Tak seorangpun ingin mengalami sakit atau memiliki penyakit. Memang ada juga orang yang terkena suatu penyakit karena tidak membiasakan diri hidup sehat atau melanggar diet makanan tertentu. Namun ada pula yang terkena suatu penyakit tanpa sebab dan karena ketidaktahuannya. Salah satunya adalah penyakit atau virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh seseorang. Cara penularan dan info dasarnya dapat dibaca pada tulisan aku sebelum tulisan ini. Ketidaktahuan bagi seorang penderita maupun bagi orang yang sehat sama-sama dapat menimbulkan masalah. Yang menderita atau sudah positif terpapar HIV/AIDS menjadi minder, rendah diri, frustasi dan stress, juga enggan bergaul dengan lingkungan di sekitarnya. Sedangkan bagi yang sehat, karena kurang informasi, memberikan stigma atau cap buruk bagi si penderita. Tidak sadar bahwa virus HIV/AIDS ini bisa menyerang siapa saja, bukan saja tertular langsung dari penderita tapi juga bisa melalui jarum suntik bekas pakai atau transfusi darah.
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) seringkali memperoleh stigma dan diskriminasi baik dari keluarga, teman maupun masyarakat. Hal ini tentu saja hanya akan memperburuk kondisi para ODHA itu sendiri karena pada dasarnya ODHA memerlukan dukungan moral baik dari keluarga, teman, lingkungan maupun masyarakat. Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pada gilirannya akan mendorong munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA dan keluarganya. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV/AIDS. Mereka menghambat usaha pencegahan dan perawatan dengan memelihara kebisuan dan penyangkalan tentang HIV/AIDS seperti juga mendorong keterasingan ODHA dan mereka yang rentan terhadap infeksi HIV. Mengingat HIV/AIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan narkoba dan kematian, banyak orang yang tidak peduli, tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini di hampir seluruh lapisan masyarakat.
Stigma berhubungan dengan kekuasaan dan dominasi di masyarakat. Pada puncaknya, stigma akan menciptakan, dan ini didukung oleh, ketidaksetaraan sosial. Stigma berurat akar di dalam struktur masyarakat, dan juga dalam norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari. Ini menyebabkan beberapa kelompok menjadi kurang dihargai dan merasa malu, sedangkan kelompok lainnya merasa superior.
Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi para staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada ODHA, atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status atau prasangka akan status HIV mereka, atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup, atau dipercayai hidup, dengan HIV/AIDS. Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Stigma dan diskriminasi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Terjadi di tengah keluarga, masyarakat, sekolah, tempat peribadatan, tempat kerja, juga tempat layanan hukum dan kesehatan. Orang bisa melakukan diskriminasi baik dalam kapasitas pribadi maupun profesional, sementara lembaga bisa melakukan diskriminasi melalui kebijakan dan kegiatan mereka.
Bentuk lain dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh ODHA dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri mereka sendiri. Hal ini bisa mendorong, dalam beberapa kasus, terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak, atau bisa pula menyebabkan mereka yang telah terinfeksi meneruskan praktek seksual yang tidak aman karena takut orang-orang akan curiga terhadap status HIV mereka. Akhirnya, ODHA dilihat sebagai suatu masalah, bukan sebagai bagaian dari solusi untuk mengatasi epidemi ini
Upaya pencegahan dan mengatasi masalah HIV/AIDS harus dilakukan secara terus menerus dan harus bergerak dengan bentuk program untuk menyelamatkan sesama manusia. Hal tersebut tentunya akan lebih efektif apabila didukung oleh seluruh elemen dalam masyarakat baik individu, keluarga, remaja, lembaga/organisasi maupun masyarakat.
ODHA mengalami proses berduka dalam kehidupannya, sebuah proses yang seharusnya mendorong penerimaan terhadap kondisi mereka. Namun, keluarga, masyarakat dan lembaga terkadang memberikan opini negatif serta memperlakukan ODHA dan keluarganya sebagai warga masyarakat kelas dua, hal ini menyebabkan melemahnya kualitas hidup ODHA. Pada kenyataannya sikap masyarakat yang memberikan stigma buruk dan diskriminasi terhadap para ODHA hanya menambah tingkat permasalahan HIV/AIDS. ODHA seharusnya memperoleh dukungan dari semua pihak khususnya dukungan emosional sehingga permasalahan yang dialami oleh ODHA tidak meluas.
Supaya bisa dijangkau masyarakat luas, tentu perlu bekerja sama dengan banyak pihak, dengan Instansi Pemerintah, Dinas Kesehatan, Pemda, LSM, para relawan. Pemda membagikan informasinya sampai ke Kelurahan, RW dan RT. Semua lapisan dijangkau bisa dengan penyuluhan ke sekolah-sekolah, mulai dari tingkat SD dan juga sampai Perguruan Tinggi. Informasi yang penting disampaikan adalah apa itu HIV/AIDS, bagaimana cara penularannya. Info ini penting bagi seorang yang sehat agar tidak mempunyai stigma (cap buruk) kepada orang yang sudah terpapar penyakit ini. Jika seseorang telah mendapat informasi ini, tentu orang tersebut tidak akan melakukan diskriminasi kepada ODHA (penderita HIV/AIDS) tersebut. Dengan bersikap positif kepada penderita, ini dapat memberikan efek psikologis yang baik, sehingga bukan tidak mungkin penderita akan sembuh.
Agar stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dapat diredam, carilah informasi mengenai HIV/AIDS dengan sebenar-benarnya, dengan mengerti, termasuk cara penularannya dan penyebabnya.
Lawan Virus-nya dan Bukan Orang-nya (ODHA)
Sumber : Google, Komunitas Berbagi Hidup, www.odhaindonesia.org