siap untuk menuliskannya. Hati Ibu Seluas Samudera, wuih kenapa sulit sekali untuk ku menyusun dan merangkai huruf per huruf dalam rangkaian kata diatas laptop. Kita semua tahu kan normalnya seorang Ibu mempunyai hati yang luas lebih dari samudera dan alam jagat raya seluruhnya, bahkan rela mengorbankan dirinya demi anaknya bukan? Aku berusaha untuk menyusun, bukan semata hanya untuk menyelesaikan tugas kontes ini, tapi lebih kepada keinginanku mengungkapkan betapa aku sungguh berterimakasih pada Ibu.

Sungguh ternyata tidak mudah saat semua rasa harus diterjemahkan dalam bentuk tulisan. Semua juga tahu dan bisa menjawab saat kita ditanya, “kamu sayang Ibu mu?” tentu normalnya anak akan menjawab ,”ya iya dong pasti aku sayang Ibu ku.” Pertanyaan berlanjut, “mengapa kamu sayang Ibu ?” ah ga semudah itu ternyata menjawab dan menjelaskannya selain, “yaa….pokoknya aku sayang deh.” Nah tentu selesailah sudah, tak tergali bagaimana sesungguhnya ungkapan rasa kita sebagai anak terhadap Ibu yang kita cintai.  

Aku mencoba menyiapkan hatiku untuk mengungkapkan terimakasihku pada Ibu dengan mengingat-ingat setiap tahap kebersamaan Ibu bersama ku, sejak aku kecil sebagai kanak-kanak, remaja, gadis muda, dewasa sampai aku menjadi seorang istri dan Ibu dengan tiga anak. Kenapa begitu sulit karena hangatnya cinta Ibu baru pergi belum lama ini. Huruf per huruf kususun dengan selingan mesti mengelap tetes air mata, bahkan hiks aku mesti mengambil waktu beberapa saat untuk menghabiskan sisa airmataku dengan membenamkan kepalaku dibawah bantal.

Akhirnya tulisanku selesai dan kumasukkan dalam komen balasan kedua di blog Pak De pada tanggal 24 Nopember 2014, seminggu setelah postingan sebelumnya, dengan judul Untukmu Ibu, dalam bentuk suratku kepada Ibu. Hatiku terasa begitu lega, walaupun sulit sesungguhnya menuliskan cinta kasih seluas samudera dan jagat raya ini dalam barisan kata yang terbatas.

Terimakasih Ibu, Cintamu tak akan lekang oleh waktu. Terimakasih PakDe. Kiranya hasil kumpulan tulisan yang rencananya akan diterbitkan dalam sebuah Buku Antologi “Hati Ibu Seluas Samudera” dapat bermanfaat bagi kaum Ibu dimanapun berada.


Untukmu, Ibu …….

Selamat malam Ibu.

Aku mendoakan Ibu selalu dan tentu bersama Bapak di sana, berada dalam keadaan baik dan penuh damai sejahtera. Kutuliskan untaian kata ini karena aku begitu merindukan kehadiran Ibu di sisiku.

Ah airmataku mulai menetes lagi Bu padahal tulisan ini kubuat untuk menceritakan betapa aku berterimakasih atas begitu besarnya cintamu padaku di sepanjang hidupku. Hampir 2 tahun Ibu meninggalkan ku selama-lamanya di dunia nyata ini, tepatnya 1 tahun 11 bulan lebih 6 hari. Hari-hari kepergianmu yang tiba-tiba itu terasa begitu berat buatku. Aku berdoa terus agar aku dikuatkan dengan mengingat betapa Tuhan punya rencana yang indah dalam mengatur setiap detil perpisahan. Jadi, aku tidak mau sedih lagi, walau sering aku amat sangat merindukan untuk menciummu, memelukmu, memandikanmu dan menggosok punggungmu kala dingin datang seperti saat ini, Ibu.

Aku berterimakasih padamu Ibu atas kebaikan hatimu, yang selalu berada di sisiku di kala aku susah dan sedih. Walau aku punya Mas dan 3 adik perempuan, Ibu selalu tahu jika aku sedang murung dan hadir menanyakan apa masalahku. Ibu selalu ada setiap aku sakit dan selalu punya pertolongan pertama yang menenangkanku.

