Makam Raja Sidabutar, Tomok

Makam Raja Sidabutar, yang kami kunjungi di Tomok, merupakan makam yang terbuat dari batu utuh tanpa persambungan yang dipahat untuk tempat peristirahatan Raja Sidabutar penguasa kawasan Tomok pada masa itu. Sidabutar merupakan orang pertama yang menginjakan kakinya di Pulau Samosir. Kuburan yang sudah berumur lebih dari 200 tahun itu, merupakan kubur batu.

Sebelum memasuki lokasi ada prosesi pemakaian ulos. Selain makam raja Sidabutar, terdapat juga makam raja kedua yang walaupun masih keluarga tetapi bukan keturunan langsung raja Sidabutar. Terdapat juga makam raja berikutnya yang dihiasi ornamen salib, menandakan pada masa pemerintahannyalah masyarakat Batak sudah mengenal agama (Kristen) yang dibawa oleh misionaris asal Jerman yaitu Nomensen.

 

Kunjungilah Makam ini, jika anda singgah di Tomok, karena ini bagian dari sejarah dan budaya bangsa kita


Borhat Ma Dainang

Borhat ma dainang
Tubuan laklak ho inang tubu sikkoru
Borhat ma dainang
Tubuan anak ho inang tubuan boru
Horas ma dainang
Rongkapmu gabe helanghi dongan matua
Horas ma dainang
Ditongan dalan nang dung sahat ro di huta



Reff:

Unang pola tangisho
Ai tibu do ahu ro
Sirang pe ahu sian ho
Tondinghi gumonggom ho

Mengkel ma dainang
Sai unang tangis ho inang martuk tukian
Ingot martangiang
Asa horas hamu nalaho nang na tinggal


Lagu dengan lirik yang sangat menyentuh hati ini, biasanya dinyanyikan oleh ibu untuk anak atau boru dan menantunya pada pesta pernikahan adat Batak. Liriknya bermakna sekali, memiliki pesan mendalam. Melepas putrinya untuk hidup bersama dengan orang lain, lebih dalam artinya berpisah dari keluarga untuk membentuk rumah tangga sendiri. Sang lirik mengharapkan, agar si putri tegar dan tekun dalam doa sehingga sehat selalu, kini dan nanti. Sebagai tujuan berkeluarga adalah menghendaki keturunan, lagu ini pun berharap agar keluarga baru itu dianugerahi anak dan putri.

Dimanapun lagu ini dinyanyikan selalu membuat hati tersentuh dan ingin menangis, tidak ada seorang ibupun di dunia ini, yang ingin berpisah dengan anak (boru) nya bukan? Walau kenyataannya tidak demikian di jaman sekarang, tapi lirik lagu ini menginginkan ketegaran seorang anak yang melanjutkan kehidupannya ke jenjang pernikahan. Akan lebih mengharukan lagi, jika langsung dinyanyikan oleh sang Ibu.

Sumber : Ms Google dan Pribadi


MARHUSIP di Cengkareng…

Marhusip merupakan salah satu aktivitas yang penting dalam rangka perencanaan pelaksanaan adat pernikahan dalam Suku Batak. Arti harfiah dari MARHUSIP dalam bahasa batak adalah berbisik. Aku tidak tahu persis kenapa kata MARHUSIP digunakan dalam kegiatan ini, sebab pada hakekatnya dalam setiap pembicaraan dalam acara ini bukanlah berbisik bisik melainkan berbicara normal seperti sediakala dan terkadang diselingi canda dan tawa. Dari pengalaman mengikuti acara acara yang seperti ini dapat disimpulkan bahwa istilah MARHUSIP digunakan mengingat kegiatan ini belumlah disaksikan secara terbuka oleh masyarakat umum (sanak keluarga dan kerabat secara keseluruhan) namun terbatas hanya sanak keluarga dekat dan sifatnya memformalkan apa yang dibicarakan dalam Marhori DInding.

Marhusip ini baru saja aku hadiri pada hari Sabtu, 5 Desember 2009 yang lalu, dimana kami, sebagai pihak PARANAK, mengantar anak kami Coky Gihon Jansen Silalahi, anak dari abang suamiku, Ap Coky Silalahi, ke rumah keluarga PARBORU, calon anak menantu kami, boru Simanjuntak, di Jalan Kenanga, Menceng, Cengkareng. Yang hadir dari pihak kami PARANAK adalah bapak dan inang tua dari calon pengantin pria, bapak dan inang udanya, amang dan inang boru nya dan juga ada opung boru nya dari Pengadegan.

