Oshin, Jepang dan Doa-ku

Serial drama Oshin adalah bentuk nyata kehidupan bangsa Jepang pertama kali yang dapat aku lihat secara langsung melalui televisi. Oshin adalah serial televisi Jepang yang ditayangkan NHK sejak 4 April 1983 sampai 31 Maret 1984 dan mulai dinikmati  penonton televisi Indonesia melalui penayangan saluran Televisi Republik Indonesia sejak Nopember 1986 sampai 1989.

Oshin, yang menceritakan mengenai kuatnya sosok perempuan Jepang, berasal dari keluarga yang miskin, harus bekerja sejak kecil hingga dewasa, bahkan hampir mati kedinginan di tengah salju, untuk bertahan hidup melalui kehalusan budi dan kebaikan hatinya, sehingga berkat keuletan dan ketekunan akhirnya menjadi pemilik waralaba toko swalayan yang terkenal pada masanya. Kisah Oshin ini merupakan kisah sejati kehidupan ibu dari Kazuo Wada, pengusaha Jepang yang mendirikan perusahaan supermarket Yaohan (sekarang bangkrut dan cabangnya di Singapura berganti nama menjadi Best Denki).

Tokoh Oshin merupakan salah satu tokoh perempuan inspiratif dalam hidupku karena melalui serial televisi yang aku nikmati tayangannya setiap pukul 17.30, aku dapat melihat bagaimana seorang Oshin tumbuh sejak kecil, dalam kesederhanaan dan kerasnya hidup bersama keluarga nya, Oshin kecil sangat berbakti pada orangtua dan keluarga, ia bekerja menjadi pengasuh bayi, ia membantu orangtua bekerja di ladang dalam segala cuaca, sepulang dari ladang, ia masih mengurus adik dan membantu memasak. Mulai bekerja sejak kecil, berpisah dari orang tua dan keluarga, bekerja sebagai penata rambut dengan berbagai tekanan dihadapi dalam pekerjaannya, sikapnya dalam membina hubungan dalam cinta segitiganya, sampai ia akhirnya dewasa dan menikah. Dari sana aku dapat belajar bagaimana sebagai menantu, Oshin selalu bersikap baik dan ramah kepada mertua yang tidak menyukai dirinya, sebagai istri, Oshin terus kuat dan berusaha mendampingi suami dalam menghadapi keterpurukannya diberhentikan dari pekerjaan, menghadapi kesulitan ekonomi dan juga bagaimana Oshin mendidik anak-anaknya serta bagaimana sikap Oshin menghadapi kepergian anak sulungnya yang mati di medan perang.

Oshin, wanita “kuat” secara lahir dan batin, kehalusan budi bahasa, sikap, perbuatan dan perkataan tercermin dari perasaannya yang juga kuat namun lembut dan baik hati itu, membuat aku menyukai dialog yang diucapkan dalam bahasa Jepang, sikap Oshin yang mau belajar apa saja mampu membuat dia luwes melakukan ritual Upacara Minum Teh, yang tidak semua wanita Jepang mampu melakukannya dengan baik dalam balutan anggun kimono yang dikenakannya.

Penokohan Oshin yang inspiratif, budaya tradisional Jepang yang dihadirkan dalam drama itu, keanggunan Oshin yang semakin nampak saat dewasa, tutur kata dalam bahasa Jepang yang mengalir lembut dari mulutnya sekalipun ia sedang marah, setting tempat dan lokasi pembuatan drama ini, busana Kimono yang dikenakan para tokohnya terutama saat Oshin bekerja sebagai penata rambut, dan cara berbusana serta berdandan ala Jepang, membuat aku semakin mengenal, mencintai Jepang dan selalu berdoa ingin pergi kesana suatu saat, yang semakin hari semakin kuat rasa itu sehingga tidak pernah aku melewatkan satu episode pun tayangan drama ini.

Puji Tuhan, rupanya Tuhan mendengar doa ku, akhirnya setelah enam tahun berdoa, pada tahun 1992, aku mendapat kesempatan mengikuti training Automatic Data Processing for Statistician atas biaya dan kerjasama dari Japan International Cooperation Agency (JICA) dan United Nations Development Programme (UNDP) dan seijin dari atasan di kantorku, selama 2 bulan mulai Mei sampai Juli 1992. Selama berada disana, aku tinggal di asrama Tokyo International Center (JICA Tokyo) yang beralamat di 2-49-5 Nishihara, Shibuya-Ku, Tokyo,Japan

 

 

 

 

 

 

 

 

Letak TIC Hatagaya, begitu aku dan teman-teman biasa menyebutnya, terletak di daerah perumahan yang tenang hanya 3 km dari Shinjuku, sebuah pusat keramaian di Tokyo, dengan banyak taman dan lapangan yang bersih, juga dekat dengan lokasi Tokyo Fire Academy. Karena training diselenggarakan di kantor Statistical Institute for the Asia Pacific (SIAP), maka setiap hari selama hari pelatihan dari hari Senin sampai dengan Jumat, kami berjalan kaki dari TIC Hatagaya ke Hatagaya Station (Keio New Line) melewati rumah penduduk menuju Shinjuku. Dari Shinjuku, kami pindah line kereta menuju stasiun Akebonobashi, dengan menggunakan Toei Shinjuku Line, yang terletak pada stasiun kedua setelah Shinjuku Station.

