Webinar Teknologi Agroindustri #4 Riset Diversifikasi Produk Turunan Sagu

Pada hari ini, Rabu, 5 Januari 2022, Pusat Teknologi Agroindustri (PTA) yang berada dibawah Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Teknologi (OR PPT) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali mengadakan Webinar dengan tajuk Riset Diversifikasi Produk Turunan Sagu.

pta4

Kegiatan Webinar pada hari ini adalah kegiatan ke-4 dalam serial Webinar Teknologi Agroindustri. Sebelumnya telah dilaksanakan sharing riset diversifikasi produk Turunan Sawit (8 Desember 2021), Produk Minyak Atsiri (15 Desember 2021) dan Produk Rumput Laut (22 Desember 2021). Rangkaian kegiatan Webinar ini sebagai bentuk  sharing hasil riset, mengenai beberapa produk yang berasal dari salah satu bahan baku agroindustri yang potensial dan merupakan bagian dari kekayaan alam hayati Indonesia.

Dalam pertemuan sebelumnya, Bapak Ir. Arief Arianto, M.Agr (Kepala PTA) menyampaikan bahwa tidak semua negara diberi anugerah tanaman sagu. Lebih dari 95% tanaman sagu dunia hanya dapat ditemui di Indonesia, Papua Nugini dan Malaysia. Lebih dari 50% atau tepatnya 55% tanaman sagu dunia, terdapat tumbuh di Indonesia dengan luas sekitar 1,5 Juta Ha.

IMG_20220105_215520

Dimulai pada pukul 09.00, acara ini diawali dengan Kata Sambutan dari Kepala PTA, Bapak Ir. Arief Arianto, M.Agr. Dipandu oleh Moderator, Ir. Hengky Henanto, MSc. APU, Perakayasa Ahli Utama (BRIN), menghadirkan narasumber dari PTA, yaitu :

1. Ir. Purwo Tri Cahyana, MSi (Perekayasa Madya – BRIN) dengan materi : “Inovasi Produk Turunan Sagu”

2. Drs. Agus Triputranto MM (Perekayasa Madya – BRIN) dengan materi : “Pengolahan Pasca Panen Sagu ”

3. Alit Pangestu, STP, MSc. (Perekayasa Muda – BRIN) dengan materi : ”Hilirisasi Inovasi Mie Sagu Instant”

Dalam paparannya, Bapak Purwo menyampaikan

p1

p2

Dilanjutkan dengan pemateri kedua, Bapak Agus menyampaikan

p3 p4

Sedangkan pemateri ketiga, Bapak Alit Pangestu, seorang perekayasa muda, menyampaikan

p5 p6

Webinar yang diikuti sekitar 100 orang secara daring melalui link zoom dan juga Youtube ini, diakhiri dengan diskusi dan tanya jawab yang menarik antara peserta, pemateri dan juga Ka Pusat, Bapak Arief Arianto. Tak terasa, waktu melewati dari jadwal yang ditetapkan karena antusiasme peserta yang begitu besar. Bapak Arief Arianto dan Tim, bersedia menyediakan waktu untuk diskusi lebih lanjut diluar kegiatan webinar ini, dengan mencantumkan nomer telpon yang bisa dihubungi pada kolom chat, pada akhir webinar.

Peserta kegiatan Webinar ini berasal dari kalangan periset di BRIN, industri dan periset dari Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Halmahera dan Fakfak.

Bagi pembaca, yang tertarik mengenai hasil riset diversifikasi produk Agroindustri, yang dikembangkan oleh Tim PTA OR PPT, BRIN, dapat menyimak kembali tayangan kegiatan serial webinar ini melalui Youtube PTA.

Semoga inovasi yang telah dilakukan ini dapat memberi manfaat baik bagi masyarakat maupun industri, serta memberi semangat pada para periset untuk berinovasi dengan diversifikasi produk tanpa henti agar semakin mengena pada kebutuhan masyarakat.

 

 


Repost : Kurnia Effendi, MENGURAI (PE)RASA(AN) MELALUI KOPI

Di dunia ini, lebih-lebih kini, banyak sekali penggemar kopi.Ajakan bertemu dua orang kawan atau lebih, sudah terbiasa dengan “yuk, ngopi”. Sementara urang Sunda, apa pun minumannya, istilah yang digunakan: “bade ngupi heula”.