Aku berterimakasih karena Ibu selalu ada saat aku tidak bisa mengerjakan PR Berhitung. Ibu tentu masih ingat kan, jaman aku di Sekolah Dasar belum ada pelajaran Matematika dan aku punya berlembar-lembar PR Berhitung dari Buku Cerdas Tangkas. Ibu selalu membantu dan mendampingiku dengan sabar.

Aku berterimakasih Ibu mendampingiku melewati masa-masa pra remajaku, saat aku mengalami menstruasi pertama. Waktu itu aku tidak mengerti mengapa Ibu begitu gembira mengetahui kalau sudah haid. Ibu mengajari aku bagaimana aku menggunakan pembalut, membersihkannya dan menjaga tubuhku. Ibu juga menyiapkan selamatan sederhana hari itu, aku tidak tahu mengapa Ibu begitu sibuk. Sekarang aku tahu, dalam masyarakat Jawa, ini adalah sebuah tahapan seorang anak perempuan memasuki tahap baru dalam hidupnya dan ini harus dibuat selamatan atau syukuran. Walau hanya sederhana dan mengerjakannya sendiri, ini menjadi momen yang selalu kuingat dalam hidupku.

Aku berterimakasih karena Ibu walau sering panik dan kuatir, Ibu selalu mendengarkan cerita dan keluh kesahku tentang teman-temanku dan Ibu selalu menyediakan diri untuk membelaku. Kadang Ibu berlebihan ya bu ? tapi aku percaya itu semua Ibu lakukan karena Ibu tidak ingin satu anaknya pun terluka baik lahir maupun batin, apalagi tersakiti oleh teman.

Aku berterimakasih atas semua kebaikan Ibu memberi semangat agar aku rajin pergi kursus Bahasa Inggris walau itu berarti Ibu mesti meninggalkan adik-adik di rumah dan istirahat siang Ibu. Juga kala aku mesti ikut praktikum di sekolah sehingga harus pulang sore. Terimakasih Ibu juga ikut menemani Bapak menjemput aku pulang kuliah malam.

Terimakasih atas setiap dukungan yang Ibu memberikan saat aku bingung memilih teman hidupku. Ibu orang yang tahu persis dan mempunyai perasaan yang tepat dalam memberi penilaian pada teman dekatku.

Terimakasih untuk setiap detil yang Ibu lakukan dalam mempersiapkan pernkahanku. Bukan hal yang mudah tentunya buat Ibu merelakan anak putri tertuanya menikah dengan pria dari suku bangsa lain dimana Ibu mesti beradaptasi dalam banyak hal dan menunjukkan toleransi yang besar. Aku tahu itu tidak mudah Bu, sekalipun Ibu selalu menguatkanku dengan mengatakan, “kalau memang itu rencana Tuhan, Ibu dan Bapak akan terus mendukungmu”

Terimakasih Ibu untuk kehadiranmu yang selalu berada di dekatku, Ibu selalu mendampingi ku saat aku melahirkan tiga anakku. Ibu selalu membantu, menguatkan dan mencucikan ari-ari anak-anakku bersama suamiku.

Terimakasih Ibu atas cintamu yang begitu besar kepada anak-anakku, cucu-cucu Ibu sehingga sampai saat ini pun mereka tahu dan merasakan betapa besar cintakasih Ibu kepada kami sekeluarga.

Aku mohon maaf dan ampun atas kesalahan yang aku buat baik yang aku sengaja maupun tidak sengaja mendukakan hati Ibu, membuat Ibu marah dan jengkel karena aku sering tidak sependapat dengan Ibu, karena aku tidak mengerti apa maksud Ibu sesungguhnya, karena aku tidak tahu apa rencana Ibu di balik semua tindakan dan perkataan Ibu.

