Indekost, Mengapa Tidak ?

Tak banyak orang yang beruntung bisa bersekolah dekat dengan rumah. Sekolah jauh dari rumah bisa disebabkan karena sekolah pilihan hanya ada jauh dari rumah, misal sekolah terbaik untuk menjadi pemain sepak bola ada di kota A padahal seseorang tinggal di kota B. Akhirnya mau tidak mau, demi cita-cita, kita bisa “terpaksa” meninggalkan rumah, orangtua, keluarga dan sahabat dan tinggal di tempat lain dengan cara “indekost”.

Menurut Kamus, yang dimaksud dengan Indekost adalah menyewa sebuah kamar dengan membayar dalam periode waktu tertentu. Selain alasan letak yang jauh, indekost banyak menjadi pilihan bagi siswa atau mahasiswa karena menghemat waktu dan tenaga. Memilih tinggal dekat dengan kampus atau sekolah, bisa menghindarkan diri dari kemacetan lalu lintas dan keterlambatan mengikuti perkuliahan atau kegiatan belajar.

far from homeIndekost jaman sekarang sangat jauh berbeda dengan jaman dulu. Dulu, tidak banyak pilihan dan belum banyak dibisniskan seperti sekarang. Dulu, orang memilih indekost hanya dari segi waktu dan tenaga saja. Kadang orang sudah tidak memperhatikan apakah kamar kost nya menggunakan AC atau hanya kipas angin, kamar mandi didalam atau diluar, bisa memasak atau cuci gratis dan segala bentuk kenyamanan lain. Mengingat cerita Ibu, Ibu ku pernah ikut tinggal dengan famili di luar kota karena di tempat kelahiran Ibu belum ada sekolah yang “pas” namun Ibu bukan indekost melainkan “ngenger” kata Ibu. Ngenger adalah ikut tinggal bersama orang lain namun juga ikut bekerja membantu pekerjaan rumah tangga disana. Ibu biasa mendapat tugas berbelanja ke pasar sebelum pergi sekolah. Selain jaman dulu belum ada kost, nenekku yang sudah ditinggal kakek dengan 6 orang anak, tidak punya cukup biaya untuk menyekolahkan semua anaknya seorang diri.

kamar kostSekarang, siswa yang tinggal jauh dari orangtuanya untuk studi di luar kota, betul-betul memperoleh kenyamanan dengan banyaknya pilihan fasilitas tempat kost. Kamar kost sekarang banyak sudah berupa kamar apartemen tanpa Ibu Kost seperti dulu, sehingga interaksi kekeluargaan antar penghuni sudah sangat berkurang dan tak “sehangat” dulu. Kadang kenyamanan yang senyaman-nyamannya memang sudah diciptakan didalam kamar kost itu sendiri, seperti adanya kamar sejuk ber AC, kamar mandi didalam, bisa memasak sendiri, laptop, televisi, bahkan kadang bisa berkaraoke didalam kamar sendiri.Cuci baju/laundry service bisa datang setiap pagi tanpa siswa harus repot-repot mencuci baju. Baju licin dan bersih akan selalu ada setiap hari, seperti di rumah. Interaksi dengan tetangga kamar bukan suatu yang penting lagi. Tentu kamar kost dengan fasilitas ini membutuhkan dana yang tidak sedikit per bulannya. Namun mengapa orangtua rela mengeluarkan biaya tinggi untuk anaknya yang harus indekost dengan memberikan kenyamanan dan fasilitas istimewa seperti ini, tentu harapannya adalah agar anak bisa konsentrasi belajar tanpa terganggu hal-hal lain selain belajar. Tidak itu saja, banyak orangtua membekali anaknya kendaraan bermotor roda empat untuk pulang pergi kuliah, sekalipun anaknya berada di luar kota. Luar biasa…..