KEF

Pabila penggemar kopi itu adalah juga seorang penulis, tidak mungkin tidak, diksi terkait kopi akan masuk ke dalam baris puisi atau paragraf prosanya. Jangan ditanya kepada Fikar W Eda , penyair asli Takengon yang sudah sejak lama mengamalkan mantra (menanam, merawat, memanen, dan) meminum kopi. Setiap tahun, sekali atau dua diadakan olehnya event berkonten kopi. Lebih sepuluh tahun yang lalu Dewi Lestari menulis cerpen yang menjadi judul kumpulannya: “Filosofi Kopi”. Setelah diangkat menjadi film, kemudian judul cerpen itu dijadikan nama kedai kopi di bilangan Melawai-Blok M, Jakarta Selatan, oleh dua temannya (Handoko dan rekan, Rio Dewanto menjadi CEO). Dalam praktiknya, sejak 2015, kedai Filosofi Kopi dibentuk bukan semata-mata sebagai warung jualan tetapi ada sisi moralitas dengan menjaga ekosistem kopi, bekerja sama dengan para petani kopi untuk secara mutualisma memberi benefit semua pihak.

Maka kopi, sebagai minuman yang telah populer menjadi teman segala suasana dan situasi, merupakan public domain. Jangan sampai ada seseorang yang bertabiat aneh kemudian mematenkan nama “kopi” sebagai milik pribadi. Di Yogya ada kedai kopi dengan edukasi terhadap pelanggannya—sempat dipetik adegannya ke dalam film AADC 2. Di Yogya pula saya pernah dalam sehari mampir dan menikmati prosesi 3 warung kopi bersama Tia Lesmana (Tanamera, Kopi Pitutur, dan Kopi Nogo). Tumbuh suburnya warung kopi sejak kelas jalanan hingga hotelan dan mal-malan awal tahun 2000-an (saya baru mengenal Starbucks justru di Tokyo pada 2001, yang saat itu hendak membuka kafe “hanya” di Mal Pondok Indah, Kelapa Gading, dan Taman Anggrek. Ya, masih “sombong”, hehe) menunjukkan bahwa kopi sudah menjadi gaya hidup semua kalangan. Perbedaan kelas dibuat—salah satunya—berdasarkan lokasi. Padahal dengan jenis kopi yang sama kualitasnya—baik robusta, arabika, maupun liberika—diseduh di rumah atau saat kemping, akan memberikan rasa mewah yang sama di mulut penggemarnya.

Pengantar di atas terlalu panjang untuk mengupas buku fiksi berjudul “Halusinasi Kopi” karya de Laras (Diadjeng Laraswati H Hanindyani). Ia yang mengaku menyukai kopi apa adanya, dalam himpunan ini menuliskan puisi, cerita (sangat) pendek, sebentuk percakapan, dan semacam quote/caption atas foto-foto yang seolah-olah ikut bicara, seluruhnya 68 judul. Ayu Utami, novelis “Saman” dan “Larung” memberikan pengantar buku ini. Se-adict apa atau sefanatik apa de Laras menyukai kopi? Ternyata tidak akan mati bila tidak minum kopi, bahkan dalam menikmatinya masih menambahkan sedikit gula. Ia cukup moderat “hanya” menjadikan kopi sebagai teman sangat dekat. Kopi, sebagaimana tersirat di banyak tulisannya itu, merupakan inspirasi, perlambang, motivasi, booster, medium, juga sahabat yang akan dirasakan hilang (atau malah rindu) bila absen dalam kegiatannya.

Sebagian besar tulisan de Laras pada buku mungil ukuran 11 x 15 cm itu bagi saya pribadi menjadi pemantik untuk kemudian menghubungkan pikiran dan perasaan dengan sesuatu yang lebih luas. Bagaimana kalau suatu saat kelak saya menjadi barista di kedai kopi milik sendiri? Mungkinkah saya bakal berperan sebagai pencicip kopi dari berbagai tempat di dunia? Apakah perlu setiap tiga bulan digelar festival kopi secara bergiliran di wilayah penghasil kopi terbaik Indonesia? Sebut saja Gayo, Mandailing, Puntang, Sidikalang, Lampung, Toraja, Ciwidey, Garut, Temanggung, Bromo, Kintamani, Flores, Wamena …

Benar kata de Laras yang saya pastikan mengalami seluruh isi tulisannya (dengan POV yang berbeda-beda) bahwa kopi menjadi bahasa yang intim untuk pertemuan, perbincangan, rapat, bekerja, dan rekreasi. Dalam satu pengalamannya, misalnya, rehat di kedai kopi (murah) di tengah perjalanan panjang. Fragmen lain cukup menyentuh ketika sang ayah mengingatkannya agar segera membuatkan kopi untuk ibu di pagi hari, padahal sang ibu sudah almarhum beberapa waktu lalu. Bahkan, ketika bekerja lembur, di tengah kebosanan mendapatkan seorang teman online mengirim gambar cangkir kopi, seolah-olah benar ada secangkir kopi di hadapannya yang membuat semangatnya bangkit untuk melanjutkan pekerjaan. Aroma kopi nyata yang mampu dihidu lambat laun menjelma halusinasi ketika hadir dalam bentuk aksara atau simbol. “Saya hanya ingin mengurai rasa.” Maksud de Laras adalah rasa batin bukan sekadar rasa di lidah.

