Wisata Alam dan Budaya di Lombok

Wisata ke Lombok ini sudah kami rencanakan jauh hari, tepatnya 8 bulan lalu, saat kami sama-sama tergabung menjadi Panitia Natal Paduan Suara Wanita Sola Gratia dalam kegiatan Kunjungan Kasih ke Panti Asuhan. Di sela kegiatan, kami “mendadak” merencanakan untuk berwisata ke Lombok. Tiket dipesan karena ada promo tiket dari Kartu Kredit Bank Mandiri.

Setelah tiket terpesan, mulailah kami menabung sejak bulan Desember 2023 sampai awal Agustus 2024. Mulai memesan tiket hotel yang juga dengan voucher potongan, menyusun ittenary dan memesan kendaraan.

Kamis, 22 Agustus 2024, kami berenam berangkat menuju Lombok, dengan pesawat Garuda GA432, penerbangan menempuh waktu selama 2 jam 30 menit. Berangkat pukul 7.00 WIB dan tiba pukul 10,30 WITA.

Setiba di Lombok, kami langsung menuju hotel Swiss BelCourt, yang terletak di wilayah Praya, Lombok, untuk menurunkan barang bawaan dan melanjutkan perjalanan kami ke Desa Sukarara. Tiba di Desa Sukarara, kami langsung disambut oleh Sani, yang mengarahkan kami untuk memilih pakaian adat suku Sasak yang akan kami gunakan untuk berfoto. Sebelumnya, salah seorang dari kami berbisik bertanya, “kami harus bayar berapa?” Sani menjawab, “Seikhlasnya”. Baik, kami melangkah untuk memilih kain sesuai selera kami dan Sani membantu kami memakai kain, atasan hitam dan mengikatkan angkin diatas kain sarung.

Sukarara adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan JonggatKabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara BaratIndonesia. Desa ini sebagian besar penduduknya bersuku Sasak. Songket Sukarara merupakan kain tenun yang terletak di desa, yang dikenal sebagai desa penenun kain tenun khas Lombok, dengan motif Keker, Subanala dan Nanas, dengan warna-warna yang cantik walau masih menggunakan peralatan tenun tradisional.

Puas berfoto, kami mulai memilih-milih kain tenun dalam berbagai bentuk, misal sarung, stola, ikat kepala atau bahan untuk pakaian. Kami berenam membeli stola atau selendang sesuai selera kami masing-masing. Di Sukarara, kami juga mencoba belajar menenun dari penenun langsung. Harga bervariasi sesuai dengan jenis benang dan tingkat kesulitan pembuatannya. Aku membeli satu buah ikat kepala dan selendang tenun.

Dari Desa Sukarara, kami lanjut makan siang di Rumah Makan Keker. Rumah Makan dengan ornamen dan vibes khas Lombok, dengan interior didominasi bambu, menambah rasa nyaman dan adem, dengan angin semilir dan ditambah pemandangan menghadap ke pegunungan yang hijau dari kejauhan. Di sini, kami memesan Ayam Taliwang khas Keker, tentu dong, ini makanan yang wajib dicoba saat ke Lombok. Selain itu, ada Cumi Tumis Hitam, Beberuk Terong dan Plecing Kangkung. Masakannya juara. Direkomendasikan untuk dicoba. Untuk minumannya, kami memesan Es Kelapa Muda.

Selesai menikmati makan siang, kami lanjut menuju Desa Sade. Desa Sade terletak di Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa Sade berada satu dusun dengan Desa Rembitan, desa ini merupakan desa adat suku Sasak, Lombok. Tiba di sana, kami langsung disambut oleh pemandu bernama Wira. Wira memperkenalkan diri dan menyebutkan karena ia sudah menikah dan memiliki anak bernama Edelwise, maka Wira dipanggil orang dengan sebutan Ama Edelwise.

