Masjid Agung Di Kota Seribu Kelenteng

Dalam tiap kunjungan seperti di Singkawang, aku menyempatkan berjalan kaki pagi hari. Apalagi aku hanya menginap semalam di kota Seribu Kelenteng.

Di tengah kota terdapat Masjid di Jalan Merdeka No 21, Tengah, Pasiran, Singkawang. Mesjid berdiri tahun 1885 ini direnovasi karena kebakaran 1927 dan sanggup menampung jamaah sebanyak 1.000 orang.

Sebagai Masjid tertua, masjid ini juga sebagai saksi bisu kerukunan umat beragama di Singkawang yang menjunjung tinggi keragaman agama dan budaya dari tiga akar suku budaya yaitu Tionghoa, Dayak dan Melayu.

Masjid terletak diantara Kantor Walikota dan Taman Gayung Bersambut. Uniknya Masjid terletak dekat Vihara Tri Dharma Bumi Raya Singkawang.

“Foto ini diikutsertakan dalam Lomba Foto Blog The Ordinary Trainer”


Rindu Tengkuyung

Ada yang tertinggal di catatan perjalanan yang lalu dan itu sesuatu yang sederhana tapi sedap rasanya, itulah tengkuyung. Saat kami berada di Desa Polongan, bu Kades dan para ibu disana memasak banyak makanan buat kami, ada sayur rebung, bawang hutan, ikan teri, cabe besar isi dan yang baru aku temui dan aku kenal adalah tengkuyung. Ibu-ibu disini memasak satu jenis bahan menjadi satu jenis sayuran, dengan bahan bumbu yang kurang lebih sama seperti sayur lodeh, biasanya tenkuyung juga dicampurkan bersama sayuran lainnya, tapi kali ini tenkuyung disajikan buat kami secara terpisah.

Terus terang, aku belum pernah makan tengkuyung, tapi aku selalu berpendapat, selama itu bukan sesuatu yang terlalu ekstrim untuk dimakan, apa salahnya mencoba, toh orang lain tampak sangat menikmati (lirik kiri kanan, ada yang sudah mulai ‘berbunyi-bunyi’) Jadi, aku ambil beberapa buah (ekor – ga ada ekornya sih) tengkuyung.

Tengkuyung sendiri adalah sejenis siput air yang banyak terdapat di sungai di perairan Kalimantan. Rasanya, hm lebih lembut dari kerang dara, seperti sumsum sapi dan karena dimasak dengan bumbu dan rempah, maka rasanya menjadi enak – enak – enak sekali 😀 tapi sayangnya….bagaimana cara memakannya itulah yang jadi masalah, caranya ? maap bukan cara makannya tapi cara mengeluarkan si tengkuyung dari cangkangnya dan langsung meluncur ke mulut itulah yang jadi masalah dan tanpa mengurangi rasa hormat kepada ibu Kepala Desa yang sudah susah-susah menyiapkannya, cara mengeluarkan tengkuyung itu – hm engga gue banget getu lhoh, seperti kata anak-anak sekarang, lhah emang kenapa rupanya ?

lauk pauk yang disajikan untuk kami, semangkuk tengkuyung ada di urutan ke-4

lauk cabe besar isi sayuran, biji cabe sudah dikeluarkan

sepiring nasi lengkap dengan tengkuyung dan aneka sayur khas Polongan
http://i1247.photobucket.com/albums/gg634/dlaraswatih/tk3.jpg

Bayangkanlah bentuk siput, bentuknya lonjong dan berlubang di bagian bawah cangkangnya. Permukaan cangkang tengkuyung ada yang rata (licin seperti kerang hijau) ada yang kasar (seperti kerang dara). Cara mengeluarkan isinya adalah dengan meletakkan tengkuyung di ujung bibir mulut dan menyedotnya sampai berbunyi, maka isi cangkang akan meluncur kedalam mulut dan sedap terasa bercampur dengan nasi dan sayur rebung dan lauk yang lain. Mudah bukan ? Betul, mudah, tapi masalah makan dengan berbunyi inilah yang jadi masalah, namun karena rasanya enak, aku sempat menikmati beberapa buah tengkuyung untuk dimakan bersama lauk pauk yang lain. Dalam tata cara adat Jawa, makan dengan mengeluarkan bunyi atau bersuara (mengecap atau bersendawa) merupakan pantangan, apalagi jika dilakukan dalam jamuan makan bersama seperti saat itu.