Maafkan aku ya Bu, kalau selama Ibu sakit dan tinggal bersama ku, aku kadang tidak sabar dalam menjaga dan merawat Ibu, bahkan aku sering lupa betapa waktu aku kecil sering menyusahkan Ibu dan mengeluh atas ketidaknyamanan yang terjadi. Maafkan aku ya Bu. Aku kadang memang lelah dan aku lupa bahwa itu juga terjadi saat Ibu merawat aku di masa dulu.

Kebaikan dan cintakasihmu yang dalam dan seluas jagad raya ini tak bisa kubalaskan dan tak bisa kuulang lagi karena Ibu sudah tiada.

Kini….bagaimana Ibu mengasihi aku akan kuteruskan kepada semua anakku, dengan mengingat cinta Ibu sepanjang masa dan sepanjang hidup.

Selamat beristirahat Ibu, aku mencintai Ibu. Sungguh.

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera


Pulih Berkat Terbang

Buat setiap anak, Ibu adalah segala-galanya, sosok yang telah mengandung dan melahirkan kita, merawat kita sejak kanak-kanak, mendampingi kita belajar dan selalu ada di setiap masa bahkan sampai kita menikah dan dewasa.

Ketika mengetahui Ibu sakit, tentu segala upaya kita lakukan untuk mengembalikan kesehatan dan kesembuhannya bukan ? Ibu hidup bersama diabetes sejak tahun 1998, tepatnya gejala itu disadari beliau beberapa saat setelah Bapak meninggal. Saking sibuknya mengurus Bapak yang juga sudah mengalami stroke dua kali, Ibu tidak memperhatikan kondisi kesehatannya sendiri.

Setelah sadar mengidap diabetes, Ibu memang rutin memeriksakan kadar gula darah dan kesehatannya setiap bulan. Ibu juga minum obat secara teratur dan masih rajin jalan kaki ke pasar kaget dekat rumah. Namun yang disayangkan, Ibu masih belum bisa menahan diri pada kue dan makanan yang manis. Kalau aku mengingatkan mengapa Ibu membeli begitu banyak kue ? Ibu selalu menjawab bahwa kue dan semua makanan ini untuk persediaan kalau cucu-cucu datang berkunjung.

“Kenakalan” Ibu menyimpan dan mengkonsumsi makanan manis dan diet yang tidak terkontrol dengan baik karena Ibu tinggal sendiri dan berbelanja sendiri, membuat kadar gula darah Ibu naik dan tinggi sampai pada suatu hari terjadi pecah pembuluh darah atau stroke ringan sehingga Ibu terjatuh di kamar mandi pada bulan Juni 2008.

Stroke nya Ibu membuat aku dan keluarga panik, bingung dan sedih hati. Ibu yang biasanya ceria dan banyak cerita menjadi diam dan lemah, sulit untuk berjalan dan bergerak dan serba kesakitan. Akhirnya Ibu diputuskan dibawa ke rumah kami, yang tentunya sangat disetujui suami, karena memudahkan aku untuk mengontrol kondisi Ibu dan aku tidak harus mondar mandir dari rumah Ibu ke rumah ku. Upaya pertama, tentu membawa Ibu ke Dokter terdekat. Ibu dirontgen kepala. Dari hasil rontgen, dokter menyimpulkan tidak ada keretakan. Dokter memberi pengobatan untuk menghindari terjadi pendarahan otak.

Kondisi Ibu dari penanganan pertama tidak memberi perbaikan yang signifikan, kami terus mencari informasi penyembuhan Ibu sampai akhirnya kami memutuskan membawa Ibu untuk berobat ke Penang, tepatnya ke Penang Adventist Hospital (PAH). Satu-satunya maskapai yang ada saat itu dan terjangkau dengan keuangan kami adalah Air Asia Indonesia. Dengan menggunakan maskapai ini, aku dan adik mendampingi Ibu berobat ke Penang dengan nyaman. Pihak maskapai sangat membantu dan mengakomodir kebutuhan kami khususnya Ibu yang dalam kondisi sulit berjalan. Pada saat masuk kedalam pesawat, Ibu diantar dengan kursi roda dan didudukkan terlebih dahulu sebelum penumpang lain naik, demikian pula saat mendarat, petugas mengantar Ibu sampai ke kendaraan yang menjemput kami.