Wira menjelaskan secara singkat mengenai kehidupan adat suku Sasak dan mengajak kami berkeliling ke beberapa bagian dari desa itu. Ia menunjukkan rumah asli suku Sasak dan kehidupan sebagian penduduknya, yang juga sebagian hidup dari menenun. Lagi, kami mencoba berkain dengan kain tenun khas Sasak. Luas desa Sade sekitar 5.5 hektar dengan 150 rumah di sana. Penduduk di desa ini masih satu keturunan karena mereka memperbolehkan pernikahan antar saudara. Di desa ini, rumah yang mereka huni adalah rumah khas Sasak dengan atap rumah yang tinggi dengan anyaman bambu.

Sebelum menuju wilayah Mandalika, kami mampir ke Sasaku Galery. Tujuan awal adalah berganti pakaian tapi ternyata di sana tersedia banyak produk sebagai alternatif untuk oleh-oleh dengan kualitas yang bagus dan harga juga terjangkau, malah harga ikat kepala di toko ini jauh lebih murah dari yang aku beli di tempat sebelumnya. Di sini dijual kaos, souvenir khas Lombok dan juga produk makanan seperti kopi, madu, manisan dan sambal.

Kami lanjut menuju Sirkuit Mandalika dan Bukit Merese. Sayangnya, cuaca kurang bersahabat, langit mendung dan berangin, namun tak mengurangi semangat kami untuk mendaki. Saat berada di depan gerbang Sirkuit Mandalika, kami dibantu beberapa anak untuk mengabadikan keberadaan kami di sana, mereka bahkan membantu untuk membuat video pendek. Selain itu, di depan gerbang itu juga banyak penjaja yang menawarkan souvenir untuk kami bawa pulang, seperti kaos, dompet dan asesoris mutiara. Catatan ya, kita mesti pandai memilih dan menawar harga barang tersebut.

Kami tiba hampir gelap di Bukit Merese, namun tidak mengurangi hasrat kami yang penasaran dan berharap dapat menikmati matahari terbenam sesungguhnya dari balik bukit.

Hari pertama itu, kami tutup dengan santap malam di Rumah Makan Taliwang Nyaman di kota Mataram, tentu dengan menu ayam taliwang dan sambal yang super enak.

Jumat, 23 Agustus 2024, kami awali perjalanan kami ke Sembalun dengan sarapan di hotel, seperti biasa, setengah cangkir kopi hitam akan menemani pagiku. tertulis “kopi Lombok” wah layak dicoba ini dan ternyata tidak mengecewakan. Menu sarapan di hotel cukup bervariasi.

Tujuan kami pertama adalah ke Pusuk Sembalun, yang menempuh waktu sekitar dua jam dari hotel. Perjalanan yang cukup jauh namun terbayarkan dengan suasana dan pemandangan yang begitu indah di Sembalun. Kami puas berfoto di sana. Kami dikenakan tarif berfoto sebesar Rp 5.000,- per orang dan dibantu diabadikan oleh penjaga di sana. Nilai yang cukup sesuai ya. Menurut catatan, Pusuk Sembalun ini terletak antara 900 sampai dengan 1.300 MDPL.

Termasuk berfoto di pintu Taman Nasional Gunung Rinjani, sambil menunggu pengemudi kami sholat Jumat. Menurut informasi yang kami dapatkan, biasanya wisatawan yang akan mendaki Gunung Rinjani diberangkatkan dari pos ini. Dari pos ini juga ada kendaraan minibus yang membawa wisatawan pulang pergi ke Mataram.

Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan kami ke Bukit Selong, yang berada 1.800 MDPL, untuk dapat melihat kawasan pedesaan Desa Bleq dari atas bukit. Dikenakan tarif sebesar Rp 5.000,- per orang, kami menyusuri menuju puncak bukit, yang tertulis “hanya” 350 meter namun dengan kemiringan yang lumayan untuk orang seusiaku.

Dari tempat ini, kami lanjut makan siang di Kedai Sawah, yang terletak di tengah kebon stroberi. Masakan dan makanan yang disajikan enak buat kami tapi sayangnya penyajiannya sangat lama menurut kami. Aku memesan Ikan Kuah Khas Sembalun. Ikan yang digunakan adalah ikan nila, yang digoreng lebih dahulu lalu dimasak bersama bumbu dan kemiri sebagai pengganti santan, sehingga kuahnya terasa ringan. Aku suka, apalagi jika disajikan dengan nasi hangat. Selain itu bakwan sayurnya juga enak, digoreng dadakan dan disajikan hangat-hangat.

