mengapa kita tidak seperti lebah madu? yang diam, namun memberikan banyak manfaat kepada manusia dan selalu bekerja sama dengan sesamanya…yang marah, bila diganggu namun berbuah manis…yang sengatnya tajam dan mematikan namun mampu menolong yang sakit….
18.09.2024 Selamat HUT Prof Bambang Hidayat “Ngaturaken sugeng ambal warsa ke-90 dumateng Bapak. Mugi tansah pinaringan rahayu, lan barokah saking Gusti Allah, Aamiin”
Syukuran Hari Kelahiran Bapak Bambang diadakan pada hari Sabtu, 21 September 2024 di kediaman Bapak Bambang. Syukuran ini dihadiri kedua putra Bapak, Mas Arief bersama kedua putra putri dan Mas Budi yang ditemani Hagi, yang sudah berada di Indonesia sejak akhir Agustus. Selain itu, ada beberapa kerabat dan keluarga yang hadir memenuhi Undangan Bapak pada hari itu.
Silaturahmi yang indah sangat aku rasakan di rumah yang hangat ini, kembali pulang dari rumah ini selalu bertemu dengan orang baru yang dihubungkan oleh semesta, yang menjadi saudara dan teman baru, berjumpa dengan Bu Alda pertama kali, Mbak Nata, bu Tisna, Mbak Donna (kawan lama) dan banyak lagi. Selain itu, aku juga datang bersama-sama dengan Bu Sunartri, yang beberapa kali menemani aku berkunjung ke rumah Bapak. Betapa diberkatinya aku. Terima kasih untuk keramahtamahan keluarga Bapak Bambang, Mas Arief, Mas Budi dan keluarga, juga chef andalan keluarga, bu Eneng.
Bu Eneng dan kedua anaknya menyiapkan aneka hidangan buat kami, mulai dari es sago mango saat kami datang, klapertaart, hidangan utama, tumpeng komplit bersama lauknya (empal, ayam goreng, urap sayur, dan banyak lagi) yang membuat aku tak berhenti menyendokkan lauk ke piring haha, sampai hidangan penutup berupa rujak serut dan puding yang dibuat kak Malika, sayangnya aku tidak sempat mencicip puding buatan kak Malika ini, dan terakhir adalah secangkir kopi hitam panas yang mencerahkan suasana,
Makan siang diawali dengan ucap syukur yang disampaikan Bapak dengan agak terbata-bata karena rasa haru dan bahagia atas kehadiran keluarga dan teman, khususnya pasti karena kebersamaan kedua putranya yang hanya dapat saling berjumpa setahun sekali itu. Rasa bahagia itu tentu menjalar dan ikut kami yang hadir merasakan. Seperti yang aku sampaikan di awal, kami seperti saling terhubung walau beberapa dari kami, belum pernah berjumpa satu sama lain. Sekali lagi, terima kasih atas Undangan Bapak
Terima kasih Mbak Dey untuk nya, yang kali ini merangkai bunga mawar putih dan hydrangea berwarna biru, kombinasi yang tak sengaja aku pilih, namun ternyata memiliki makna mendalam tentang arti pertemanan dan persahabatan, ah indahnya.
Love you all… Semoga kita bisa berjumpa lagi di lain waktu. Sehat selalu Bapak, tempat kami mendengar cerita dan berbagai kisah yang memaknai hidup untuk menjadi lebih baik. Aamiin
Wisata ke Lombok ini sudah kami rencanakan jauh hari, tepatnya 8 bulan lalu, saat kami sama-sama tergabung menjadi Panitia Natal Paduan Suara Wanita Sola Gratia dalam kegiatan Kunjungan Kasih ke Panti Asuhan. Di sela kegiatan, kami “mendadak” merencanakan untuk berwisata ke Lombok. Tiket dipesan karena ada promo tiket dari Kartu Kredit Bank Mandiri.
Setelah tiket terpesan, mulailah kami menabung sejak bulan Desember 2023 sampai awal Agustus 2024. Mulai memesan tiket hotel yang juga dengan voucher potongan, menyusun ittenary dan memesan kendaraan.
Kamis, 22 Agustus 2024, kami berenam berangkat menuju Lombok, dengan pesawat Garuda GA432, penerbangan menempuh waktu selama 2 jam 30 menit. Berangkat pukul 7.00 WIB dan tiba pukul 10,30 WITA.