Keesokan harinya Ibu menjalani pemeriksaan secara detil dibawah pengawasan Dokter Lim dan Dr Ng Cheok Man, dan dari hasil pemeriksaan dinyatakan ada gumpalan darah di otak akibat pecahnya pembuluh darah yang diupayakan dihilangkan melalui obat terlebih dahulu. Apa yang tidak terdeteksi di Indonesia, terdeteksi di PAH. Namun jika upaya tidak berhasil, akan dilakukan tindakan operasi. Aku dan adik terkejut dan kaget namun berusaha tegar didepan Ibu, kami berdua tidak mengharapkan ada tindakan apapun untuk Ibu tapi kami berdua menuruti saran Dokter dengan keputusan yang ada dalam postingan “Ibu Di Rumah Sakit”. Kami bergantian menunggu Ibu di Rumah Sakit. Ibu dirawat di RS mulai malam itu.

Pemeriksaan dan perawatan Ibu sudah aku tuliskan dalam postingan yang berjudul “Ibu Dirawat Di PAH”

Puji syukur kehadirat Tuhan, kondisi Ibu membaik setelah 3 malam dirawat di PAH, maka pada pemeriksaan hari terakhir setelah semua dinyatakan baik, Ibu diijinkan meninggalkan RS.

Kepulangan kami ke Tanah Air juga bersama Air Asia Indonesia berjalan baik walau ada penundaan beberapa jam dengan pemberitahuan sebelumnya. Pengobatan Ibu di Penang dan penyembuhan beliau berkat terbang kesana memberikan dampak yang luar biasa pada kesehatan Ibu. Ibu kembali pulih, ceria walau sudah berkurang kegesitannya. Aku tersenyum membaca tagline yang menjadi slogan Air Asia Indonesia “Now Everyone Can Fly” ya betul, Everyone, siapapun dapat terbang, sekalipun dalam kondisi sakit akan diberi bantuan dan kemudahan untuk terbang demi pengobatan.

Air Asia Indonesia bukan hanya mengubah hidupku tapi juga mengubah Ibu menjadi lebih sehat. Keputusan membawa Ibu berobat ke Penang dan terbang bersama Air Asia adalah keputusan yang tepat. Terimakasih Air Asia Indonesia.

