MARHUSIP di Cengkareng…

Marhusip merupakan salah satu aktivitas yang penting dalam rangka perencanaan pelaksanaan adat pernikahan dalam Suku Batak. Arti harfiah dari MARHUSIP dalam bahasa batak adalah berbisik. Aku tidak tahu persis kenapa kata MARHUSIP digunakan dalam kegiatan ini, sebab pada hakekatnya dalam setiap pembicaraan dalam acara ini bukanlah berbisik bisik melainkan berbicara normal seperti sediakala dan terkadang diselingi canda dan tawa. Dari pengalaman mengikuti acara acara yang seperti ini dapat disimpulkan bahwa istilah MARHUSIP digunakan mengingat kegiatan ini belumlah disaksikan secara terbuka oleh masyarakat umum (sanak keluarga dan kerabat secara keseluruhan) namun terbatas hanya sanak keluarga dekat dan sifatnya memformalkan apa yang dibicarakan dalam Marhori DInding.

Marhusip ini baru saja aku hadiri pada hari Sabtu, 5 Desember 2009 yang lalu, dimana kami, sebagai pihak PARANAK, mengantar anak kami Coky Gihon Jansen Silalahi, anak dari abang suamiku, Ap Coky Silalahi, ke rumah keluarga PARBORU, calon anak menantu kami, boru Simanjuntak, di Jalan Kenanga, Menceng, Cengkareng. Yang hadir dari pihak kami PARANAK adalah bapak dan inang tua dari calon pengantin pria, bapak dan inang udanya, amang dan inang boru nya dan juga ada opung boru nya dari Pengadegan.

Acara yang semula direncanakan pukul 12.00 ternyata mundur menjadi 13.30 karena ada salah komunikasi. Namun ndak masalah, walaupun perut lapar, kami sudah disuguhi lappet ombus-ombus dan air minum. Lumayan, buat yang sudah menahan lapar sejak tadi karena ada yang belum sempat sarapan dan terlambat makan siang.

Dalam acara ini pihak PARANAK datang secara resmi bersama saudara dekat menemui pihak keluarga PARBORU dengan membawa SIPANGANON (makanan dan minuman) dan tentunya kedatangan ini telah disepakati dalam acara marhori dinding, sehingga pihak PARBORUpun telah mengundang sanak saudara dekat untuk menerima kedatangan pihak PARANAK, dan masing masing pihakpun telah didampingi RAJA PARHATA. Boleh dikatakan bahwa kedatangan pihak PARANAK kali ini adalah meminang secara resmi anak perempuan dari PARBORU dan telah melibatkan para pihak yang berkepentingan.

Sesampai  didalam rumah PARBORU, pihak PARANAK-pun menyampaikan bahwa mereka datang dengan membawa SIPANGANON (makanan dan minuman). Kemudian pihak PARBORU menyuruh PARBORUON-nya (garis perempuan dalam keluarga) untuk MANIGAT (pengertian Indonesianya membuka pembungkus disertai merapikan) makanan dan minuman dimaksud, lalu kemudian mempersiapkan hidangan untuk dimakan para hadirin yang telah duduk berhadapan. Setelah makanan terhidang, pihak PARANAK pun PASAHATHON (mempersembahkan) TUDUTUDU SIPANGANON (biasanya ini adalah kepala seekor PINAHAN LOBU atau babi yang telah diatur sedemikian rupa), yang disertai dengan sepatah kata dan UMPASA. Kemudian pihak PARBORU membalasnya dengan menyajikan DEKKE (ikan) yang juga disertai dengan sepatah kata dan UMPASA.

Pihak PARBORU selaku tuan rumah meminta agar yang membawakan doa makan adalah dari pihak PARANAK sebab merekalah yang membawa SIPANGANON tersebut. Doapun dipanjatkan kepada Tuhan lalu kemudian semua yang hadir  makan bersama sama.

Setelah selesai makan, RAJA PARHATA dari PARBORU memulai pembicaraan, dan menanyakan maksud dan makna dari TUDU TUDU SIPANGANON yang disampaikan oleh pihak PARANAK. Lalu RAJA PARHATA pihak PARANAK menjawab bahwa TUDU TUDU SIPANGANON tersebut adalah merupakan SURUNG SURUNG (dalam bahasa batak surung surung merupakan JAMBAR atau hak RAJA yang tidak perlu dibagikan pada saat acara tersebut) bagi pihak PARBORU.

Kemudian RAJA PARHATA dari PARBORU memberitahukan kepada HAHA ANGGI (saudara tua dan saudara muda)-nya serta DONGAN SAHUTA (tetua atau orang yang dihormati disekitar tempat tinggal) tentang yang disampaikan oleh PARANAK tersebut, disertai permintaan agar acarapun ditutup.

Namun biasanya pihak PARANAK pada kesempatan itu memohon kepada pihak PARBORU agar saat MARHUSIP ini dapat juga dimanfaatkan sebagai acara PATUA HATA (konfirmasi atau penegasan apa yang dibicarakan dalam MARHORI DINDING). Lalu berdasarkan pertimbangan dari HAHA ANGGI dan DONGAN SAHUTA, permohonan tersebut dikabulkan.

PATUA HATA

Patua hata merupakan dialog antara PARBORU dan PARANAK yang dirangkai oleh RAJA PARHATA. Inti dari dialog serta pembicaraan disini merupakan penegasan kembali dari apa yang sudah dibicarakan dalam MARHORI DINDING; hanya bedanya disini lebih formal dan disaksikan para undangan dan RAJA yang diundang oleh kedua belah pihak.

Acara ini diakhiri dengan memperkenalkan calon pengantin laki laki dan perempuan kepada seluruh yang hadir dalam acara tersebut, kemudian disusul dengan penyerahan  INGOT-INGOT (semacam ikrar dalam bentuk uang kecil) oleh pihak PARANAK kepada pihak PARBORU (biasanya INGOT INGOT ini dibagikan kepada seluruh pihak PARBORU yang hadir saat itu). Lalu akhirnya ditutup dengan nyanyian gereja dan doa penutup dari pihak PARBORU.

Patua hata, artinya bahwa kesepakatan seorang pria dengan seorang wanita yang telah sepakat untuk memadu kasih, menjadi tanggung jawab orang tua. Patua hata, bahwa sudah menjadi pembahasan pihak orang tua pria dan wanita, biasanya sudah sekaligus menentukan langkah-langkah selanjutnya sampai ke acara Pemberkatan Nikah, Pesta Adat dan resepsi. Diawali dari namartumpol. Pemberkatan Nikah, rencananya akan diadakan pada tanggal 27 Maret 2010, semoga keluarga, calon mempelai, orangtua diberi kesehatan, supaya niat baik ini boleh terjadi dan seturut dengan kehendak Tuhan. Amin


3 thoughts on “MARHUSIP di Cengkareng…

  1. tata acaranya lengkap sekali ya. dan istilah2nya macam2. salut deh dg keluarga mbak yang masih menjalankan adat… 🙂

  2. @ mb Kris, trims sdh mampir..iya mb aku lg belajar, buat ngajarin anak2 juga, spy mrk ngerti..aku juga cari bahannya dari mana2, internet plus pengamatan langsung…

    DL

  3. Menarik sekali kisahnya, lengkap dengan segala istilahnya pula…
    Sudah ada kisah soal ulos belum? (Hehehe belum sempat nengok semua kamar di rumah baru ini…)

Comments are closed.