Setiba di Lombok, kami langsung menuju hotel Swiss BelCourt, yang terletak di wilayah Praya, Lombok, untuk menurunkan barang bawaan dan melanjutkan perjalanan kami ke Desa Sukarara. Tiba di Desa Sukarara, kami langsung disambut oleh Sani, yang mengarahkan kami untuk memilih pakaian adat suku Sasak yang akan kami gunakan untuk berfoto. Sebelumnya, salah seorang dari kami berbisik bertanya, “kami harus bayar berapa?” Sani menjawab, “Seikhlasnya”. Baik, kami melangkah untuk memilih kain sesuai selera kami dan Sani membantu kami memakai kain, atasan hitam dan mengikatkan angkin diatas kain sarung.
Sukarara adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Desa ini sebagian besar penduduknya bersuku Sasak. Songket Sukarara merupakan kain tenun yang terletak di desa, yang dikenal sebagai desa penenun kain tenun khas Lombok, dengan motif Keker, Subanala dan Nanas, dengan warna-warna yang cantik walau masih menggunakan peralatan tenun tradisional.
Puas berfoto, kami mulai memilih-milih kain tenun dalam berbagai bentuk, misal sarung, stola, ikat kepala atau bahan untuk pakaian. Kami berenam membeli stola atau selendang sesuai selera kami masing-masing. Di Sukarara, kami juga mencoba belajar menenun dari penenun langsung. Harga bervariasi sesuai dengan jenis benang dan tingkat kesulitan pembuatannya. Aku membeli satu buah ikat kepala dan selendang tenun.
Dari Desa Sukarara, kami lanjut makan siang di Rumah Makan Keker. Rumah Makan dengan ornamen dan vibes khas Lombok, dengan interior didominasi bambu, menambah rasa nyaman dan adem, dengan angin semilir dan ditambah pemandangan menghadap ke pegunungan yang hijau dari kejauhan. Di sini, kami memesan Ayam Taliwang khas Keker, tentu dong, ini makanan yang wajib dicoba saat ke Lombok. Selain itu, ada Cumi Tumis Hitam, Beberuk Terong dan Plecing Kangkung. Masakannya juara. Direkomendasikan untuk dicoba. Untuk minumannya, kami memesan Es Kelapa Muda.
Selesai menikmati makan siang, kami lanjut menuju Desa Sade. Desa Sade terletak di Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa Sade berada satu dusun dengan Desa Rembitan, desa ini merupakan desa adat suku Sasak, Lombok. Tiba di sana, kami langsung disambut oleh pemandu bernama Wira. Wira memperkenalkan diri dan menyebutkan karena ia sudah menikah dan memiliki anak bernama Edelwise, maka Wira dipanggil orang dengan sebutan Ama Edelwise.
Wira menjelaskan secara singkat mengenai kehidupan adat suku Sasak dan mengajak kami berkeliling ke beberapa bagian dari desa itu. Ia menunjukkan rumah asli suku Sasak dan kehidupan sebagian penduduknya, yang juga sebagian hidup dari menenun. Lagi, kami mencoba berkain dengan kain tenun khas Sasak. Luas desa Sade sekitar 5.5 hektar dengan 150 rumah di sana. Penduduk di desa ini masih satu keturunan karena mereka memperbolehkan pernikahan antar saudara. Di desa ini, rumah yang mereka huni adalah rumah khas Sasak dengan atap rumah yang tinggi dengan anyaman bambu.
Sebelum menuju wilayah Mandalika, kami mampir ke Sasaku Galery. Tujuan awal adalah berganti pakaian tapi ternyata di sana tersedia banyak produk sebagai alternatif untuk oleh-oleh dengan kualitas yang bagus dan harga juga terjangkau, malah harga ikat kepala di toko ini jauh lebih murah dari yang aku beli di tempat sebelumnya. Di sini dijual kaos, souvenir khas Lombok dan juga produk makanan seperti kopi, madu, manisan dan sambal.
Kami lanjut menuju Sirkuit Mandalika dan Bukit Merese. Sayangnya, cuaca kurang bersahabat, langit mendung dan berangin, namun tak mengurangi semangat kami untuk mendaki. Saat berada di depan gerbang Sirkuit Mandalika, kami dibantu beberapa anak untuk mengabadikan keberadaan kami di sana, mereka bahkan membantu untuk membuat video pendek. Selain itu, di depan gerbang itu juga banyak penjaja yang menawarkan souvenir untuk kami bawa pulang, seperti kaos, dompet dan asesoris mutiara. Catatan ya, kita mesti pandai memilih dan menawar harga barang tersebut.