“Tulisan ini diikutkan dalam Kompetisi Blog 10 Tahun Air Asia Indonesia


Hanya Satu Jawaban

Hanya ada satu jawaban untuk semua pertanyaan dibawah ini,

  • Siapa yang membagiku makan dan minum saat aku berada dalam kandungannya ?
  • Siapa yang melahirkan aku dengan keringat, darah dan air mata, bahkan mempertaruhkan nyawanya ?
  • Siapa yang pertama menyusui aku kala aku lapar ?
  • Siapa yang membungkus aku dengan kain bedong kala aku aku kedinginan ?
  • Siapa yang memeluk aku kala aku sakit ?
  • Siapa yang membersihkan muntah ku dalam setiap perjalanan ?
  • Siapa yang menggantikan popokku kala aku buang air ?
  • Siapa yang menyedot ingusku kala aku pilek ?
  • Siapa yang menyuapi aku kala aku lapar ?
  • Siapa yang mengantarku masuk ke gerbang TK dan mengatakan padaku bahwa semua akan baik-baik saja disana ?
  • Siapa yang selalu bangun pagi saat semua masih tidur agar kami semua bisa sarapan dan membawa bekal ke sekolah ?
  • Siapa yang mengajari aku berhitung dan menghafal perkalian ?
  • Siapa yang mengantar aku pergi les Bahasa Inggris dan les Berenang dengan turun naik bis dan becak ?
  • Siapa yang memeluk ku pertama kali saat aku tamat SD ?
  • Siapa yang mengantar aku mendaftar dan ikut test masuk di SMP ?
  • Siapa yang mengajari aku kala haid pertama ku datang ?
  • Siapa yang mendengar cerita ku tentang pangeran-pangeran impian ku di masa remaja ?
  • Siapa yang menghadap wali kelas kala nilai ku di SMA jeblok ?
  • Siapa yang menjemput aku selesai praktek laboratorium dengan mobil jimny coklatnya ?
  • Siapa yang merelakan tangannya berbau minyak gosok agar tubuhku menjadi hangat dan tidak kedinginan ?
  • Siapa yang selalu berdoa siang malam agar aku pulang selamat tiba di rumah ?
  • Siapa yang menyediakan teh hangat atau susu milo dalam mug besar kala aku belajar untuk ujian ?
  • Siapa yang duduk bangga di deretan tamu kalau aku di wisuda diploma dengan peringkat ke-9 dalam angkatan ku ?
  • Siapa yang mengajarkan padaku untuk tidak takut pada apapun, melainkan hanya pada Tuhan saja ?
  • Siapa yang mengajarkan aku dengan perbuatannya dan bukan hanya dengan perkataannya ?
  • Siapa yang mempersiapkan pernikahanku dengan segala daya dan upaya bersama Bapak ?
  • Siapa yang mengurus anakku di kala bayi saat aku harus menyelesaikan tugasku ke luar kota ?
  • Siapa yang bersedia menempuh jarak berkendaraan 2 jam untuk menjenguk anakku di sekolah ?
  • Siapa yang bisa memasak gulai kambing paling enak di dunia ?
  • Siapa yang menunggu ku di kursi ruang tamu setiap hari sepulang kerja ?
  • Siapa yang memberi komentar masakanku yang tidak pernah sama dengan masakannya ?
  • Siapa yang menginginkan aku menemaninya tidur di malam hari ?
  • Siapa yang masih mendengarkan curhat soal pekerjaan dan menghiburku ?
  • Siapa yang selalu memaafkanku kala aku tidak sabar mengganti pampers nya ?
  • Siapa yang selalu mendoakanku sampai akhir hayatnya ?

dan jawaban itu adalah IBU …… (Ibu telah menyelesaikan perjalanannya di dunia ini pada tanggal 17 Januari 2013 dalam tidurnya, terimakasih Ibu untuk semua yang telah Ibu lakukan buat kami semua)


Diari Bapak : Kenangan Sepanjang Masa

Tak bermaksud menggali kenangan lama, apalagi jika itu menimbulkan dukacita. Namun itu yang terjadi jika kenangan ditemukan dalam bentuk tulisan atau buku, yang tidak akan lekang oleh waktu. Seperti yang kualami beberapa hari yang lalu kala menyelamatkan buku diari bapak saat rumah bapak ibu mengalami kebocoran.

Sama seperti aku, atau aku sama seperti bapak, bapak juga suka menulis buku harian (atau diari). Namun buku harian bapak selain berisi kegiatan bapak sehari-hari, juga berisi puisi dan curahan hati kepada ibu yang nun jauh disana. Tahun 1963, bapak sudah menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tingkat Akhir, sementara ibu masih sekolah di Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak di Jawa.

Inilah beberapa tulisan bapak, yang kadang sangat halus seperti perilaku dan budi bahasanya, sehingga perlu kaca pembesar untuk membacanya

Tulisan akan tinggal menjadi kenangan dan itu sebagai bukti dari apa yang kita lakukan di masa lampau.

Doa ku untuk Bapak Ibu di Surga


Membuka Lembaran Baru

Beberapa minggu terakhir ini, kata-kata “Membuka Lembaran Baru” atau “Membuka Halaman Baru/Berikutnya” menjadi kata-kata yang ramai dibicarakan orang. Kata-kata ini berkaitan dengan seseorang yang ingin mengakhiri cerita lamanya dan memulai ‘membuat ‘ cerita yang baru. Kurang lebih berkaitan dengan hal baru, itulah tulisan ini dibuat. Namun sebagai seorang yang menjalani hidup dengan berawal dari masa yang lalu, tentu tidak mungkin kita melupakan masa lalu karena masa lalu adalah pengalaman hidup yang akan terus ada bersama kita.