Acara yang semula direncanakan pukul 12.00 ternyata mundur menjadi 13.30 karena ada salah komunikasi. Namun ndak masalah, walaupun perut lapar, kami sudah disuguhi lappet ombus-ombus dan air minum. Lumayan, buat yang sudah menahan lapar sejak tadi karena ada yang belum sempat sarapan dan terlambat makan siang.

Dalam acara ini pihak PARANAK datang secara resmi bersama saudara dekat menemui pihak keluarga PARBORU dengan membawa SIPANGANON (makanan dan minuman) dan tentunya kedatangan ini telah disepakati dalam acara marhori dinding, sehingga pihak PARBORUpun telah mengundang sanak saudara dekat untuk menerima kedatangan pihak PARANAK, dan masing masing pihakpun telah didampingi RAJA PARHATA. Boleh dikatakan bahwa kedatangan pihak PARANAK kali ini adalah meminang secara resmi anak perempuan dari PARBORU dan telah melibatkan para pihak yang berkepentingan.

Sesampai  didalam rumah PARBORU, pihak PARANAK-pun menyampaikan bahwa mereka datang dengan membawa SIPANGANON (makanan dan minuman). Kemudian pihak PARBORU menyuruh PARBORUON-nya (garis perempuan dalam keluarga) untuk MANIGAT (pengertian Indonesianya membuka pembungkus disertai merapikan) makanan dan minuman dimaksud, lalu kemudian mempersiapkan hidangan untuk dimakan para hadirin yang telah duduk berhadapan. Setelah makanan terhidang, pihak PARANAK pun PASAHATHON (mempersembahkan) TUDUTUDU SIPANGANON (biasanya ini adalah kepala seekor PINAHAN LOBU atau babi yang telah diatur sedemikian rupa), yang disertai dengan sepatah kata dan UMPASA. Kemudian pihak PARBORU membalasnya dengan menyajikan DEKKE (ikan) yang juga disertai dengan sepatah kata dan UMPASA.

Pihak PARBORU selaku tuan rumah meminta agar yang membawakan doa makan adalah dari pihak PARANAK sebab merekalah yang membawa SIPANGANON tersebut. Doapun dipanjatkan kepada Tuhan lalu kemudian semua yang hadir  makan bersama sama.

Setelah selesai makan, RAJA PARHATA dari PARBORU memulai pembicaraan, dan menanyakan maksud dan makna dari TUDU TUDU SIPANGANON yang disampaikan oleh pihak PARANAK. Lalu RAJA PARHATA pihak PARANAK menjawab bahwa TUDU TUDU SIPANGANON tersebut adalah merupakan SURUNG SURUNG (dalam bahasa batak surung surung merupakan JAMBAR atau hak RAJA yang tidak perlu dibagikan pada saat acara tersebut) bagi pihak PARBORU.

Kemudian RAJA PARHATA dari PARBORU memberitahukan kepada HAHA ANGGI (saudara tua dan saudara muda)-nya serta DONGAN SAHUTA (tetua atau orang yang dihormati disekitar tempat tinggal) tentang yang disampaikan oleh PARANAK tersebut, disertai permintaan agar acarapun ditutup.

Namun biasanya pihak PARANAK pada kesempatan itu memohon kepada pihak PARBORU agar saat MARHUSIP ini dapat juga dimanfaatkan sebagai acara PATUA HATA (konfirmasi atau penegasan apa yang dibicarakan dalam MARHORI DINDING). Lalu berdasarkan pertimbangan dari HAHA ANGGI dan DONGAN SAHUTA, permohonan tersebut dikabulkan.

PATUA HATA

Patua hata merupakan dialog antara PARBORU dan PARANAK yang dirangkai oleh RAJA PARHATA. Inti dari dialog serta pembicaraan disini merupakan penegasan kembali dari apa yang sudah dibicarakan dalam MARHORI DINDING; hanya bedanya disini lebih formal dan disaksikan para undangan dan RAJA yang diundang oleh kedua belah pihak.

Acara ini diakhiri dengan memperkenalkan calon pengantin laki laki dan perempuan kepada seluruh yang hadir dalam acara tersebut, kemudian disusul dengan penyerahan  INGOT-INGOT (semacam ikrar dalam bentuk uang kecil) oleh pihak PARANAK kepada pihak PARBORU (biasanya INGOT INGOT ini dibagikan kepada seluruh pihak PARBORU yang hadir saat itu). Lalu akhirnya ditutup dengan nyanyian gereja dan doa penutup dari pihak PARBORU.