Ingin nambah lagi, tapi bagaimana caranya ya mengeluarkan isi tanpa bunyi-bunyian ? 🙂


Mereka Ada Di Sini (Juga)

Aku datang agak terlambat ke kantor siang ini karena ada keperluan mengurus kepindahan domisili Ibu. Turun dari kendaraan (ojek maksudnya), aku melihat ada seorang anak berpakaian putih merah sedang duduk di tepi parkiran mobil sedang menghitung uang, sementara ada sebuah baskom di sebelahnya. Sesudah membayar ongkos ojek, aku menghampiri anak itu, karena mengenakan baju seragam sekolah, maka aku pun bertanya “kamu ga pergi sekolah ?”,
ia menjawab sambil mengangkat baskomnya “sekolah bu” , anak itu mengalihkan pandangannya
“kok belum berangkat, kamu sekolah dimana ?”
tanyaku,
“masuk siang bu, dekat, di Muncul” ia mulai melangkah pergi
aku penasaran dengan bawaannya “kamu bawa apa ?”,
“jagung rebus bu” katanya sambil berjalan pergi dan tidak menawarkan dagangannya padaku.

Kejadian ini berlangsung di pelataran parkir kantorku, yang terletak di sebuah kota yang cukup besar, tidak jauh dari Jakarta, namun ternyata masih ada (mungkin juga) masih banyak anak usia sekolah yang (terpaksa) bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya. Masih bagus ia mempunyai kesempatan untuk bersekolah, bagaimana dengan yang tidak punya kemampuan untuk itu, bukan hanya untuk menyekolahkan tapi untuk kehidupan sehari-hari mereka masih sulit, sehingga anak-anak usia sekolah ini harus bekerja demi keluarganya.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), di 2011 tercatat dapat 878,1 ribu anak usia 10-14 tahun yang bekerja dan yang mencari pekerjaan sebanyak 174,5 ribu anak. Jumlah anak usia 10-14 tahun menurut sensus penduduk di 2010 adalah sebesar 22 juta. Ini berarti jumlah anak Indonesia berusia 10-14 tahun yang bekerja dan sedang mencari pekerjaan naik hampir 5%. Jika dibandingkan 2010, terjadi peningkatan lebih dari 10%. Jumlah ini belum termasuk anak usia 5-9 tahun, sekitar 628,9 ribu yang dijumpai dalam survei pekerja anak oleh BPS di 2009.

Jadi, siapa yang peduli pada Anak Indonesia ? Saya ? Kamu ? Dia ? atau Mereka ? Lalu apa yang bisa kita lakukan buat Anak-anak ini ? Ini tidak terjadi di luar sana, tidak hanya terjadi sampai di luar pulau Jawa tapi ini terjadi tidak jauh dari lingkungan kantor ku, yang notabene berada di lingkungan yang mapan. Mari kita berbuat sesuatu untuk anak Indonesia, berikan kail, jangan ikannya.


Anak, Titipan Tuhan

Anak adalah titipan Tuhan, dimana mereka dititipkan tidak ada seorang anakpun yang dapat memilih, apakah mereka bisa menjadi anak bintang film, anak politikus, anak guru atau anak (maaf) penjahat sekalipun. Anak yang dititipkan Tuhan kepada siapapun orang tua di dunia ini, layak menjadi perhatian setiap manusia yang punya kemampuan dan kepedulian untuk melakukan hal tersebut.