Jauh dari rumah itu sebuah perjalanan mestinyaIndekost yang semestinya juga menjadi ajang belajar bagi anak atau siswa hidup mandiri, dapat dimanfaatkan orangtua sebagai kesempatan buat anak bertanggungjawab mengurus dirinya sendiri. Tahun pertama memang akan selalu menjadi masa yang cukup sulit buat setiap anak atau siswa baru. Ia harus beradaptasi dengan lingkungannya, berkenalan dengan penghuni lain di tempat kost, menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitar tempat kost, kemana ia harus berbelanja, kemana ia harus lapor pada kepala RT di lingkungan setempat, belum lagi dengan lingkungan kampus atau sekolah yang baru, ya dengan teman-temannya dan dengan pelajaran yang tentu lebih sulit dari pelajaran di tingkat sebelumnya.

Singkat cerita, saat ini anak sulungku sedang mengalami masa-masa itu. Berkat bantuan dari rekan-rekan di Perhimpunan Pelajar Indonesia Kothen, anakku mendapat sebuah kamar kost di gedung berlantai 3 di xxxxxxxstrase. Komunikasi melalui online dilakukan dengan mengirimkan foto kamar dan sebagainya. Sebenarnya ada banyak pilihan tempat tinggal disana, diantaranya asrama mahasiswa dan atau rumah sendiri. Namun karena sifatnya masih sementara (untuk mengikuti Ujian Masuk Studienkolleg di Hochschule Anhalt) maka kami setujulah dengan kamar yang ada. Satu unit apartemen terdiri dari dua kamar, dengan sharing lemari es (kulkas) dan sharing kamar mandi dengan tetangga sebelah. Didalam kamar berukuran 3×4 meter, terdapat sebuah tempat tidur ukuran single, meja belajar dan rak susun terbuka untuk menyimpan baju dan pernak pernik lain. Selain itu bisa memasak didalam kamar dengan kompor 1 tungku dan bak cuci piringnya. That’s it. Ya betul hanya itu, dengan sewa kamar sebesar 210 Euro per bulan, cukuplah. Oh ya, fasilitas Wifi dan heater sudah ada disana.

Apartemen Tiga Lantai di Leipzigerstr, KoethenAnakku berangkat ke Kothen melalui Berlin, karena sesuatu dan lain hal dua orang temannya belum memperoleh visa studi ke Jerman. Tanpa patah semangat, setelah melihat kamar kostnya, anakku dibantu adikku dan temannya mulai merapikan dan membereskan kamar agar menjadi senyaman mungkin. Sepeninggal teman dan adikku, anakku mulai berorientasi ke lingkungan dengan berjalan kaki, ya Tuhan, semoga ia selalu dalam lindungan MU. Ia pergi berbelanja dan memasak sesuai keinginannya.

Pernah satu hari, saat ia belum mempunyai nomer telpon, ia pamit pergi berbelanja, dua jam lebih kami menunggu, ia belum kembali ke tempat kostnya, ternyata ia kehujanan akibat hujan yang datang tiba-tiba, sementara ia belum mempunyai payung dan tidak menduga perubahan cuaca yang mendadak.

Hujan hampir setiap hariAnakku mulai belajar memasak sesimpel mungkin yang dia bisa. Saat lapar dan tidak ada siapapun yang dia panggil, ia akan membuat apa saja yang tersedia di lemari es. Ia juga harus menjaga kesehatannya karena jauh dari kami. Ia juga wajib membereskan dan mencuci pakaiannya serta membersihkan kamar termasuk menyapu dan mengepel lantainya setiap hari, sesuatu yang jarang dilakukannya di rumah.

Nyam nyam...mulai porsi besarMakan dulu sebelum belajarOh ya untuk informasi, jika siswa baru datang ke Koethen atau wilayah Jerman pada umumnya saat ini, hampir sebagian besar siswa sedang dalam suasana liburan panjang, mereka bisa saja sedang pulang kampung, keliling Eropa atau bahkan bekerja part time di masa liburan ini. Jadi praktis, saat-saat ini anakku memang harus mandiri  walau sesekali ada senior yang berbaik hati mengontak anakku.

Next DreamDi hari pertama datang, memang ada beberapa barang yang harus dibeli anakku sehingga beberapa kali ia harus ke toko terdekat dengan tempat kostnya. Ini kali pertama ia berada jauh dari kami dan harus indekost pula, semoga masa-masa ini akan menjadi masa penuh kenangan buat dia dan kami orangtuanya.