Kopi menjadi bahasa universal untuk hubungan sosial dan budaya antarmanusia, tak dapat dimungkiri. Saya setuju dengan semua yang ditulis ringkas—semacam sketsa bila itu lukisan—sebagaimana penggemar kopi sekaligus penulis yang lain, misalnya Titik Kartitiani, Ratna Ayu Budhiarti, dan Iksaka Banu. Maka jangan heran bila saya kerap sengaja meluangkan waktu untuk ngopi bareng Banu. Kopi pada akhirnya bagian dari rindu (teman atau kekasih) yang memang berhasil menciptakan halusinasi.

Seperti juga sejumlah penyair lain penggemar kopi, misalnya Joko Pinurbo yang pernah menerbitkan kumpulan puisi “Surat Kopi”, saya pun tidak luput dari keterikatan pada “dunia kopi” sebagai tema puisi. Puisi-puisi dalam “Hujan Kopi dan Ciuman” (BasaBasi, 2017) dan “Setelah Lima Belas Kabisat” (NAD Publishing, 2021), bahkan di “Mencari Raden Saleh” (Diva Press, 2019) ada puisi “Kopi untuk Ngeri”; benar-benar membicarakan kopi dalam sebuah peristiwa, perenungan, ritual, atau situasi. Akan tetapi karena kumpulan puisi itu bukan melulu bicara kopi, yang terhimpun adalah puisi-puisi yang “lolos” seleksi (pribadi atau redaksi). Salah satu puisi, “Meditasi Kopi” saya dedikasikan untuk penggemar kopi Yayuk Arifin.

Ibarat album rekaman, tidak semua lagu memiliki komposisi yang terpuji. Mumpung dalam bentuk himpunan tematik, naskah yang sekadar melengkapi tema kopi boleh menjadi bagian buku ini. Bisa jadi peran dari tulisan yang tidak cukup kuat adalah untuk menonjolkan tulisan yang mendalam. Mungkin pula demi varian atau semacam alunan naik turun irama meskipun sesungguhnya—seperti sikap atau “ketergantungan sang pengarang” terhadap kopi—ini merupakan himpunan tulisan ringan. Seperti halnya musik, jenis easy listening.

Di akhir tahun sebelum pandemi, saya membaca buku pengalaman seseorang mengenal perihal kedai-kedai kopi di Jakarta. Sejak yang lekat dengan tradisi seperti Tanah Tinggi hingga tempat nongkrong anak muda semacam Amomali. Suatu saat boleh diperbarui, mengajak de Laras dan Ecka Pramita supaya langsung disiarkan melalau IG Tivi atau podcast.

Buku ini mudah dicangking sebagai bacaan di berbagai tempat. Dalam perjalanan, saat rehat dari suntuknya pekerjaan, atau sembari menunggu bus tiba di halte. Ya, mirip kopi itu sendiri. Seteguk berkesan, mungkin meningkatkan mood. Bisa dibaca cepat sekali libas, boleh juga dihemat-hemat dan menjadi bagian perbincangan para pengopi untuk menghangatkan suasana setelah kepala penuh dengan pelbagai aksioma atau beban laporan di kantor.

Halaaauw, kapan kalian mampir ke Kopi Nugi? Ingat cara mengaduknya, kan? [kef]

DATA BUKU

Judul: Haslusinasi Kopi
Penulis: de Laras
Kover: Arief Arianto
Kata pengantar: Ayu Utami
Penerbit: Stiletto Indie Book
Tebal: 120 hal;aman
Ukuran: 11 x 15 cm
Cetakan pertama: September 2020
ISBN: 978-623-7656-64-7


Sharing Dasar Penulisan Berita dan Opini

Pada hari ini, Kamis, 14 Oktober 2021, aku turut berbagi pengalamanku mengenai Dasar Penulisan Berita dan Opini, secara daring, atas undangan Kepala Pusat Teknologi Agroindustri (PTA) OR PPT BRIN, Bapak Arief Arianto, M.Sc Agr.

IMG-20211013-WA0075

5

Sharing ini dihadiri oleh pegawai di lingkungan PTA, Tim Majalah BTP dan dari luar yang berminat. Jumlah terbanyak peserta adalah 60 orang.

Acara dibuka dan ditutup langsung oleh Kepala PTA, Bapak Arief, yang di tengah kesibukan beliau menyempatkan untuk hadir.

1

3

Pemaparan diawali dengan pembukaan berupa quote dari para penulis dunia, dilanjutkan dengan penjelasan mengenai induk dari materi hari ini yaitu Jurnalistik, Unsur Penulisan Berita dan Penulisan Opini serta beberapa tips untuk tayangan berita pada Social Media.

