Mendengar kata Kota Madiun, apa yang muncul di benak kita ? bisa bermacam-macam, ada yang menyebut Kota Pecel, Kota Gadis, Kota Sepur dan bahkan Kota Brem. Padahal Kota Madiun itu kecil saja, hanya seluas kurang lebih 34 km2 namun mempunyai potensi perdagangan dan industri yang maju. Mungkin ini disebabkan karena letaknya di sebelah barat Surabaya dan sebelah timur Surakarta, sehingga Kota Madiun senantiasa menjadi jalur yang selalu “hidup”.
Apapun sebutan orang untuk Kota Madiun, buat aku, Kota Madiun adalah kota kenangan. Kota kenangan, kampung halaman Bapak, walau Bapak lahir di Bandung tapi Eyangku punya rumah di sana, tepatnya di Jalan Anggrek No 8 Desa Oro Oro Ombo. Saat libur sekolah tiba, kami akan berangkat dari Jakarta dengan mobil yang disetir Bapak sendiri menuju Ngawi, tempat kelahiran Ibu untuk mengunjungi keluarga dari pihak Ibu dan melanjutkan perjalanan ke Madiun untuk mengunjungi kakek nenek dari pihak Bapak.
Rumah Eyang di Madiun cukup besar dengan halaman yang luas. Yang kuingat, rumah Eyang yang panjang itu dibagi dalam empat bagian. Batas bagian satu dengan yang lain dibatasi dengan pintu. Bagian paling depan, dulu untuk menerima tamu. Bagian berikutnya, ada kamar, mungkin dulu kamar utama. Bagian ketiga ada ruang keluarga dan ruang makan, juga tiga kamar disana. Ini bagian yang terluas menurutku. Dan bagian terakhir, dulu adalah dapur, kamar pembantu dan kamar mandi.
Saat aku berkunjung bulan Juni yang lalu, tidak banyak yang berubah dari rumah Eyang (terakhir aku berkunjung tahun 1996). Bagian pertama dan kedua dari depan saat ini digunakan sebagai tempat tinggal Pendeta dan untuk Ibadah Jemaat Gereja Sangkakala.
Kembali ke rumah ini, sama dengan mengembalikan kenangan masa kecilku. Saat kakek mengajakku pergi dengan naik becak untuk membeli buku cerita di pusat kota Madiun. Sarapan pagi selalu dengan nasi pecel dari mbok gendong. Nasi pecel paling enak dan paling komplit di dunia, rasa juara menurut aku.
Foto-foto kenangan yang berjajar di dinding kamar Eyang, membangkitkan semua kenangan bahwa dahulu kami semua pernah bersama-sama. Ada Mbah Kakung Putri, ada Pakde ku yang sudah tiada, ada Bapak Ibuku dan kami semua saudara bersaudara sepupu se Mbah, yang sulit sekali untuk berkumpul bersama saat ini.
Rumah Jalan Anggrek 8 selalu menjadi kenangan buat aku, sebanyak yang mampu kulihat dan kuingat dari masa laluku.