Patua hata, artinya bahwa kesepakatan seorang pria dengan seorang wanita yang telah sepakat untuk memadu kasih, menjadi tanggung jawab orang tua. Patua hata, bahwa sudah menjadi pembahasan pihak orang tua pria dan wanita, biasanya sudah sekaligus menentukan langkah-langkah selanjutnya sampai ke acara Pemberkatan Nikah, Pesta Adat dan resepsi. Diawali dari namartumpol. Pemberkatan Nikah, rencananya akan diadakan pada tanggal 27 Maret 2010, semoga keluarga, calon mempelai, orangtua diberi kesehatan, supaya niat baik ini boleh terjadi dan seturut dengan kehendak Tuhan. Amin


Sipanganon Sibuhabuhai

Acara selanjutnya setelah Mar Ria Raja yang diadakan menjelang pernikahan OLWIYN MARGARETH ASTRID br SILALAHI SIDABARIBA, S.Sos dengan TUMABER MANULANG, SH adalah Pemberkatan (Pamasu-masuon). Sesuai dengan Tata cara Adat Batak, Pemberkatan selalu didahului dengan kegiatan Sibuhaibuhai, yang biasanya diadakan di rumah calon mempelai perempuan. Namun, untuk menghemat waktu dan tempat, saat ini biasanya diadakan di halaman Gereja atau di ruang pertemuan Gereja.

Asalnya istilah Suhi ni ampang na opat adalah sebagai berikut :

Pada pagi hari pesta perkawinan, keluarga terdekat dari calon mempelai bersama calon mempelai itu sendiri, datang ke rumah calon mempelai wanita dalam rangka pelaksanaan perkawinan itu, sebab pesta dan adat perkawinan itu akan diadakan di rumah pengantin wanita yang disebut mangalap jual. Kedatangannya pagi itu sekaligus membawa “makanan adat” yang disebut sipanganan sibuhabuhai. Inilah dianggap sebagai pembukaan semua kegiatan pada pesta hari itu untuk seterusnya disambung dengan acara catatan sipil (setelah adanya U.U. Perkawinan).

Makanan adat Sibuhabuhai tadi bawa oleh Boru dari keluarga lelaki yang diberi nama “Sijujung Ampang” di dalam satu bakul yang kuat yang disebut “ampang” dengan empat suhisuhi (empat sudut) ditutup dengan satu ulos biasanya ulos Sibolang atau dengan Ulos Ragi Hotang.

Yang menerima/menyambut mereka di rumah pengantin wanita adalah unsur dari Suhi ni ampang na opat yaitu Suhut Bolon, Pamarai, Pariban dan Tiilang semuanya kelompok parjambar na gok penanggung jawab penuh dari semua keadaan dan pelaksanaan perkawinan sebagai keluarga terdekat sekali dari mempelai perempuan yang kemudian dinamai Suhi ni ampane bersama-sama dengan undangan lainnya.

Pasahat Sipanganon Sibuhabuhai “Rajanami, Raja ni Hulahula, angka amanta Raja dohot Inanta soripada na pinarsangapan Tangan Marsomba ma dohot Soara marhuhuasi di sipanganon na saotik na huboan hami on. I ma da Rajanami na margoar sipanganon Sibuhabuhai di Pesta na tapamasa di ari na uli ari na denggan on. Asa marhite asi ni roha ni Tuhanta asa buha parsaulian, panggabean, dohot parhorasan di hita saluhutna Bosur ma hita mangan na godang mokmok mangan na otik. Bulung ni dapdap ma langkop ia i ma jolo na tarpatupa bai i ma taparhajop. Sititi ma sihompa golanggolang pangarahutna. Tung songon i ma jolo na tarpatupa sai Tuhanta ma na manggohi pasupasuna Boti ma.

Setelah selesai acara adat Sibuhabuhai, di rumah pihak parboru pada pagi hari itu diberikan kesempatan pengantin laki-laki dan pengantin perempuan untuk acara tukar Bunga. Kemudian BERDIRILAH SEORANG DARI PIHAK hulahula pihak parboru memimpin doa restu dan seterusnya untuk berangkat ke Gereja.

Perkawinan anggota jemaat Kristen selalu mengutamakan pemberkatan di Gereja lebih dahulu yang disampaikan oleh Hamba Tuhan sesuai dengan Agenda Huria. Setelah selesai acara kebaktian dari Gereja itu baru kemudian dilangsungkan acara pesta perkawinan yang sekaligus merupakan pemenuhan norma-norma adat istiadat Batak, biasanya dilakukan di halaman rumah, dan di kota. Kota biasa dilakukan di dalam sebuah gedung pertemuan umum.