Lihat wajah mereka, tegakah kita membiarkan mereka tidak memperoleh pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang layak ? Bantulah mereka dengan cara yang benar, sehingga apa yang kita lakukan dapat bermanfaat bukan hanya pada satu keluarga, tapi memungkinkan untuk satu wilayah, dimana ada ratusan anak bertumbuh disana.

Anak (Khalil Gibran)

Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.

Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.

Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.
Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.


Hekeng atau Lap Cheong, Siapa yang Mau ?

Sebelum menutup hari ini, satu tulisan lagi akan aku buat, tapi maap ya ini edisi non halal, yaitu mengenai Lap cheong (susis babi) dan Hekeng…yang tidak mau baca, bisa skip halaman ini, tapi yang mau baca, silakan meleleh menahan lapar 😀

Hekeng adalah makanan khas Pontianak, terbuat dari daging udang dan daging babi yang telah dihaluskan kemudian diberi bumbu dan dibungkus dengan lembaran kembang tahu kering, yang biasanya setelah dikukus, dapat disimpan terlebih dahulu didalam lemari es dan dipotong-dipotong jika ingin digoreng untuk disajikan. Hekeng, biasa bisa disebut juga dengan Ngohiong, yang terkenal juga ada di Bogor, Jawa Barat. Sedangkan Lap Cheong atau Lap Chong adalah daging sosis babi kering, yang biasanya berbalut warna merah. Setelah dipotong tipis, masukan dalam kocokan telur, langsung goreng dalam minyak panas.

DSCN6926

Aku membeli Hekeng dan Lap Cheong di Toko Along Jalan Gajah Mada. Satu plastik Hekeng seharga Rp 50.000,- terdiri dari 5 potong hekeng ukuran panjang, sedangkan Lap Cheong per kilogram seharga Rp 80.000,- bisa terdiri 10-12 potong tergantung besarnya ukuran tiap sosis tersebut.

Baik Hekeng maupun Lap Cheong sangat enak bila dinikmati dengan nasi panas dan sambal terasi ebi, sekalipun tanpa lauk yang lain…..hmmm mantabs kalipun, ada yang mau ?


Oleh-oleh Khas Pontianak

Kalimantan Barat, Pontianak dan Singkawang khususnya merupakan tempat yang terkenal sebagai surga makanan. Sebagai suatu daerah yang terdiri dari 3 suku bangsa dan budaya yang sangat kental peradabannya, juga membuat cita rasa makanan disana menjadi begitu khas dan bervariasi. Bukan hal yang sulit, selama kantong masih tebal (baca : dompet berisi uang 🙂 ) maka banyaaaak sekali makanan ataupun minuman yang dapat menjadi alternatif untuk dibawa pulang, mulai dari makanan basah sampai yang kering ada, mau yang segar sampai yang sudah diawetkan juga tersedia.

Dua buah tempat yang kami datangi, selama kami berada di Pontianak, adalah pusat oleh-oleh yang ada di Jalan Patimura dan di Jalan Gajah Mada.

IMG01074-20120901-2043

DSCN6871

DSCN6874

http://i1247.photobucket.com/albums/gg634/dlaraswatih/ke4/DSCN6893-1.jpg

Dikedua tempat ini, jenis makanan minuman ataupun jajanan yang dijual kurang lebih sama. Disana tersedia aneka macam dodol seperti dodol durian, dodol aneka buah dan dodol lidah buaya. Kerupuk juga tersedia dari krupuk mentah atau kering sampai krupuk yang mentah.Makanan kering terbuat dari talas, kacang ataupun berupa kripik kentang. Demikian juga hasil laut seperti cumi kering, udang kering berbagai ukuran, dendeng udang, dendeng rusa, juga dendeng babi. Sirup atau selai buah juga tersedia disana. Bahkan, minyak dari buah jeruk khasi Pontianak tersedia juga. Di Toko buah AHUI juga menjual buah segar, seperti buah jeruk, kalau tidak berat tentu ingin membawanya.

