Kamis Pon, 1 Juni 2023
Membaca (dan menulis) sebuah puisi, selalu menenangkan dan juga menyenangkan. Membaca puisi membuat kita secara otomatis memperlambat laju akan segala sesuatu, meresapi dan memaknai kata demi kata, baris demi baris, bahkan bait demi bait. Memperlambat langkah tapi kerap memburu denyut jantung karena makna yang terkandung didalamnya.
Akhir pekan yang (cukup) panjang ini, waktuku akan direnda dengan rangkaian puisi dari buku hadiah meresensi cerpen. Buku ini berjudul Setelah Lima Belas Kabisat, karya pak Kurnia Effendi. Sebanyak 80 puisi yang ada didalamnya ditulis pada 4 tahun terakhir. Buku yang terbit pada tahun 2021 ini dibagi kedalam dua segmen, yaitu “Hormat” dan “Hasrat”. Dua hal yang sering dianggap saling bertolakbelakang tapi bisa jadi juga saling mendukung. Bagaimana puisi-puisi yang ada didalamnya, tunggu aku selesai memperlambat lajuku ya.
Buku ini setebal 99 halaman dan berisi 80 puisi, yang dibagi dalam dua bagian, yaitu Hormat dan Hasrat. Terbit pada tahun 2021 dan pada bagian sampul belakang disebut bahwa karya ini ditulis dalam empat tahun terakhir, yang berarti dimulai sekitar tahun 2017-2018. Dan selanjutnya masuk dalam masa-masa pandemi Covid 19, masa dimana banyak aspek kehidupan berubah dan juga kehidupan mahluknya. Buku ini tampaknya tidak berisi banyak hal mengenai pandemi, tapi aku merasa ada kerinduan dan hormat pada masa yang telah lalu. Betul, pandemi memang membuat kita banyak merenung dan melakukan introspeksi diri, mensyukuri bahwa kita masih diberi kehidupan saat berhasil melalui pandemi khususnya pandemi di awal tahun 2020.
Puisi No 8 Tiga Ziarah, No 14 Menjemputmu di Medinah, No 18 Pesta Keangkuhan Sulaiman dan No 19 Elegi Suara, adalah puisi perenungan yang kumaksud, menyadari diri yang sesungguhnya bukan siapa-siapa ini di dunia.
Sedangkan Puisi No 23 Sebuah Perjamuan, No 30 Romansa Simpang Lima dan No 35 Rumah Masa Kecil adalah beberapa puisi yang menyatakan hormat dan rasa rindu pada masa lalu
Sedangkan di segmen kedua hal Hasrat, yang terdiri dari 38 puisi, ada 10 puisi tentang kucing kesayangan dan tiga puisi tentang kopi, berjudul Meditasi Kopi, Pagi di Leiden dan Kopi dan Anggur. Sebagai pakar kisah romansa, puisi di segmen Hasrat yang ditulis Pak Kurnia tentu sangat mengandung hasrat. Dituliskan dengan jeli dan teliti tentunya, walau tidak berkesan vulgar.
Kalau ditanya mana puisi favoritku di buku ini, jujur aku menikmati semuanya tapi sangat suka dengan puisi Tiga Ziarah dan Lisayang. Isinya…. ah baca sendiri deh, miliki bukunya. Hubungi langsung penulisnya yang baik hati itu.
Membaca puisi, dari pengarang siapa pun selalu memperlambat langkah dan waktuku, semua kunikmati baris demi barisnya dan bahkan kerap aku ulangi baca di lain waktu. Demikian pula dengan buku ini, walau usiaku saat ini belum melampaui lima belas kabisat tapi aku yakin bukan aku saja yang akan menikmati waktu dengan membaca puisi karya Pak Kurnia ini.
Salam literasi. Terima kasih Pak Kurnia, kak Naomi Kanaya dengan ide resensinya dan tentu bu Fakhriah Ilyas dan Elfa Mediatama