Selesai menikmati makan siang dan berganti pakaian, kami melanjutkan perjalanan kami menuju Tanjung Bias (rencana kami, untuk menikmati matahari terbenam dan makan malam), namun rencana ini kami sesuaikan dengan kondisi di tempat, akhirnya kami tutup dengan menikmati Pantai Senggigi, yang menurut aku kurang bersih, ditambah lagi dengan toilet yang tak terjaga dengan baik, walau ada penjaganya.

Dari Pantai Senggigi, kami kembali ke Mataram, menikmati makan malam kami di Sate Rembiga Bu Sinnaseh, yang terletak di Jl. Dr. Wahidin No.11B, Rembiga, Kec. Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Bar. 83124. Sate Rembiga adalah sate sapi khas daerah Rembiga.

Hari ketiga, Sabtu, 24 Agustus 2024, kami nikmati dengan bangun pagi dan menuju ke Selong Belanak, silakan klik link berikut ya Menyambut Pagi di Selong Belanak. Dari Selong Belanak, kami kembali ke hotel untuk melanjutkan sarapan kami dan bersiap kembali untuk ke bandara.

Terima kasih Tuhan, untuk perjalanan yang kami rencanakan jauh hari ini, untuk semua sukacita yang Kau berikan, untuk penyertaan dan pemeilharaan Mu sehingga kami berenam beserta keluarga kami di rumah dalam keadaan baik dan dapat pulang dengan selamat.

Semoga sukacita kami dapat dirasakan juga oleh para pembaca dan bisa menjadi alternatif liburan di masa yang akan datang. Oh ya selama kami di sana, kami dibantu Pak Dika dan Pak Wawan, yang turut bersama menyusun ittenary. Jika ada yang memerlukan info transportasi di sana, hubungi aku ya, nanti aku beri informasinya. Terima kasih Pak Dika dan Pak Wawan.

Salam semesta dan wisata Indonesia


Menyambut Pagi di Selong Belanak

“The ocean stirs the heart, inspires the imagination and brings eternal joy to the soul.” – Robert Wyland: Ocean Life Themed 12 Month Undated Planner

Lokasi ini sesungguhnya masuk daftar ittenary kami di hari pertama, dengan tujuan melihat matahari terbenam dan iringan kerbau pulang kandang, namun karena sesuatu dan lain hal terutama karena angin mulai kencang berhembus di sore hari pertama itu, maka kami membatalkan menuju Selong Belanak. Jadilah kami menyambut pagi terakhir di Lombok di sini.

Bersyukur rasa penasaran kami terobati, memaksa diri untuk bangun lebih awal, kami berempat menuju ke Pantai Selong Belanak.

Selong Belanak adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Desa ini sebagian besar penduduknya bersuku Sasak. Di desa ini terkenal dengan keindahan Pantai baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing. (Wikipedia)

Langit biru, pasir putih, angin sepoi berhembus, semburat sinar matahari pagi yang mulai nampak di balik awan mendung di belahan yang lain.

Dengan menggunakan angkutan mobil online, kami menuju Pantai Selong Belanak, jaraknya sekitar 21 kilometer dari hotel tempat kami menginap di Swiss Belcourt Penujak, Praya, Lombok, atau sekitar 30 menit perjalanan. Dalam kendaraan, kami harap-harap cemas, apakah cuaca akan bagus, dapatkah kami menikmati pantai ini karena kami melihat jalan basah habis diguyur hujan dan ada terpaan rintik hujan.

Tujuan kami memang Laut Biru Bar and Restaurant, jadi maps googling kami mengarah ke sana. Kendaraan berhenti di gang masuk menuju pantai dan kami mulai berjalan menyusuri pantai, yang menurutku cukup bersih dan tenang sekali. Ada beberapa pedagang di pinggiran pantai, termasuk Laut Biru BR, namun mereka memang masih belum buka, bahkan payung pantai mereka pun belum berkembang. Kami menikmati pantai sebebas-bebasnya, membuat beberapa foto dan bahkan video berulang-ulang, sembari menunggu Laut Biru BB yang baru akan dibuka pukul 08.00.

