Bagi kolektor batik, nama desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon, yang berada di Kecamatan Weru, Cirebon, tak dapat dipinggirkan. Desa yang terletak sekitar lima kilometer dari pusat kota ini sejak puluhan tahun lalu telah menjadi sentra bisnis batik. Sayang, mereka harus kedodoran mencari para pembatik lokal.
Kisah membatik desa Trusmi berawal dari peranan Ki Gede Trusmi. Salah seorang pengikut setia Sunan Gunung Jati ini mengajarkan seni membatik sembari menyebarkan Islam. Sampai sekarang, makam Ki Gede masih terawat baik, malahan setiap tahun dilakukan upacara cukup khidmat, upacara Ganti Welit (atap rumput) dan Ganti Sirap setiap empat tahun. Kelihaian membatik itu ternyata memberi berkah di kemudian hari. Batik Trusmi berhasil menjadi ikon batik dalam koleksi kain nasional. Seolah kain batik dari desa ini tak masuk dalam keluarga batik Cirebon. Batik Cirebon sendiri termasuk golongan Batik Pesisir. Usaha yang bermula dari skala rumahan lama kelamaan menjadi industri kerajinan yang berorientasi bisnis. Produk batik Trusmi bukan sekadar memenuhi kebutuhan lokal, tetapi sebagian perajin mengekspor ke Jepang, Amerika, dan Belanda.
Masa keemasan kerajinan batik di daerah ini terjadi pada kurun waktu 1950-1968. Tak heran bila sebuah koperasi di tingkat lokal, Koperasi Batik Budi Tresna yang menaungi perajin batik, sanggup membangun gedung koperasi yang sangat megah. Tak ketinggalan, dibangun pula sejumlah sekolah mulai dari tingkat SD, SLTP hingga SLTA. Di masa kini, peran alm. H. Masina tak bisa dilepaskan. Tokoh ini dikenal sebagai pengembang bisnis batik di Trusmi. Itu sebabnya ia pun didaulat untuk memimpin Koperasi Batik Budi Tresna.
Beberapa tahun lalu, alm H. Masina sempat mengeluhkan makin sulitnya mencari orang lokal yang mau berprofesi sebagai pembatik yang terampil. Penduduk sekitar lebih suka kerja ”kantoran” yang tak butuh ketrampilan tangan. Alhasil para pemilik industri batik mencari tenaga pembatik dari daerah lain, seperti Yogyakarta, Solo, atau Pekalongan.
Bila dibanding dengan batik Yogyakarta, Solo atau Pekalongan, batik Trusmi punya ciri yang berbeda dan khas. Perbedaan yang paling kentara adalah dari segi warna dan motif. Batik Trusmi tampil dengan warna yang cerah dan ceria. Batik Yogyakarta atau Solo didominasi dengan warna gelap, biasanya coklat tua atau hitam.
Secara umum, batik asal Cirebon muncul dengan warna-warna kain yang lebih cerah dan berani. Warna-warna cerah seperti merah, merah muda, biru langit, hijau pupus, dan tentu saja ini bisa kita lihat dalam kain batik Trusmi. Selain itu, gambar motifnya juga lebih bebas, melambangkan kehidupan masyarakat pesisir yang egaliter, seperti gambar aktivitas masyarakat di pedesaan atau gambar flora dan fauna yang memikat.
Begitu pula dengan motif yang menghiasi kain. Motif batik Trusmi berbeda dengan motif batik tradisional gaya Yogyakarta dan Solo. Pengaruh ini diakibatkan dengan letak geografis Cirebon yang ada di kawasan pantai, sehingga motif batik asal kota udang ini disebut motif Pesisiran. Dalam kain batik ini kita bisa jumpai gambar motifnya yang lebih bebas, melambangkan kehidupan masyarakat pesisir yang egaliter, seperti gambar aktivitas masyarakat di pedesaan atau gambar flora dan fauna yang memikat.
Salah satu ciri khas batik asal Cirebon yang tidak ditemui di tempat lain adalah motif Mega Mendung, yaitu motif berbentuk seperti awan bergumpal-gumpal yang biasanya membentuk bingkai pada gambar utama. Motif Mega Mendung tersebut didapat dari pengaruh kraton-kraton di Cirebon.