Kami tiba hampir gelap di Bukit Merese, namun tidak mengurangi hasrat kami yang penasaran dan berharap dapat menikmati matahari terbenam sesungguhnya dari balik bukit.
Hari pertama itu, kami tutup dengan santap malam di Rumah Makan Taliwang Nyaman di kota Mataram, tentu dengan menu ayam taliwang dan sambal yang super enak.
Jumat, 23 Agustus 2024, kami awali perjalanan kami ke Sembalun dengan sarapan di hotel, seperti biasa, setengah cangkir kopi hitam akan menemani pagiku. tertulis “kopi Lombok” wah layak dicoba ini dan ternyata tidak mengecewakan. Menu sarapan di hotel cukup bervariasi.
Tujuan kami pertama adalah ke Pusuk Sembalun, yang menempuh waktu sekitar dua jam dari hotel. Perjalanan yang cukup jauh namun terbayarkan dengan suasana dan pemandangan yang begitu indah di Sembalun. Kami puas berfoto di sana. Kami dikenakan tarif berfoto sebesar Rp 5.000,- per orang dan dibantu diabadikan oleh penjaga di sana. Nilai yang cukup sesuai ya. Menurut catatan, Pusuk Sembalun ini terletak antara 900 sampai dengan 1.300 MDPL.
Termasuk berfoto di pintu Taman Nasional Gunung Rinjani, sambil menunggu pengemudi kami sholat Jumat. Menurut informasi yang kami dapatkan, biasanya wisatawan yang akan mendaki Gunung Rinjani diberangkatkan dari pos ini. Dari pos ini juga ada kendaraan minibus yang membawa wisatawan pulang pergi ke Mataram.
Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan kami ke Bukit Selong, yang berada 1.800 MDPL, untuk dapat melihat kawasan pedesaan Desa Bleq dari atas bukit. Dikenakan tarif sebesar Rp 5.000,- per orang, kami menyusuri menuju puncak bukit, yang tertulis “hanya” 350 meter namun dengan kemiringan yang lumayan untuk orang seusiaku.
Dari tempat ini, kami lanjut makan siang di Kedai Sawah, yang terletak di tengah kebon stroberi. Masakan dan makanan yang disajikan enak buat kami tapi sayangnya penyajiannya sangat lama menurut kami. Aku memesan Ikan Kuah Khas Sembalun. Ikan yang digunakan adalah ikan nila, yang digoreng lebih dahulu lalu dimasak bersama bumbu dan kemiri sebagai pengganti santan, sehingga kuahnya terasa ringan. Aku suka, apalagi jika disajikan dengan nasi hangat. Selain itu bakwan sayurnya juga enak, digoreng dadakan dan disajikan hangat-hangat.
Selesai menikmati makan siang dan berganti pakaian, kami melanjutkan perjalanan kami menuju Tanjung Bias (rencana kami, untuk menikmati matahari terbenam dan makan malam), namun rencana ini kami sesuaikan dengan kondisi di tempat, akhirnya kami tutup dengan menikmati Pantai Senggigi, yang menurut aku kurang bersih, ditambah lagi dengan toilet yang tak terjaga dengan baik, walau ada penjaganya.
Dari Pantai Senggigi, kami kembali ke Mataram, menikmati makan malam kami di Sate Rembiga Bu Sinnaseh, yang terletak di Jl. Dr. Wahidin No.11B, Rembiga, Kec. Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Bar. 83124. Sate Rembiga adalah sate sapi khas daerah Rembiga.
Hari ketiga, Sabtu, 24 Agustus 2024, kami nikmati dengan bangun pagi dan menuju ke Selong Belanak, silakan klik link berikut ya Menyambut Pagi di Selong Belanak. Dari Selong Belanak, kami kembali ke hotel untuk melanjutkan sarapan kami dan bersiap kembali untuk ke bandara.
Terima kasih Tuhan, untuk perjalanan yang kami rencanakan jauh hari ini, untuk semua sukacita yang Kau berikan, untuk penyertaan dan pemeilharaan Mu sehingga kami berenam beserta keluarga kami di rumah dalam keadaan baik dan dapat pulang dengan selamat.
Semoga sukacita kami dapat dirasakan juga oleh para pembaca dan bisa menjadi alternatif liburan di masa yang akan datang. Oh ya selama kami di sana, kami dibantu Pak Dika dan Pak Wawan, yang turut bersama menyusun ittenary. Jika ada yang memerlukan info transportasi di sana, hubungi aku ya, nanti aku beri informasinya. Terima kasih Pak Dika dan Pak Wawan.