Tidak mudah memimpin diri untuk kembali pada jalan awal, jika dalam perjalanan, kita mengalami gangguan, sandungan atau halangan atau apapun itu namanya, yang telah sempat masuk dalam hidup diluar yang menjadi perkiraan atau rencana kita. Ya….seperti yang aku alami di awal tahun ini, Ibu meninggalkanku selama-lamanya, sementara aku mesti melanjutkan perjalanan hidup di dunia ini, walau tanpa Ibu dan melanjutkan tugas Ibu yang tertunda untuk melaksanakan pernikahan adik bungsuku.

Dalam hidup, setiap orang pasti akan menghadapi kenyataan yang mau tidak mau, membuka lembaran baru, harus memulai sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dengan apa yang dilakukan pada saat sebelumnya. Melupakan kejadian yang terjadi sebelumnya agar tidak semakin jatuh terpuruk untuk bangkit dan menjalankan hal yang baru atau hal yang tertunda. Namun, membuka suatu lembaran baru dalam kehidupan tidaklah semudah membuka lembaran baru di buku, kompleksitas hidup ini membuat lembaran baru tersebut tidak mudah untuk dimulai, selain itu karena yang pertama, singkirkan dulu hal atau kenangan masa lalu yang membuat terluka seperti melupakan peristiwa kematian tersebut dan mengganggap perpisahan ini hanya sementara serta yang kedua, aktif menempatkan diri untuk membuat hal yang baru dan memikirkannya.

Sebelum Ibu meninggal, sejak bulan September tahun lalu, kami memang sudah merencanakan pernikahan adik bungsu kami untuk dilaksanakan bulan Maret tahun ini. Antara sedih dan susah karena kepergian Ibu, aku tertatih-tatih membantu adikku untuk mempersiapkan pernikahannya, mulai dari pengurusan berkas-berkas yang cukup makan proses, mulai dari Catatan Sipil, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Luar Negeri dan Kedutaan, karena adikku menikah dengan warga asing, juga urusan pelaksanaan tempat pernikahan, acara syukuran, pernjahitan baju pengantin maupun baju seragam kami dan juga undangan untuk syukuran kami yang sederhana, yang rencananya hanya mengundang sebanyak 200 orang saja.

Tak mudah memang untuk melepaskan lembaran yang lama, melupakan kepergian Ibu, namun halaman baru tentu sudah menunggu untuk dibuka, dibaca atau diiisi dengan perjalanan hidup yang baru. Dan aku mulai menjalaninya dengan mengurus semua persiapan ini. Semoga lembaran baru, yang menjadi awal kehidupan yang baru di awal bulan Maret ini menjadi suatu hal yang baik bagiku dan keluargaku, juga kami yang bersaudara ini untuk semakin satu dan saling peduli satu sama lain. Dan semoga lembaran baru ini, melanjutkan amanah Ibu, membuat aku menjadi orang yang bersemangat seperti Ibu, Ibu yang kuat dan Ibu yang mengasihi Tuhan dan anak cucu mantu sampai akhir hayatnya.


Selamat Jalan Ibunda, Selamat Jalan Eyang Uti

Tulisan ini sengaja aku buat untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan, sebagai manusia biasa, tanpa mengurangi rasa hormatku kepada Tuhan Yesus, para Pendeta, semua kerabat dan teman yang memberikan penghiburan buat kami sekeluarga.

Kepergian seseorang, perpisahan sementara di dunia, pertemuan abadi di surga nanti, peristiwa kematian atau apapun namanya, pada kenyataannya adalah saat ini aku sudah tidak dapat berkontak fisik dengan Ibu. Aku tidak dapat lagi berbicara kepada Ibu secara langsung, apalagi mendapat jawaban ataupun respon dari beliau. Aku tidak dapat memandikan Ibu, mengelap tubuhnya, membalurkan minyak gosok ke punggungnya, membedaki wajahnya, memotongi kuku kaki dan tangan lalu merendamnya dengan foot foam, apalagi menuntunnya berjalan dan menyediakan makanan untuk Ibu setiap waktu seperti yang Ibu inginkan (karena penyakit diabetesnya, ibu cenderung terus merasa lapar dan ingin makan saja)