Acara yang berlangsung selama dua jam ini, berjalan dengan baik, terdapat interaksi dari para peserta baik melalui kolom chat ataupun pertanyaan dan tanggapan langsung.

15

Di bagian akhir, terdapat empat latihan yang diberikan pada peserta yaitu Apakah Menulis itu Mudah atau Sukar, Gambar Batu, Berita tentang Sago Mee dan Opini tentang Pemindahan Ibu Kota Baru.

Akhir kata, mohon maaf jika ada salah kata, aku mengucapkan terima kasih pada Bapak Kepala Pusat dan Panitia yang telah memfasilitasi kegiatan ini juga pada kehadiran seluruh peserta, semoga sharing ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi bagi para peserta untuk mulai menulis.

 


Sago Mee, Mie Instant Hasil Inovasi PTA*)

Mie biasanya terbuat dari tepung terigu. Sago Mee adalah hasil inovasi dari Pusat Teknologi Agroindustri (PTA) OR PPT (dulu BPPT). Mie ini  berbahan baku sagu. Sago Mee memiliki aneka varian rasa seperti ayam bawang, laksa bangka, soto pedas maupun mie goreng,  dalam kemasan 70 gr.

Papan Nuansa Isabela

Menurut Bapak Ir. Arief Arianto, M.Agr (Kepala Pusat Teknologi Agroindustri OR PPT), tidak semua negara diberi anugerah tanaman sagu. Lebih dari 95% tanaman sagu dunia hanya dapat ditemui di Indonesia, Papua Nugini dan Malaysia. Lebih dari 50% atau tepatnya 55% tanaman sagu dunia, terdapat tumbuh di Indonesia dengan luas sekitar 1,5 Juta Ha.

Pemanfaatan sagu menjadi produk mie sagu, merupakan upaya inovasi teknologi yang dilaksanakan PTA – OR PPT untuk memberdayakan tanaman asli Indonesia.

Di Kabupaten Bangka tanaman sagunya disebut sagu rumbia. Ini unik karena tumbuh di lahan yang memiliki kandungan mineral. Sagu ini kemudian dadikan mie instan dengan kualitas tinggi dan terjamin, dimana warna produknya putih dan bersih

Hilirisasi dan komersialiasi teknologi produk mie sagu dilakukan melalui kolaborasi dengan industri yaitu PT Langit Bumi Lestari dan PT Bangka Asindo Agri. Perusahaan tapioka ini mengolah sagu menjadi mie yang nikmat di lidah. Sago Mee adalah produk mie pertama di dunia yang menggunakan bahan sagu.

Keunggulan Sago Mee adalah

    • Bebas Gluten, Tinggi Serat dan Non Genetic Modified Organism (Non GMO)
    • Kadar RS : 3-4 kali lebih besar daripada Mie Terigu. Kadar RS yang tinggi bermanfaat untuk Pencernaan
    • Tergolong dalam kelompok Indek Glikemik (IG) Rendah. Indek Glikemik (IG) adalah ukuran kecepatan perubahan Pati menjadi Gula dalam tubuh. IG yang rendah baik untuk Penderita Diabetes, Auto Imun, Diet Rendah Gula, dll
    • Memberikan efek kenyang tetapi tidak menggemukkan

Sago Mee sudah banyak dipasarkan secara online dengan harga yang cukup bervariasi mulai dari Rp 10.000,- per cup nya. Diantaranya ada di Tokopedia dan Shopee.

Kali ini, aku mencoba menikmati Sago Mee Rasa Soto Pedas. Cara mengolahnya cukup mudah dan hanya memerlukan waktu selama 3 menit saja. Cukup tuangkan air panas dan tunggu sampai mie lunak. Lalu masukkan bumbu soto dan sambal. Aduk rata dan siap dinikmati.

Rasanya enak. Tekstur mie nya juga lembut. Tidak terasa beda dengan mie yang terbut dari tepung terigu. Bumbu sotonya terasa pas dan wangi soto kuat Pedasnya cukup terasa buat aku yang kurang suka pedas. Jika tidak terlalu suka pedas, bisa mengatur sambal dalam sachet secukupnya kedalam cup.

Sebagai masukan, untuk ke depannya, diharapkan ada pelengkap tambahan seperti bawang goreng dan sayuran kering yang bisa dicampurkan kedalam mie ini. Tentu akan terasa lebih nikmat.

Nah buat kamu penggemar Mie tapi punya banyak kendala, seperti diabetes, kelebihan berat badan dan atau mencari produk gluten free, Sago Mee adalah salah satu solusinya. Harganya juga terjangkau. Selamat menikmati.

s4

Sumber tulisan : Pribadi dan www.sagomee.com

*) PTA adalah Pusat Teknologi Agroindustri di Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Teknologi (OR PPT) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)