“The ocean stirs the heart, inspires the imagination and brings eternal joy to the soul.” – Robert Wyland: Ocean Life Themed 12 Month Undated Planner
Lokasi ini sesungguhnya masuk daftar ittenary kami di hari pertama, dengan tujuan melihat matahari terbenam dan iringan kerbau pulang kandang, namun karena sesuatu dan lain hal terutama karena angin mulai kencang berhembus di sore hari pertama itu, maka kami membatalkan menuju Selong Belanak. Jadilah kami menyambut pagi terakhir di Lombok di sini.
Bersyukur rasa penasaran kami terobati, memaksa diri untuk bangun lebih awal, kami berempat menuju ke Pantai Selong Belanak.
Selong Belanak adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Desa ini sebagian besar penduduknya bersuku Sasak. Di desa ini terkenal dengan keindahan Pantai baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing. (Wikipedia)
Langit biru, pasir putih, angin sepoi berhembus, semburat sinar matahari pagi yang mulai nampak di balik awan mendung di belahan yang lain.
Dengan menggunakan angkutan mobil online, kami menuju Pantai Selong Belanak, jaraknya sekitar 21 kilometer dari hotel tempat kami menginap di Swiss Belcourt Penujak, Praya, Lombok, atau sekitar 30 menit perjalanan. Dalam kendaraan, kami harap-harap cemas, apakah cuaca akan bagus, dapatkah kami menikmati pantai ini karena kami melihat jalan basah habis diguyur hujan dan ada terpaan rintik hujan.
Tujuan kami memang Laut Biru Bar and Restaurant, jadi maps googling kami mengarah ke sana. Kendaraan berhenti di gang masuk menuju pantai dan kami mulai berjalan menyusuri pantai, yang menurutku cukup bersih dan tenang sekali. Ada beberapa pedagang di pinggiran pantai, termasuk Laut Biru BR, namun mereka memang masih belum buka, bahkan payung pantai mereka pun belum berkembang. Kami menikmati pantai sebebas-bebasnya, membuat beberapa foto dan bahkan video berulang-ulang, sembari menunggu Laut Biru BB yang baru akan dibuka pukul 08.00.
Aku lupa tidak sempat menanyakan kapan persisnya Laut Biru BB ini beroperasi, namun dari ulasan yang aku baca, Bar dan Restaurant ini sudah ada sejak tahun 2013. Kami dipersilakan duduk walau waktu masih menunjukkan pukul 08.00 kurang. Karena kami masih ingin menikmati sarapan di hotel dan juga dibatasi waktu untuk segera kembali ke hotel, kami memesan minuman hangat dalam poci, pancake dan roti (hot fresh ginger, toast and preserved and stacked pancake with homemade jam) Lumayan untuk mengisi dan menghangatkan perut kami di pagi itu.
Laut Biru Bar and Restaurant, adalah tempat kuliner paling ujung di pantai Selong Belanak untuk saat ini, didominasi warna putih dengan perabot kayu di bagian depan resto. Suasananya cukup nyaman dan pelayanannya juga baik, semoga bukan karena kami pelanggan pertama pagi itu ya. Pelayannya juga ramah dan sabar menjawab pertanyaan kami.
Sebenarnya kami ingin memesan pizza atau makanan lain, tapi karena masih pagi, yang tersedia hanya menu sarapan pagi saja. Semoga lain kali kami dapat berkunjung lagi kemari dengan waktu yang lebih leluasa, untuk menikmati matahari terbit dan terbenam dengan melihat sekawanan kerbau, berangkat dan pulang kandang.
Selain itu, di area resto ini, ada sebuah galeri kecil yang apik dan aku suka banget, menjual banyak pernak pernik, mulai dari asesoris, pakaian, kain tenun dan juga gerabah cantik. Sesungguhnya aku naksir dengan gerabah yang sebagian berwarna biru ini namun kebayang bagaimana harus membawanya ya.
Sabtu, 15 Juni 2024, bersama beberapa orang teman, tanpa banyak rencana, kami akhirnya berangkat untuk menikmati Trekking Sentul yang dikoordinir Cakar Langit Indonesia. Kami yang semula berencana berangkat 6 orang,menjadi 5 orang karena salah seorang teman berhalangan.
Kami mengambil Paket ini, Rute B Curug Kencana. Oh ya, dari kami berlima, 3 diantaranya sudah berusia 60 tahun keatas, salut kepada mereka dengan semangatnya untuk mencapai tempat tujuan.