Aku lupa tidak sempat menanyakan kapan persisnya Laut Biru BB ini beroperasi, namun dari ulasan yang aku baca, Bar dan Restaurant ini sudah ada sejak tahun 2013. Kami dipersilakan duduk walau waktu masih menunjukkan pukul 08.00 kurang. Karena kami masih ingin menikmati sarapan di hotel dan juga dibatasi waktu untuk segera kembali ke hotel, kami memesan minuman hangat dalam poci, pancake dan roti (hot fresh ginger, toast and preserved and stacked pancake with homemade jam) Lumayan untuk mengisi dan menghangatkan perut kami di pagi itu.

Laut Biru Bar and Restaurant, adalah tempat kuliner paling ujung di pantai Selong Belanak untuk saat ini, didominasi warna putih dengan perabot kayu di bagian depan resto. Suasananya cukup nyaman dan pelayanannya juga baik, semoga bukan karena kami pelanggan pertama pagi itu ya. Pelayannya juga ramah dan sabar menjawab pertanyaan kami.

Sebenarnya kami ingin memesan pizza atau makanan lain, tapi karena masih pagi, yang tersedia hanya menu sarapan pagi saja. Semoga lain kali kami dapat berkunjung lagi kemari dengan waktu yang lebih leluasa, untuk menikmati matahari terbit dan terbenam dengan melihat sekawanan kerbau, berangkat dan pulang kandang.

Selain itu, di area resto ini, ada sebuah galeri kecil yang apik dan aku suka banget, menjual banyak pernak pernik, mulai dari asesoris, pakaian, kain tenun dan juga gerabah cantik. Sesungguhnya aku naksir dengan gerabah yang sebagian berwarna biru ini namun kebayang bagaimana harus membawanya ya.


Puisi : Tatapan dan Senyuman Perempuan Itu

sorot mata  tajam menghunjam,
simpan hasrat  misteri berambisi,
mata perempuan bagai  pedang,
sentuh jiwa dengan kilatan tajam.
berkerling seperti bayang malam

bibir merah tipis tersenyum sinis,
suara perlahan berujar dingin,
merah merekah ranum beracun,
sisakan luka di setiap hembusan.
ciptakan gelombang di lautan hati

tatapan mata dan bibir berpadu,
tembus dinding jiwa terdalam
sembunyikan aura  menusuk kalbu
di balik rahasia cantik menawan,
kelabu kegusaran dalam meronta


Poem : Kebaya, Kekuatan Jiwa Wanita Berbudaya

Kebaya tak hanya sekadar kain,
Selimuti tubuh limpah anggun,
Dalam tiap jahitan tersirat kekuatan,
Jiwa wanita berbudaya.

Setiap untai benang tersulam
Kisahkan sejarah, warisan abadi,
Tak sekadar busana, tapi simbol,
Kelembutan, keteguhan, kebijaksanaan

Dalam setiap lipatan dan hiasan renda,
Terhampar cerita perjuangan dan cinta
Raga terbalut sempurna, muliakan jiwa.

Wanita berkebaya, tegak berdiri,
Bermartabat, berani hadapi dunia,
Usung nilai luhur, tradisi tak terganti,
Penjaga budaya, sepanjang masa.

Kebaya, lambang keanggunan nyata,
Hiasi hari penuh pesona,
Ajarkan tentang cinta dan kesetiaan,
Pada akar budaya tak lekang waktu.

Junjung kebaya, lebih dari penutup raga
Manifestasi kekuatan jiwa,
Wanita berbudaya, dalam kelembutannya,
Tersimpan tegar, cerdas, dan cinta berkarisma
Sejatinya berkain juga berjiwa wanita berbudaya

24.07.24 Selamat Hari Kebaya Nasional


“Brave Girl” from Audrey Hepburn

Brave Girl,


“The beauty of a woman is not in the clothes she wears, the figure that she carries, or the way she combs her hair.