Minggu depan, anakku akan menghadapi ujian masuk Studienkolleg (Pre University) di Hochschule Anhalt Kothen, semoga udara sejuk akibat hujan yang hampir turun setiap hari di Kothen, tidak membuat anakku semakin terlelap tidur karena mengantuk untuk belajar.

Berada di tempat kost adalah masa-masa belajar, belajar banyak hal, beradaptasi, membina hubungan dengan teman baru, mengelola waktu dan tenaga juga hati dan pikiran. Sukses ya kakak !!! 🙂 Kami mendoakanmu selalu.

Gambar : Google dan Pribadi


Tegar Melangkah, Haruskah Studi Di (Luar) Negeri

Aku adalah seorang Ibu yang mempunyai dua orang anak perempuan dan seorang anak laki. Dua anak perempuanku sudah duduk di kelas menengah atas bahkan si sulung sudah tamat tahun lalu (2014) Sementara si bungsu terpaut lima tahun dengan kedua kakaknya sehingga saat ini masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Sejak kurang lebih tiga tahun yang lalu, perutku sudah mulai tergelitik karena adanya keinginan dari si sulung untuk melanjutkan studi ke luar negeri, ke Jerman tepatnya. Rasanya bercampur aduk antara senang, ragu dan bangga. Sebagai orangtua yang suka travelling dan berjalan tanpa batas, aku sangat mendukung keinginan si sulung. Berbeda dengan suami yang banyak keraguan dan berbagai pertimbangan. Aku dan si sulung mulai mempelajari seluk beluk cara belajar kesana dan mempersiapkan segala sesuatunya, khususnya Bahasa Jerman.

Sejak duduk di bangku kelas 2 SMA (2012), sulung mulai mengikuti kursus seminggu dua kali di tempat kursus “Optima Studio” yang bertempat di Gedung German Center BSD dari jenjang A1. Setelah itu, ia mengambil kursus di Goethe Institut Jakarta setiap hari Sabtu atau Minggu sejak pagi sudah berangkat dengan kereta menuju tempat kursus di Jalan Sam Ratulangi, Jakarta. Sulung berjuang betul untuk menyelesaikan tingkat B1 nya dengan mengorbankan banyak hal termasuk waktunya bermain dengan teman-temannya. Dua kali gagal mencapai nilai minimal untuk modul “HÖren” tidak membuat sulung berhenti berjuang dan ia tetap mati-matian belajar, hingga akhirnya lulus 4 modul level B1 di Juni 2015

Sertifikat Tingkat B1 memang bukan syarat mutlak, tapi menjadi kunci pembuka sulung untuk mulai mengajukan aplikasi ke universitas dan pembukaan rekening di Deutsch Bank. Mengapa mesti membuka rekening, nanti aku jelaskan di postingan berikut ya. Kali ini di sini aku mau menceritakan bagaimana banyak orang, khususnya teman-teman sesama Ibu bertanya-tanya, anaknya mau kuliah dimana, kok diijinkan kuliah jauh ke luar negeri, mengapa mesti keluar negeri, ke Jerman Timur lagi, emang mau ambil jurusan apa, akuntansi, bisnis, bukannya di sini juga banyak perguruan yang bagus, kalau mau ke luar negeri ada Singapore, Malaysia, Australia yang lebih deket, ga serem apa ngelepas anak perempuan ke negara yang pernah konflik, tahu ga sih di sana kehidupan bebas (gay, lesbi bahkan atheis), nanti kalo anaknya sakit gimana, bener tuh nanti ga nangis ditinggal anak sulung, perempuan lagi, biayanya kan mahal, banyak duit ya, biayanya darimana dst dst. Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang sebagian diajukan, mulai dari yang dengan berwajah was-was penuh perhatian sampai yang nyinyir habis, harus dihadapi.

Lalu bagaimana aku harus menjawab. Betulkah aku yang hanya PNS dan suami karyawan di sebuah BPD punya banyak uang untuk menyekolahkan anak di Luar Negeri ? Kalau boleh dibilang ya inilah perjuangan kami agar apa yang menjadi impian si sulung dapat terwujud. Betulkah ini hanya sebuah prestise orangtua mengirim anak kesana? Tentu tidak. Kami berdua mempelajari sekolah apa yang ingin dituju anak kami. Kami juga memberi pengertian yang juga sudah dia sadari, mengapa kami mengijinkan dan setuju ia berangkat. Anakku ingin melanjutkan ke Uni Mannheim.

