Bubur Sumsum, Nikmat dan Sederhana

Ini bubur sumsum, mengapa disebut “sumsum” karena warnanya putih seperti sumsum. Membuatnya sederhana, bisa pakai santan, bisa tidak, dilarutkan dengan tepung beras, aduk-aduk bentar, jadi deh. Supaya wangi, biasanya aku masak bersama daun pandan, yang tumbuh subur di halaman.

Karena rasanya yang tawar, sebenernya bubur sumsum ini bisa dimakan pakai apa aja, eh maksudnya mau pakai sayur labu siam bisa, pakai taburan serundeng bisa, tapi umumnya pakai juruh (air gula merah).

Waktu aku masih kecil (sekarang juga tetap kecil sih ????) Ibuk selalu membuat ini setiap kami selesai acara. Aku sih suka aja tapi adikku ada yang mesti dipaksa2 untuk makan, kata Ibuk, “Biar kamu sehat dan hilang capeknya.” Waktu itu ga ngerti apa hubungannya makan bubur sumsum dengan kesehatan, tapi pikiran simpelku, bubur ini akan menguatkan sumsum dalam tulangku, haha sok tau bet ya..

Tapi ternyata benar, ada filosofi Jawa hal bubur sumsum ini. Bubur sumsum pasti dibuat kalau selesai ada acara atau hajatan. Bubur ini melambangkan kesederhanaan dan kesetaraan, dari warnanya yang putih, rasa yang plain aja, membuatnya juga ga ribet dan dan… bubur ini dibagikan pada semua orang yang terlibat dalam acara itu, dari yang punya hajatan sampai pekerja-pekerja di dapur dan di parkiran, semua kebagian, seperti yang dilakukan Ibuk pada saat selesai pernikahanku beberapa puluh tahun lalu. Bukan itu saja, acara yang diselenggarakan di rumah kami, walau dalam kapasitas kecil, seperti arisan keluarga pun, selesai acara Ibuk selalu membuatkan bubur sumsum ini.

Nah gimana kalian, senang makan bubur sumsum dengan kuah apa, pedes manis atau gurih? Btw… kenapa aku bikin bubur sumsum hari ini, apakah ada acara? Oh tidak, ini hanya untuk menguatkan balung, supaya kuat seperti Gatot Kaca eh Srikandi.

Selamat berakhir pekan, Setu Wage 26.08.23