Tidak ada seorangpun mengharapkan akan mempunyai giliran untuk menunggu atau merawat orang sakit. Jangankan menunggu atau merawat orang sakit di rumah sakit, di rumahpun tak ada yang mengharapkan. Namun jika kenyataan itu ada di depan mata dan mau tak mau harus kita lakukan, tentu mesti diterima dengan rasa syukur dan ikhlas.
Ini bukan kali pertama aku menunggu seseorang di rumah sakit. Sekitar pertengahan tahun 1980, aku pernah menemani Ibu menunggu Bapak di Rumah Sakit, walau tidak sampai aku menginap di malam hari karena waktu itu aku masih duduk di kelas VI SD, tapi aku bisa merasakan betapa lelahnya Ibu menunggu Bapak disana. Kamar Bapak berbagi dengan 1 orang yang lain. Walau kamar Bapak cukup luas dengan kamar mandi didalam, tapi buat penunggu, tetap saja tidak terasa nyaman, Ibu tidak mau tidur di lantai, menghampar tikar seperti kebanyakan penunggu. Ibu selalu tidur di kursi, disamping pasien, sama seperti aku ternyata.
Sekitar tahun 1995, aku juga menunggu Bapak di Rumah Sakit, walau aku tidak menginap di Rumah Sakit (Bapak memang hanya mau ditemani Ibu), aku bersyukur bahwa dengan posisi Bapak saat itu bisa mendapatkan fasilitas VIP dengan pelayanan yang sangat baik di sebuah RS Pemerintah. Fasilitas VIP itu tentu juga berdampak pada Ibu, yang ikut menunggu Bapak, karena ada tempat untuk berbaring seperti kursi tidur dan sofa untuk menerima tamu, juga tidak bercampur fasilitas dengan pasien lain.
Aku sendiri mulai merasakan menunggu dan menemani pasien di rumah sakit, sejak sulungku berusia 8 bulan, waktu itu dia ada masalah dengan pernapasannya, batuk pilek mengakibatkan lendir tidak bisa keluar sehingga harus di-inhalasi (uap) dan kemudian dikeluarkan lendirnya dari hidung dengan selang yang tipis dan sangat kecil diameternya.
Menunggu di rumah sakit, yang pertama membutuhkan kesiapan mental dari penunggu atau pendamping. Dalam posisi aku, sebagai Ibu, ketenangan batin setiap Ibu akan sangat mempengaruhi batin anak selaku si sakit. Kalau si Ibu stress, istilah Jawa nya kemrungsung, tentu batin si anak juga tidak tenang. Selain kesiapan mental, tentu juga ketahanan fisik, karena orang yang lelah fisik pasti akan menyebabkan kondisi badan melemah dan tentu mempengaruhi pikirannya. Bagaimana bisa yang semacam ini, menunggu orang sakit?
Siap mental, siap fisik, nah apa lagi? cari kesibukan supaya waktu tidak terasa lama di rumah sakit. Kadang hal yang membosankan adalah pada saat si pasien tidur karena pengaruh obat dan kelemahan fisiknya, jadi sebaiknya penunggu menyibukkan diri dengan hal lain yang positif. Dulu, yang biasa aku lakukan adalah membaca buku atau koran, sampai kelelahan dan tertidur, tapi sekarang setelah ada handphone, penunggu masih bisa berkomunikasi dengan pihak luar melalui jejaring sosial, Facebook dan Twitter. Lebih-lebih lagi saat ini, punya laptop atau netbook, ada fasilitas Wi Fi di rumah sakit, ya bisa mengerjakan kerjaan kantor, bisa menulis seperti yang aku lakukan saat ini, bisa buka website yang bermanfaat, searching atau mendengar lagu-lagu dari You Tube ataupun kegiatan lain, yang dapat digunakan dari fasilitas ini.
Namun, satu hal yang pasti, jangan sampai pengisi kebosanan ini menjadi menyita waktu kita dan tugas apa yang menjadi tugas utama kita untuk menjaga orang sakit,ya kan? Istirahat juga penting bagi penunggu, karena selama di rumah sakit, biasanya tidur malam akan terganggu dengan pemeriksaan suhu tubuh pasien, persediaan infus yang habis (beruntung sekarang kantong infus dipasangi alarm, jadi tidak perlu dilihat berkali-kali), menemani pasien ke kamar mandi untuk buang air kecil atau pup, seperti si bungsu saat ini, yang masih belum baik kepadatan pupnya.
Jadi, lakukanlah dengan ikhlas apa yang ada di hadapan kita saat ini, berdoa untuk kesembuhan pasien, memberi motivasi dan semangat, mengurusnya dengan sabar, sehingga mendatangkan kebaikan buat pasien dan penunggu.
Sumber gambar dari Ms Goggle, belum sempat upload foto 🙂