Ibu adalah sosok yang istimewa buat setiap anak, walau buat aku, di masa hidup (masa mudanya, semasa bapak masih berkarir), Ibu memang sudah tampak super luar biasa. Ibu terlalu “gesit” dan cekatan buat aku, sementara aku sendiri cenderung lebih tenang dan lebih suka di rumah. Jadi, karena berbeda “gaya” pasti ada saja beda pendapat 🙂 Sejak kami masih anak-anak, Ibu selalu aktif membantu bapak dalam segala hal, baik untuk menunjang karir Bapak, menambah penghasilan keluarga (dengan menerima pesanan untuk membuat ikan pepesnya yang luar biasa empuk sampai ke tulang-tulangnya –waah aku rindu pepes ikan Ibu, aku rindu gule kambing Ibu – Ibu ku pintar memasak ) dan bahkan masih sempat mengajari kami berlima semua mata pelajaran, khususnya berhitung (yang semasa aku SD, kami masih menggunakan buku Cerdas Cermat, isinya lebih banyak berhitung soal bukan Matematika).

Setelah karir Bapak mulai menanjak dan Bapak menduduki Jabatan Eselon I, saat itu kami juga semakin dewasa, seingat aku, itu sekitar tahun 1987, saat Bapak diperbantukan dari Sekretariat Negara ke Badan Administrasi Kepegawaian Negara, aku mulai kuliah di Akademi Ilmu Statistik, Ibu juga ikut berkibar mendukung karir Bapak melalui kegiatan Dharma Wanita, dengan luar biasa tetap mampu menjalankan kodratnya sebagai seorang Ibu dan Istri. Mau tahu bagaimana hebatnya Ibu saat itu ? Ini salah satu kehebatannya, setelah mengantar adik bungsuku ke sekolah (coba bayangkan di masa itu saja, Ibu sudah menyetir mobil sendiri kesana kemari – aku ? oh tidak – satu-satunya orang yang tidak piawai di kegiatan outdoor di rumah kami adalah aku), dari sekolah adik, Ibu pergi ke salon untuk memasang sanggul, berganti baju disana dan dengan kebaya sanggul menyetir sendiri mobil jeep jimny coklat kami dari salon di daerah Mayestik menuju ke kantor Bapak di wilayah Cililitan. Sementara kami dibiarkan pulang bersama supir bapak, tapi Ibu melaju sendiri dengan kemandiriannya yang luar biasa. Buat Ibu, lebih baik menyetir sendiri daripada memakai supir dari kantor Bapak, beda ya dengan kebanyakan istri pejabat saat ini? 😀

Setiap hari Ibu piawai mengatur jadwal kami dan lalu lintas keluar masuk orang di rumah, baik saat ada pembantu di rumah ataupun tidak. Siapa yang mesti melakukan tugas di rumah sebelum dan sesudah pulang dari sekolah. Kami semua punya tugas untuk melakukan kewajiban di rumah sejak kami kecil, yang aku ingat waktu aku duduk di SD pun, setelah mengerjakan PR, sebelum tidur siang, aku punya kebiasaan membantu Ibu mengangkat jemuran pakaian kering, yang lama-lama menjadi tugas rutinku tanpa disuruh Ibu. Ibu mampu membuat sebuah ‘perintah’ menjadi “kebiasaan rutin” kami, ntah itu karena galaknya Ibu atau karena wibawa dan berkarismanya Ibu di mata kami.

Oh ya Ibu, bukan sosok wanita yang cerewet dan bawel lho, apalagi ngerumpi ? sebagai seorang istri pejabat di masa itu, Bapak selalu mengajarkan kepada kami untuk mampu menahan diri dan tidak mudah bicara sana sini, kebetulan kami sekeluarga bukan tipe yang seperti itu. Kembali pada Ibu, walau Ibu tidak cerewet tapi jika Ibu sudah marah karena ketidakpatuhan kami, Ibu bisa lebih galak dari apapun, contohnya seperti bekal makanan yang tidak kami makan di sekolah padahal Ibu sudah sibuk menyiapkannya sejak pagi. Wah marahnya bisa lebih dahsyat daripada badai dimanapun, jadi jangan coba-coba melakukannya, maka kalau bekal tidak habis, kami bersaudara akan saling cek tempat bekal kami dan menghabiskannya dalam kendaraan sebelum tiba di rumah.

