Malam, 12 Februari 2019, tiba dari perjalanan Bandung ke Serpong, pulang pergi dan berada di Bandung, yang hampir 15 jam, ga sabar rasanya untuk segera mengupload foto ini di akun media sosial Facebook. Ntah kenapa hatiku begitu gembira. Mungkin karena sehari sebelumnya dan sampai pagi itu, badan mendadak terserang flu sehingga rasanya ingin membatalkan pertemuan, namun rasanya tidak enak pada Prof Bambang Hidayat, seorang astronom Indonesia, yang sudah jauh hari mempersiapkan undangan makan siang ini.
Lalu yang kedua, karena aku bertemu dengan orang-orang luar biasa, yang baik hati dan rendah hati. Walau obrolan yang dibicarakan beragam, mulai dari tujuan awal kedatangan, membahas naskah proyek tulisan awal 2019 (tepatnya gambar ilustrasi karena tulisannya sudah disetujui Prof Bambang melalui komunikasi e-mail) sambil menikmati stoop cassava (setup jambu yang seger banget) di teras samping, lalu Prof mengajak berkeliling melihat buku-buku, baik yang berisi tulisan Prof Bambang, maupun yang berkaitan dengan planet dan alam semesta, di perpustakaan beliau.
Ini pertemuan pertamaku langsung dengan Prof Bambang, setelah awalnya berkomunikasi melalui email pada 21 Desember 2018. Alamat email Prof Bambang, aku peroleh dari rekan sesama blogger, yang juga seorang wartawan Tempo, pak Baskoro. Sayang pak Baskoro tidak bisa hadir pada hari ini..
Profesor menerima kami dalam busana kemeja lengan pendek warna putih dengan celana panjang biru tua. Dalam usianya yang sudah 84 tahun ini, beliau nampak sehat dan tidak pikun seperti kebanyakan orang di usia itu, mungkin karena beliau aktif membaca dan berkomunikasi dengan banyak orang. Pertama aku tiba di rumahnya, beliau sendiri yang langsung turun membukakan pintu, menuruni trap-trap tangga teras dengan cepat. Rumah beliau asri dengan banyaknya tanaman dan bunga, wanita mana yang tidak menyukai pemandangan seperti ini, pasti betah duduk berlama-lama kan ? 😉
Obrolan makin bervariasi, setelah Prof Iwan dan Prof Hendra datang. Kami saling bertukar buku. Obrolan mulai dari kalender, kalender islam, perayaan imlek, atheis, tanaman, penerbitan buku, hari raya dewali di india, Tuhan tidak tidur, global warming, wine, transportasi online, di antara kuliner yang disiapkan oleh Chef andalan di kediaman Prof Bambang, Neng Sunarti (yang akan kuceritakan di postingan berikut). Dan makin seru obrolan dengan kehadiran prof Harijono, yang hadir setelah pukul 13.00, sayangnya aku sudah mohon diri pada pukul 14.00, setelah hujan petir reda.
Dari pertemuan ini, apa yang bisa aku simpulkan ? menurutku, betul kata pepatah tentang padi yang selama ini aku dengar, semakin berisi, semakin merunduk, demikianlah dengan para profesor ini. Yang semula (sebelum berangkat tapi sudah diberitahu prof Bambang) bahwa yang akan hadir adalah rekan-rekan sesama profesor, kubayangkan akan menyeramkan dan tidak nyambung dalam pembicaraan dengan pikiranku yang simpel dan terbatas ini, ternyata tidak terjadi. Mereka semua baik dan rendah hati, bahkan ada yang akan membantu jika aku bermaksud menerbitkan bukuku di Percetakan ITB, wow….
Yang kedua, adalah, banyak-banyaklah membaca, agar mempunyai banyak pengetahuan dan bisa bicara mengenai apa saja.
Oh ya selain berkeliling di ruang kerja beliau, beliau juga menunjukkan di mana spot beliau duduk memandang dan memotret bulan dan semesta, juga berkeliling ke halaman yang penuh dengan tanaman.
Pertemuan ini akan dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya, untuk merampungkan naskah dengan ilustrasi yang dibutuhkan untuk proyek tulisanku dengan mbak Tanti ini. Selain itu Prof Bambang juga bermaksud mengundang rekan-rekan sesama penulisnya untuk hadir kembali. Sekali lagi, terima kasih ya Prof Bambang untuk undangan jamuan makan siangnya, yang luar biasa, ditemani diskusi hangat dengan teman-teman baru.
Semoga semua diberi kesehatan untuk terus berkarya. Salam semesta.
Berikut catatan tambahan yang dikirimkan Prof Bambang padaku melalui email, pada 17 Februari 2019
mBak Laraswati, banyak terima kasih untuk tulisannya. “kesalahan2 besar”, dalam artikel itu ialah;
- Tentang menu, nama masakan yang “ngawur” bahasanya: bukan Inggris, bukan Jerman, bukan Belanda, bukan Indonesia.
- Kawan2 saya itu memang GB ITB, on their own rights(dengan sumbangan ilmiahnya) dan berbeda umur dengan saya beberapa tahun (banyak). Saya pernah mengajar pak Iwan. Karena autograph dalam sebuah buku yang dikirim dari India (dia pernah menjadi atase Kebudayaan) tertulis “untuk guru saya”. Kami bertemu, kerumpul, dalam kapasitas manusia biasa, yang bertukar pikiran.
- Salam hormat, dan terima kasih. Tak ada komentar lain. Bambang Hidayat
Pingback: Proses Penerbitan Buku ke – 25 (Buku Solo ke-8) | Honey Bee