Sabtu, 5 Oktober 2024, aku dan teman-teman mengikuti Open Trip yang diadakan oleh Wisata Kreatif Jakarta bersama Kak Ira Latief menuju Desa Baduy Luar.
Desa Baduy atau Kanekes adalah salah satu desa di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Di dalamnya terdapat suku Baduy atau urang Kanekes yang merupakan sekelompok masyarakat yang memegang teguh kearifan lokal. Populasinya kurang lebih 26.000 jiwa dan terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam.

Letak Desa Baduy ini sekitar 125 kilometer saja dari tempat tinggalku, atau jika ditempuh dengan kendaraan pribadi memakan waktu sekitar 2.5 jam saja. Namun kami, aku dan lima orang teman, memilih menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) dari Stasiun Rawa Buntu menuju titik temu kami dengan teman-teman dari Wisata Kreatif Jakarta di Stasiun Rangkas Bitung. Di sana, kami bertemu Kak Ira Latief dan Kawan-kawan, yang akan menemani kami memasuki perkampungan Baduy.

Dari Stasiun Rangkas Bitung, kami menuju Kampung Ciboleger, yang merupakan pintu gerbang masuk menuju peradaban Baduy Luar. Perjalanan dengan kendaraan mini bus ELF kapasitas 12 orang, ditempuh selama kurang lebih 1.5 jam. Rombongan kami terdiri dari 24 orang sehingga dibagi kedalam dua kendaraan.
Tiba di Kampung Ciboleger, kami sudah ditunggu para guide lokal penduduk asli Baduy Luar, Kang Baim dan dua orang kerabatnya. Perjalanan kami dimulai diatas jalan yang rata dan tertata rapi, melewati deretan kios warga yang menjajakan barang dagangan khas Baduy, seperti kain tenun, pakaian, gula aren, kopi dan jahe merah.

Pemberhentian kami pertama adalah di rumah seorang Ketua Adat, yang diwakili anaknya, yang bernama Itoy. Ia bertutur mengenai peradaban di Baduy yang jauh dari modernisasi namun mereka cukup melek teknologi, terbukti dengan adanya sistem pembayaran dengan menggunakan QRIS.

Mereka mandi tidak menggunakan sabun tapi dengan buah honje, buah dari tanaman kecombrang. Dan untuk menggosok gigi menggunakan siwak (sabut kelapa). Ini konon kabarnya yang membuat kulit wanita Baduy khususnya tampak glowing (berkilau)

Sambil mendengar penjelasan Kak Ira dan Itoy, beberapa teman sudah mulai asyik berbelanja dan membeli cindera mata.

Mayoritas penduduk di Desa Baduy beragama Sunda Wiwitan dan berbahasa Sunda Banten. Mereka tidak diperbolehkan bersekolah tapi mereka belajar membaca, menulis dan berhitung secara otodidak, yang diajarkan oleh orang tua atau kerabat. Mata pencaharian sebagian penduduk adalah bertani atau meladang, namun beberapa dari mereka juga menjual hasil kebun mereka seperti kopi, jahe dan madu, keluar Baduy, yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan kereta. Sedangkan sebagian wanita di desa tersebut, bekerja sebagai penenun.

Tidak ada penerangan atau listrik di desa ini, menurut Itoy, mereka men-charge telpon genggam di luar kampung. Telpon genggam sekali waktu mereka gunakan untuk berkomunikasi dan bertransaksi.
Itoy juga bercerita tentang sistem pernikahan di Baduy, yang hanya mengizinkan penduduk menikah dari kawasan yang sama, sama-sama berasal dari Baduy Luar atau dari Baduy Dalam. Walau ada juga pernikahan yang terjadi dari kawasan yang berbeda, sehingga warga tersebut dikeluarkan dari kawasannya karena dianggap melanggar adat dan kehilangan statusnya sebagai warga
Dijelaskan pula mengenai perbedaan suku Baduy Dalam dan Baduy Luar, diantaranya
- Suku Baduy Dalam masih memegang teguh adat istiadat dan aturan, sedangkan Suku Baduy Luar sudah terpengaruh oleh budaya luar.
- Suku Baduy Dalam masih hidup tanpa listrik, alas kaki, dan berjalan kaki. Suku Baduy Luar sudah menggunakan alat-alat modern seperti telpon genggam
- Suku Baduy Luar memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak, yaitu ribuan orang, sedangkan Suku Baduy Dalam hanya ratusan jiwa
- Suku Baduy Dalam menempati pedalaman hutan di bagian selatan, sedangkan Suku Baduy Luar menempati puluhan kampung di bagian utara Kanekes
Setelah perbincangan itu, perjalanan kami lanjutkan menuju rumah, seorang penenun yang dijuluki sebagai Nenek Cantik, karena di usianya yang ke-35, ia memiliki seorang anak berusia 20 tahun dan telah dikaruniai seorang cucu. Di rumah penenun bernama Aswati ini, selain menjual kain tenun dan aneka cindera mata khas Baduy, pengunjung bisa menikmati kopi, teh dan makanan ringan sebelum melanjutkan perjalanan.

Perjalanan kami lanjutkan menuju rumah kediaman guide lokal kami, Kang Baim yang telah menyediakan Makan Siang untuk kami. Makan siang yang sederhana, disajikan dengan istimewa, berupa pilihan ikan mas atau ayam goreng, tahu dan tempe, beserta lalapan dan sambal tomat yang tidak terlalu pedas dan “pas” buatku. Suasana yang hening, duduk bersama diatas dipan bambu, diantara gemerisik daun pepohonan, membuat suasana makan siang begitu berbeda, di tengah keriuhan gerak teman yang hilir mudik, menambah nasi atau lauk. Nikmatnya….



Selesai makan siang, saat kami bersiap melanjutkan perjalanan, hujan rintik mulai turun, Kak Ira selaku ketua rombongan membatalkan perjalanan menuju Jembatan Gantung yang terletak di Desa Gajebo, yang menjadi tujuan akhir perjalanan ini dengan alasan cuaca dan kondisi kami. Diputuskan perjalanan akan berakhir sampai di Lumbung warga. Baiklah, dengan semangat kami melanjutkan perjalanan ini. Saat hari hujan, jalan setapak yang berbatu ini memang menjadi licin dan butuh kehati-hatian, mencegah terjatuh yang dapat mencederai punggung.


Baduy dan Kesahajaan
Di lereng bukit, sunyi yang teduh,
Terselip di balik hutan yang jauh,
Baduy berjalan dalam kesahajaan,
Menjaga alam, hidup tanpa keluhan.
Tak tersentuh gemerlap dunia kota,
Di rumah bambu, hati mereka penuh cinta,
Kesederhanaan menjadi jalan hidupnya,
Harmoni dengan bumi, abadi selamanya.
#delaras #delarassemesta
Perjalanan kami berakhir, tepat pukul 16, kendaraan ELF kembali membawa kami kembali ke Stasiun Rangkas Bitung. Sebelum berpisah, kami berfoto dibawah ikon patung Kampung Ciboleger.

Buat Kak Ira Latief, terima kasih sudah mengantar kami ke Baduy beserta Tim. Terima kasih untuk semua teman baru dan lama untuk kebersamaannya kemarin. Love you all…
Foto : Pribadi dan Teman2 di WAG Tur Baduy Wisata Kreatif Jakarta