Ibu, Ibu, Ibu, tidak cukup menceritakan kelebihan dan kekurangan Ibu pada selembar layar di blog ini, sampai saat inipun, aku pribadi, selain anak-anak dan suami, yang telah tinggal bersama Ibu tiga tahun terakhir ini, masih merasa sangat kehilangan dan membicarakan Ibu. Namun, Ibu memang sosok yang luar biasa, sejak kecil Ibu sudah hidup “ngenger” ikut pada kerabat lain agar hidup mandiri, memang menjadikan Ibu sebagai seorang yang kuat, mandiri dan tahan banting, ini pula yang Ibu ajarkan kepada kami, khususnya kepada 4 (empat) orang anak perempuannya. Hasil didikan dan buah kasih Ibu yang berjuang untuk kehidupan kami yang lebih baik tidak sia-sia, itu semua tampak dalam kehidupan kami, dalam kepribadian dan kemandirian kami. Aku dan kami semua percaya kasih Ibu yang begitu dalam dan besar bak samudera telah menghantarkan kami menjadi manusia yang mempunyai hati pada orang lain.

Dua minggu terakhir ini, sejak kepergian Ibu tanggal 17 Januari yang lalu, memang menjadi hari-hari yang berat buat aku, tiga kali aku mengalami demam dan jatuh sakit karena masih sangat berat kehilangan energi yang luar biasa dari sosok Ibu yang walau beberapa tahun terakhir banyak berbaring di tempat tidur, mampu memberi kami semangat yang luar biasa buat aku, suami dan anak-anak beraktifitas tiga tahun terakhir ini. Namun, sebagai seorang Ibu, aku juga harus melanjutkan semangat Ibu ku dan memberikan energiku kembali kepada anak-anak dan suami yang tentu masih membutuhkanku. Maafkan aku, Ibu, kalau aku belum merawat Ibu dengan maksimal, di saat keadaan keuangan ku mulai membaik, di saat paspor Ibu sudah aku siapkan bulan Nopember yang baru lalu untuk kembali berobat ke Penang, Ibu malah sudah pergi meninggalkan kami ke rumah Bapa di surga.

Manusia memang hanya boleh mempunyai rencana, namun Tuhan yang punya kuasa pada kehidupan kita berkehendak lain, pertumbuhan iman Ibu yang mencapai puncaknya, kesetiaan Ibu pada Tuhan dan pertobatan Ibu atas tindakan di masa lalu sudah terjadi, berubah menjadi kepasrahan total pada Tuhan, seperti yang disampaikan para Pendeta yang rutin melakukan perlawatan ke rumah, membuat Tuhan Allah menyatakan kehendak Nya untuk memanggil Ibu pulang.

Berat sebagai manusia biasa menghadapi hal ini. Perpisahan dengan seorang teman dekat atau saudara saja cukup menimbulkan kepedihan, apalagi Ibu yang mengandung, melahirkan, membesarkan, mendewasakan dan melingkupi kehidupan anak cucu dan menantunya sampai saat ini, tentu bukan hanya pedih yang terasa, aku benar-benar kehilangan separuh nyawaku saat ini, tapi sebagai anak Tuhan, yang percaya pada Roh Penghiburan dari Tuhan, maka aku dan keluarga ikhlas bersedia menyerahkan hidupku untuk menerima rencana Tuhan buat hidup kami ini 🙂

Natal terakhir kami bersama, formasi lengkap, sebelum Mas Loegeng bertugas di Filipina (Desember 2011)

Bersama 8 cucu di hari ulang tahun terakhir ke -67 (Juni 2012)

Damai besertamu Ibu di sana, kami akan selalu berdoa untukmu, meneruskan semangat dan cita-cita Bapak Ibu (Eyang anak-anak kami) untuk menjadi orang-orang yang berguna di mata Tuhan dan sesama kami, saling rukun, saling menopang dan saling mendoakan.