The beauty of a woman is seen in her eyes, because that is the doorway to her heart, the place where love resides.

True beauty in a woman is reflected in her soul. It’s the caring that she lovingly gives, the passion that she shows & the beauty of a woman only grows with passing years.”


Audrey Hepburn


Analisis Puisi “Cermin Tak Bertopeng” dari ChatGPT

Puisi “Cermin Tak Bertopeng” di postingan sebelumnya, kucoba iseng analisis melalui Chat GPT dan berikut hasil analisisnya. Just for fun ya. Puisi ini mengangkat tema kejujuran dan introspeksi diri melalui metafora cermin yang tak bertopeng. Berikut adalah analisis dari setiap bait puisi:

Bait Pertama

Tak bertopeng, sapa jujur Ungkap semua, tanpa dusta, Pantulan setia, apa adanya, Pantulkan wajah, jiwa dan rasa.

Pada bait pertama, penyair mengawali dengan menggambarkan cermin sebagai entitas yang jujur, tanpa topeng atau kepalsuan. Cermin di sini diibaratkan sebagai sesuatu yang mengungkapkan semua kebenaran tanpa menutupi apa pun. Pantulan yang diberikan cermin adalah setia dan menggambarkan apa adanya, tidak hanya fisik (wajah) tetapi juga perasaan dan jiwa seseorang.

Bait Kedua

Kulihat bayang diri, Tanpa tabir, tanpa peri, Garis lelah, tawa, dan sedih, Terpampang, terselisih.

Bait kedua menggambarkan pengalaman pribadi ketika melihat bayangan diri di cermin. Penyair menekankan bahwa tidak ada tirai atau penutup yang bisa menyembunyikan keadaan sebenarnya. Garis lelah, tawa, dan sedih semua terlihat jelas, menunjukkan bahwa cermin memaparkan segala emosi dan kondisi tanpa filter.

Bait Ketiga

Tak bertopeng, tiada pura, Tunjukkan luka, juga tawa, Kuak rahasia, dalam sorot mata, Buka tirai, belah fakta.

Bait ketiga mempertegas bahwa cermin tidak mengenal kepalsuan atau kepura-puraan. Cermin menunjukkan baik luka maupun kebahagiaan dengan jujur. Mata menjadi jendela yang mengungkapkan rahasia terdalam, membuka tirai yang menyembunyikan fakta sebenarnya dari kehidupan seseorang.

Bait Keempat

Tiada topeng, tiada kepalsuan, Bicara kejujuran, lihat hati, Pndang jiwa, sadarkan diri tentang makna. Pantulan nyata, tak palsu, tak direka, Sahabat setia, jujur pada diri.

Bait keempat menekankan lagi ketiadaan topeng dan kepalsuan pada cermin. Cermin berbicara tentang kejujuran, mengajak kita untuk melihat hati dan jiwa kita sendiri. Melalui pantulan yang nyata dan tak direkayasa, cermin menjadi sahabat setia yang mengingatkan kita untuk jujur pada diri sendiri dan menyadari makna kehidupan.

Bait Kelima (Penutup)

Hai Cermin, tak bertopengkah aku?

Bait penutup ini merupakan sebuah pertanyaan retoris yang diajukan oleh penyair kepada cermin. Pertanyaan ini mencerminkan perenungan diri dan introspeksi yang mendalam. Penyair mempertanyakan apakah dirinya juga sudah tak bertopeng seperti cermin yang dihadapinya, menunjukkan upaya untuk mencapai kejujuran dan ketulusan dalam hidupnya.

Kesimpulan

Puisi “Cermin Tak Bertopeng” menggambarkan cermin sebagai simbol kejujuran yang absolut. Melalui pantulan cermin, kita diajak untuk melihat dan menerima diri kita apa adanya, dengan segala kelemahan dan kekuatannya. Pertanyaan di akhir puisi mengajak pembaca untuk merenungkan sejauh mana kita telah hidup tanpa topeng, jujur pada diri sendiri dan orang lain. Puisi ini mengandung pesan moral untuk selalu bersikap jujur dan menerima diri kita apa adanya.