Di sebelah toko buah AHUI, terdapat toko yang menjual aneka kerajinan tangan seperti souvenir, kaos, pakaian jadi, anyaman, manik-manik, kain batik dan kain songket khas Pontianak, yang juga dapat menjadi alternatif oleh-oleh untuk kerabat dan keluarga di rumah.

Satu toko yang berbeda dari toko yang ada, adalah Toko ALONG di Jalan Gajah Mada, dimana mereka menjual makanan non halal, lap chiong dan hekeng, mengenai yang dua ini akan aku ceritakan kemudian.


Akhirnya….Tiba di Pontianak !!

Akhirnya, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam dari Sei Pinyuh, kendaraan kami mulai memasuki kota Pontianak. Tapi kami tidak langsung menuju penginapan, tapi kami pergi ke tempat oleh-oleh di Jalan Patimura dan makan malam di Jalan Gajah Mada. Setelah perut kami kenyang, kami menuju hotel untuk check in dan beristirahat.

Hotel kami adalah Hotel Peony, berlantai 4 dan tidak terlalu besar tapi mempunyai fasilitas yang baik serta terletak di pusat keramaian yaitu jalan Gajah Mada. Kamar kami ada di lantai 3 dan saling berdekatan. Setelah mandi, kami masih menyempatkan diri menyeberang hotel untuk menikmati duren singkawang di kota Pontianak, seharga Rp 20.000,- per buah, sayang ya kami tidak sempat menikmati duren di tempat asalnya di Singkawang.

DSCN6905

DSCN6916

DSCN6917

DSCN6879

DSCN6882-1

Malam itu aku agak kesulitan tidur, padahal aku sudah cukup lelah dalam kegiatan dan perjalanan hari ini, sementara temanku sudah pulas, ntah karena secangkir kopi di Sei Pinyuh tadi atau karena duren yang baru kami nikmati itu ? Puji Tuhan, aku sembuh keesokan paginya, setelah sarapan di lantai 5 Hotel Peony, kami pergi berjalan-jalan ke dua buah toko dekat hotel, untuk mencari hekeng dan lapchiong …. alamaak 😀


Kedai Kopi Sei Pinyuh

Pantai Pasir Panjang telah kami tinggalkan, perjalanan kami lanjutkan kembali, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 dan tujuan kami adalah menuju ke Pontianak. Lalu lintas antara Singkawang menuju Pontianak maupun sebaliknya sangat padat, bang Nevi yang mengemudikan kendaraan, melaju dengan kecepatan antara 40 sampai 60 km/jam. Sekali-kali aku tertidur dan badan mulai terasa lelah, waduh kenapa belum sampai juga ya, mana perut juga mulai terasa lapar.

Puji Tuhan, kendaraan didepan, dimana pimpinan rombongan, bu Inneke didalamnya berbelok ke salah satu dari deretan Kedai Kopi di Sei (Sungai) Pinyuh, waktu menunjukkan pukul 18.10 yang berarti oh hampir 3 jam kita berada didalam mobil yaa….pantas badan ini terasa kaku semua ya ?

Kami berhenti sejenak di Kedai Kopi IDOLA Sei Pinyuh, di daerah ini memang banyak terdapat kedai kopi karena jalan ini merupakan jalur utama yang menghubungkan kota Pontianak sampai ke perbatasan Malaysia, sehingga memang menjadi jalur yang ramai dilalui kendaraan bermotor, baik orang yang mau bekerja ke ladang, ke kantor ataupun pengemudi truk yang membawa angkutan barang.

IMG01072-20120901-1824

dengan waktu yang tidak terlalu lama, aku memesan secangkir kopi hitam, menikmati sepotong pastel dan pie susu, hanya dengan selembar uang lima ribuan

IMG01071-20120901-1810

singgahlah kalau abang lewat, begitu kira-kira pemilik kedai di sepanjang jalur ini mengajak para pelanggannya untuk datang sekedar menikmati secangkir kopi