Indonesia kembali berduka. Setelah berpulangnya WS Rendra, hari ini sastrawan dan juga penyair legendaris, yang dikenal dengan panggilan Eyang Sapardi tiada. Terkenal dengan puisinya yang amat membumi. Mudah dicerna. Tapi tetap berkelas dan berbobot. Diksi yang tepat membuat hati pembaca langsung jleb, begitu istilah anak muda sekarang. Kena sasaran.
Wikipedia menulis, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940 – meninggal di Tangerang Selatan, 19 Juli 2020 pada umur 80 tahun) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. SDD dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum.
Aku sudah menyukai karyanya sejak beberapa tahun terakhir. Pada awalnya aku tidak suka puisi karena terkesan cengeng dan tak berdaya. Namun karya beliau dan beberapa penyair kerap memberi kekuatan dalam pilihan katanya.
Dalam beberapa karya beliau, Eyang Sapardi beberapa kali mengungkapkan mengenai keabadian. seperti ungkapan ÿang fana adalah waktu, kita abadi”dan juga kumpulan puisi duka-Mu Abadi, yang terbit tahun 1969. Serta puisi berikut ini
Bersyukur pada tahun 2019, melalui Gerakan Menulis Bersama, aku lolos berada dalam program Sebuku bersama Eyang Sapardi dalamm buku Menenun Rinai Hujan Jilid keempat. Suatu kebanggaan bisa bersama tokoh yang melegenda ini.
Selamat jalan Eyang Sapardi, beristirahatlah dalam keabadian, di tangan Allah yang maha pengasih. Kami akan melanjutkan karya-karyamu dan terus menjadikan Eyang sebagai sumber inspirasi dan semangat kami.