4o


Cermin Tak Bertopeng

Cermin itu….
Tak bertopeng, sapa jujur
Ungkap semua, tanpa dusta,
Pantulan setia, apa adanya,
Pantulkan wajah, jiwa dan rasa.

Kulihat bayang diri,
Tanpa tabir, tanpa peri,
Garis lelah, tawa, dan sedih,
Terpampang, terselisih.

Tak bertopeng, tiada pura,
Tunjukkan luka, juga tawa,
Kuak rahasia, dalam sorot mata,
Buka tirai, belah fakta.

Tiada topeng, tiada kepalsuan,
Bicara kejujuran, lihat hati,
Pandang jiwa, sadar makna diri
Nyata, tak palsu, tak  direka,
Sahabat setia, jujur pada diri.

Hai Cermin, tak bertopengkah aku?

Puisi “Cermin Tak Bertopeng” ini kucoba iseng analisis melalui Chat GPT dan berikut hasil analisisnya. Just for fun ya. Hasilnya ada di postingan setelah ini, berjudul Analisis Puisi “Cermin Tak Bertopeng” dari ChatGPT


Trekking Sentul bersama Cakar Langit Indonesia

Sabtu, 15 Juni 2024, bersama beberapa orang teman, tanpa banyak rencana, kami akhirnya berangkat untuk menikmati Trekking Sentul yang dikoordinir Cakar Langit Indonesia. Kami yang semula berencana berangkat 6 orang,menjadi 5 orang karena salah seorang teman berhalangan.

Kami mengambil Paket ini, Rute B Curug Kencana. Oh ya, dari kami berlima, 3 diantaranya sudah berusia 60 tahun keatas, salut kepada mereka dengan semangatnya untuk mencapai tempat tujuan.

Tiba di titik kumpul dengan arahan dari dua orang tour guide, kami langsung mendapat arahan dan sedikit pemanasan. Sekitar pukul 08.00 kami mulai menyusuri jalan naik turun berbatuan, dibawah rindangnya pepohonan dengan cuaca yang menyejukkan, habis disiram hujan.

Melewati beberapa rumah penduduk, tampak di kiri kanan, ada yang berjualan hasil kebun seperti pisang dan ubi. Ada juga pelataran rumah penduduk yang menjemur hasil kebun biji kopi, yang akan dijual pada pengepul, menurut tour guide kami, sebagai hasil kebun penduduk Desa Depok Wangun.

Menuju Curug Kencana, kami tiba di beberapa curug kecil dan berfoto di sana, sebelumnya akhirnya tiba di tujuan setelah melewati hutan pohon bambu yang sangat rindang.

Di setiap curug yang kami singgahi, ada warung-warung yang selain menyediakan makanan hangat seperti mie rebus, gorangan seperti bakwan, tahu dan pisang yang digoreng dadakan dan minuman hangat, juga menjual pakaian seperti kaos dan celana, sandal dan sewa alas duduk.

Setelah tiba di curug terakhir dan puas bermain air, kami pun menikmati semangkuk mie dan teh hangat, untuk menghilangkan dingin dan sejuknya hawa pagi itu.

Kami kembali melalui jalan yang sama, sekitar pukul 11, tentu perjalanan pulang terasa lebih cepat dari pada saat berangkat. Tiba di tempat berangkat, kami bergantian membersihkan diri, berganti baju dan sepatu, dan bersiap kembali.

Terima kasih Cakar Langit, pengalaman yang menyenangkan buat kami semua, didampingi dua tour guide yang sabar dan baik hati, menemani dan menunggu kami, tanpa terburu-buru dan membuat pengalaman trekking ini jadi nyaman dan berkesan. Berikutnya kami akan mencoba trekking dengan jalur atau paket yang berbeda.

Buat teman-teman yang belum penah ikut trekking di Sentul, coba hubungi akun Cakar Langit di Instangram @trekking_sentul, ini akan jadi pengalaman yang berkesan, menikmati keindahan dan kesejukan alam terbuka, baik buat diri sendiri, bersama keluarga atau teman.