Tiba di titik kumpul dengan arahan dari dua orang tour guide, kami langsung mendapat arahan dan sedikit pemanasan. Sekitar pukul 08.00 kami mulai menyusuri jalan naik turun berbatuan, dibawah rindangnya pepohonan dengan cuaca yang menyejukkan, habis disiram hujan.
Melewati beberapa rumah penduduk, tampak di kiri kanan, ada yang berjualan hasil kebun seperti pisang dan ubi. Ada juga pelataran rumah penduduk yang menjemur hasil kebun biji kopi, yang akan dijual pada pengepul, menurut tour guide kami, sebagai hasil kebun penduduk Desa Depok Wangun.
Menuju Curug Kencana, kami tiba di beberapa curug kecil dan berfoto di sana, sebelumnya akhirnya tiba di tujuan setelah melewati hutan pohon bambu yang sangat rindang.
Di setiap curug yang kami singgahi, ada warung-warung yang selain menyediakan makanan hangat seperti mie rebus, gorangan seperti bakwan, tahu dan pisang yang digoreng dadakan dan minuman hangat, juga menjual pakaian seperti kaos dan celana, sandal dan sewa alas duduk.
Setelah tiba di curug terakhir dan puas bermain air, kami pun menikmati semangkuk mie dan teh hangat, untuk menghilangkan dingin dan sejuknya hawa pagi itu.
Kami kembali melalui jalan yang sama, sekitar pukul 11, tentu perjalanan pulang terasa lebih cepat dari pada saat berangkat. Tiba di tempat berangkat, kami bergantian membersihkan diri, berganti baju dan sepatu, dan bersiap kembali.
Terima kasih Cakar Langit, pengalaman yang menyenangkan buat kami semua, didampingi dua tour guide yang sabar dan baik hati, menemani dan menunggu kami, tanpa terburu-buru dan membuat pengalaman trekking ini jadi nyaman dan berkesan. Berikutnya kami akan mencoba trekking dengan jalur atau paket yang berbeda.
Buat teman-teman yang belum penah ikut trekking di Sentul, coba hubungi akun Cakar Langit di Instangram @trekking_sentul, ini akan jadi pengalaman yang berkesan, menikmati keindahan dan kesejukan alam terbuka, baik buat diri sendiri, bersama keluarga atau teman.
Selama pandemi (Maret 2020 sampai dengan saat ini – 15 Maret 2021) Observatorium Bosscha, Lembang, Bandung, Jawa Barat, ditutup sementara. Buku Cerita Anak “Aku dan Alam Semesta” yang rencananya akan dipasarkan pada pengunjung observatorium, akhirnya aku bagikan pada anak-anak di Kampung Bosscha (dengan bantuan Bu Ely, Staf kantor observatorium).
Buku juga telah dibagikan ke beberapa SD di sekitar Lembang dan Purwakarta (SDN Pancasila, SDN Merdeka, SDN I Wangunsari, SDN 3 Lembang, SDN 11 Lembang, SDN Cikumpay Purwakarta dan Perpustakaan Desa)
Alhamdulillah…Puji Tuhan Buku sudah selesai dicetak oleh Penerbit Itb Press
pada bulan Mei 2020. Terima kasih bantuannya pak Edi Warsidi, Pak Ekki dan Pak Anggoro.
Semoga buku tersebut dapat bermanfaat, menghibur anak-anak di masa pandemi dan menambah kecintaan mereka terhadap ciptaan Tuhan dan alam semesta. Aamiin
Bahagia itu sederhana, sebahagia melihat wajah anak-anak itu….
Terima kasih Bapak Prof Bambang Hidayat (Pak Arief Arianto) yang membuat ini dapat terwujud dan dicintai anak-anak.
Thank GOD. I am flattered and happy. My book, Aku dan Alam Semesta (I and The Universe), read by Sara, at Harvard University. Thank you Ms. SaraSchechner
Aku selalu yakin dan percaya kalau jodoh itu memang di tangan Tuhan, hm maksudnya, buku pun akan punya “takdir” karena buku itu “bernyawa” sebab ia “diciptakan”.
Sebuah buku akan bertemu dengan pembacanya, walau kritik saran bisa datang, tapi yakin dan percayalah, semua berproses untuk menjadi lebih baik
Terima kasih selalu tentunya untuk Bapak Prof Bambang Hidayat, yang telah membuat Kata Pengantar dalam buku ini dan memperkenalkan aku dengan Sara Schechner di Harvard University.
Jadi…. apakah ada penerbit yang bersedia meminang naskah buku versi Bahasa Inggris nya?