Uni Mannheim adalah salah satu universitas termuda di Jerman. Baru di tahun 1967 Uni Mannheim diangkat statusnya menjadi sebuah Universitas. Sebelumnya Uni Mannheim adalah sekolah tinggi perdagangan. Dikarenakan sejarahnya yang berkaitan dengan disiplin ilmu ekonomi, Uni Mannheim berhasil menunjukan kompetensinya di disiplin ilmu ekonomi. Dari hasil penilaian CHE, Uni Mannheim menempati posisi pertama di disiplin ilmu Akuntansi dan Ekonomi. Selain itu Uni Mannheim juga berhasil meraih posisi 10 besar terbaik di Jerman untuk disiplin ilmu Informatik (10) dan Ekonomi Informatik (3).

Studi di luar negeri membuat seorang pelajar menjadi lebih mandiri dan bertanggungjawab. Sebelum masuk kuliah, setiap siswa dari luar Jerman wajib mengikuti masa transisi di Studienkolleg, karena perbedaan sistem pendidikan antara Indonesia dengan Jerman, yang mana Indonesia menerapkan pendidikan dasar 12 tahun (6 tahun SD, 3 tahun SMP dan 3 tahun SMA) sementara di Jerman menerapkan 13 tahun, sehingga setiap siswa wajib mengikuti Studienkolleg (Pre University) selama 2 semester sebelum kuliah di Universitas.

Banyak sekolah di Jerman yang tidak memberlakukan sistem absensi, tidak ada persyaratan minimum kehadiran untuk mengikuti ujian, hal ini pula yang otomatis menuntut setiap siswa untuk bertanggungjawab hadir di perkuliahan tanpa paksaan. Studi di luar negeri, jauh dari orang tua dan keluarga, tentunya akan membuat sulung lebih berhemat, mengatur uang saku yang sudah dijaminkan orangtua sebagai biaya hidup setiap bulannya dengan sebaik-baiknya. Selain mempersiapkan “peluru-peluru jitu” untuk menghadapi ujian masuk ke Studienkolleg yang akan dihadapi sulung pada akhir Agustus nanti (25 Agustus 2015 di Koethen), aku terus mempersiapkan mental anak sulungku ini, dari segi agama agar ia semakin menjadi anak yang tangguh, kehidupan dunia luar yang tentu tidak mudah akan dia hadapi, culture schok, kehidupan bebas dan atheis bahkan rasis akan menjadi kesehariannya nanti.

Menurut Rhenald Kasali, yang banyak mendorong pemuda Indonesia untuk melanjutkan studi ke luar negeri….

Ada dua situasi kebatinan yang akan mereka hadapi (di perantauan): terasing sekaligus tertantang. Dalam keterasingan, mereka hanya berbicara dengan diri sendiri, bukan bergantung pada orang lain. Di tengah kesibukan banyak berdialog dengan orang lain dan media sosial, dalam keterasingan, bagus bagi anak muda untuk membangun diri. Dialog diri ini akan menimbulkan self awareness (kesadaran diri) untuk membentuk karakter yang kuat.

 

Saat ini anakku sedang mempersiapkan diri keberangkatannya dengan mengikuti Vorbereitung Kurs di Gema Sprachenzentrum di BSD setiap hari dari pukul 9 pagi sampai dengan selesai, tergantung materi dan diskusi pada hari itu. Program Aufnahmepruefung Vorbereitungkurs adalah program yang mempersiapkan peserta untuk menghadapi ujian persiapan menempuh ujian masuk yang akan diselenggarakan Studienkolleg.

Yang pasti, sebagai orangtua, kami berdua tidak asal-asalan mengijinkan anak kami melangkah ke depan. Aku juga berpesan agar anakku kuat dan tidak cengeng karena ini adalah pilihan hidupnya, ia harus tegar melangkah, tak guna menangisi kamar yang ditinggal pergi tapi mulai berbenah di kamar yang baru untuk meraih mimpi dan cita-cita.