Keseharianku di kota atau negara yang kuimpikan sejak lama itu, sangat aku nikmati. Setiap pagi, aku selalu disapa dengan ramah oleh setiap orang yang ada di dalam asrama, mulai dari petugas pembersih ruangan kamar , penjaga pintu lift sampai pegawai yang menyiapkan sarapan di kantin. Semua bersih dan tertata rapi. Selesai sarapan, aku dan teman-teman siap berangkat ke SIAP, selama di perjalanan, kami melihat orang-orang yang juga berangkat seperti kami seperti bersekolah ataupun berangkat kerja, semuanya berjalan dengan langkah yang lebar dan cepat. Ketertiban juga sudah sangat aku rasakan pada saat mulai memasuki stasiun. Sebagian besar orang sudah memiliki tiket kereta api berlangganan, namun jika belum orang akan tertib membeli tiket di mesin penjual tiket yang ada. Setelah itu orang akan antri dengan teratur menunggu kereta datang sesuai jurusan yang dituju. Tertib mengantri dimana saja, sopan, tepat waktu, bekerja giat, ramah, menghormati orang tua, budaya, adat istiadat dan agama atau kepercayaan mereka, adalah nilai-nilai yang tertanam dan melekat pada bangsa Jepang.

Selama di Jepang, banyak hal aku amati dan aku pelajari, aku sempat masuk dalam kelas Bahasa Jepang di asrama, aku belajar mengenai Tea Ceremony, merangkai bunga (Ikebana), memakai busana kimono, mengunjungi teater dan pergi ke beberapa tempat penting di sekitar Tokyo seperti Asakusa, Tokyo Tower, Tokyo Disneyland, Great Budha di Kamakura, IBM, Fujisu Hakone serta mengikuti field trip ke Hiroshima dan Kyoto. Namun, aku belum ada kesempatan untuk mengunjungi Yamagata, tempat setting pembuatan serial drama Oshin tersebut.

Nilai budaya, tradisi dan adat istiadat yang selalu dijunjung tinggi bangsa Jepang di era kemajuan teknologi serta keindahan negeri Sakura ini, membuat aku semakin merindukan untuk kembali kesana dan tak henti-hentinya menceritakan apa yang kualami selama disana kepada anak-anak, keluarga dan kerabat.

Tulisan ini dimuat di http://www.denpasar.id.emb-japan.go.jp/indonesia/konnichiwa%2013/konnichiwa13_67.html

 

 


2 thoughts on “Oshin, Jepang dan Doa-ku

  1. mbak laraswati,
    mimpiku juga ke jepang. 🙂
    tapi aku kliru ya, berhenti berdoa ketika murni “hanya di rumah” jadi IRT , hehe. harusnya doanya terus ya, siapa tahu?

    mimpi itu pernah aku setting dengan akalku. ketika aku mengajar di sebuah SD, jaman anak sulungku balita. aku ikut les bhs Jepang. dgn harapan, setelah 5 tahun menjadi guru, aku akan mendaftar beasiswa monbukagushu. dan sudah siap bisa bahasanya.

    ternyata jalur hidup lain. saya resign jadi guru, krn beberapa alasan termasuk demi anak dan orang tua yg sudah mulai sakit-sakitan.

    berlanjut terus, sampai rasanya mustahil benar ada pintu yang terbuka untuk terbang ke jepang. mana ada beasiswa untuk ibu rumah tangga?

    tetapi Sang Maha Kuasa pasti tahu, betapa itu kuinginkan. Jadilah sekarang, ada celah di pintu yang terbuka lagi. Atau bisa kumasuki lagi, sejak kuputuskan untuk melanjutkan studi.

    ya, siapa tahu? akhirnya aku dikirim ke jepang untuk mempelajari ilmu teknologi pendidikan?

    yg pasti, aku akan berdoa lagi. meniru mbak Laraswati 🙂

    makasih ceritanya ya mbak

    oya, membaca cerita oshin, sy loh sampai kayak mendengar suara lagu soundtracknya sekarang ini.

    saya juga suka film itu, seandainya diputar lagi..

    saya pun dipanggil Orin di asrama putri tempat tinggal waktu kuliah dulu, biar mirip2 sama oshin, hehehe.

    pokoke semangat wae lah.
    suwun mbak yo

Comments are closed.