Nuansa Alam Ubud di ARMA

Agung Rai Museum of Art (ARMA) adalah Museum Seni yang didirikan Agung Rai di wilayah Pengosekan, Ubud, Bali. Museum ini selesai didirikan pada 27 Desember 1989 dan dibuka secara resmi pada tanggal 9 Juni 1996 oleh Prof Dr Ing Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada masa itu

Ada banyak Museum Seni di Bali, lalu mengapa memilih ARMA untuk dikunjungi ? ARMA dibangun di lokasi dengan kontur tanah yang naik turun dan memiliki nuansa alam Ubud. Bukan hanya lukisan dan patung seni bisa dinikmati disana, tapi juga landskap kebun dan tamannya yang tertata rapi.

Setelah membayar tiket masuk Museum seharga Rp 50.000,- (Lima puluh ribu rupiah), aku mulai merasakan hawa yang berbeda, suasana yang nyaman, suara burung-burung memecah keheningan siang itu, kebun yang begitu luas dengan tanaman anggrek yang ditempel pada pohon-pohon yang aku lalui bersama suami berdua saja.

Angin semilir bertiup, sama seperti beberapa Museum Seni yang sebelumnya aku kunjungi, tempat ini begitu tenang dan sepi padahal banyak orang datang tapi sepertinya tak seorangpun ingin mengganggu ketenangan satu sama lain dalam menikmati alam Ubud di ARMA ini. Kami mulai memasuki satu per satu bangunan yang ada untuk melihat lukisan yang dipamerkan di ARMA.

Museum Arma Ubud, memiliki lukisan dari berbagai aliran seni lukis yaitu Lukisan Kamasan, Lukisan Pre War, Lukisan dari orang Eropa yang tinggal di Bali dan Lukisan dengan aliran modern traditional. Yang dapat dilihat beberapa di link berikut ini.

Puas melihat lukisan, kami berjalan memasuki wilayah Resort yang resmi didirikan pada tahun 1982 dengan 15 kamar dengan nama “Puri Indah” yang berarti Indah Palace. Pada tahun 1995 Puri Indah berubah menjadi “Kokokan Hotel”. Pada tahun 2002 berubah menjadi “ARMA Resort” dengan tambahan 8 buah vila mewah. Total akomodasi menjadi 23 unit.

ARMA resort dibangun sebagai penggalangan dana untuk museum. Oleh karena itu kontribusi Anda dan mendukung sangat dihargai untuk program pelestarian seni dan budaya di bawah ARMA Foundation.

Hamparan padi di sawah yang masih menjadi bagian dari ARMA ikut menjadi perhatian kami, demikian juga restoran yang terletak di tepi sawah dengan pemandangan menghadap kesana. Puas menikmati lukisan dan berkeliling didalam ARMA, kami pun beranjak pulang. Namun penjaga tiket masuk mengingatkan kami bahwa tiket yang sudah dibeli tadi dapat ditukar dengan secangkir kopi atau teh. Waah siapa yang mampu menolak ?

Kami berdua melangkah kedalam Cafe ARMA menikmati secangkir kopi Bali yang panas menghilangkan penat dan seporsi tahu isi untuk cemilan menjelang makan siang.

Berkunjunglah kesana, kalaupun anda tidak menyukai lukisan atau barang seni, kita dapat menikmati suasana alam Ubud yang begitu tenang dan nyaman.


Ketagihan Olahan Ikan Mak Beng di Tepi Pantai Sanur

Panas yang terik dan menyengat di hari Jumat itu, pak Gusti yang mengantar kami membawa kami ke tempat makan dengan olahan ikan karena sehari sebelumnya kami sudah menyantap masakan bu Oka di Ubud. Tempatnya juga tepat tidak jauh dari tepian Pantai Sanur di Jalan Hang Tuah Raya. Sebelum menuju kesana, ia sudah berpesan bahwa kita mesti bersabar menunggu meja dan harus bisa menahan lapar melihat orang yang sedang makan.

Agak penasaran juga mendengarnya, makanan macam apa ini bisa membuat orang menunggu dan antri. Eh ternyata benar juga, berbelok masuk ke Jalan Hang Tuah, mobil sudah mulai berjalan melambat karena panjangnya antrian, akhirnya kami berdua turun sebelum mobil mendapat tempat parkir.

Betul ternyata warung dengan papan nama “Warung Mak Beng – Sambal Mak Beng” telah dipenuhi pengunjung padahal hari masih menunjukkan pukul 11 siang. Warung nya kecil, hanya ada 6 sampai 7 meja panjang dari dalam sampai keluar. Di kursi panjang, orang bisa duduk berhimpitan dan kalau boleh dibilang, walau tidak perlu makan terburu-buru tapi tidak bisa kita makan sambil ngobrol santai karena di belakang punggung kita sudah banyak orang antri pada jam-jam makan seperti ini.

Warung ini didirikan tahun 1941 oleh Ni Ketut Tjuki yang biasa dikenal dengan nama “Mak Beng”. Menu yang ditawarkan hanya 1 macam, yang terdiri dari ikan laut goreng dengan sambalnya, sup kepala ikan kuah pedas plus satu porsi nasi. Karena hanya 1 macam menu, maka pelayan hanya menanyakan “berapa orang yang makan dan minum apa?” maka dengan sigap, pelayan akan mengantarkan pesanan kita. Ikan yang digunakan biasanya ikan barakuda, ikan kakap merah dan berbagai jenis ikan laut besar lainnya, yang baru ditangkap hari itu, membuat olahan ikan terasa segar dan manis.

Satu porsinya seharga Rp 28.000,- ikan lautnya digoreng kering dan sup nya kaya rempah sehingga ikan tidak berbau saat dimakan, pedas, asam, segar dan panas, paling cocok jika berpasangan dengan segelas es jeruk segar

nikmat bukan ? hm bakal ketagihan datang kesana lagi, yuuk dicoba 😉


Pasar Seni Guwang, Alternatif Belanja di Bali

Di Bali, sebagai daerah wisata yang terkenal di manca negara, baik oleh wisatawan domestik maupun wisatawan asing, maka sudah sewajarnya ada banyak pasar seni atau Art Market yang tersebar di beberapa tempat. Mulai dari yang berbentuk tradisional seperti umumnya pasar maupun sudah berupa toko ataupun galeri.

Salah satunya adalah Pasar Guwang di desa Sukawati, Gianyar, Bali, sebagai salah satu alternatif pengurai kepadatan pengunjung Pasar Sukawati, maka Pasar Guwang yang diresmikan pada tahun 2001 diharapkan dapat menjadi pasar yang mampu memuaskan kebutuhan pengunjung yang berminat untuk membeli aneka barang khas dari Bali.

Pasar ini dibuka dari pukul 8 pagi sampai dengan jam 17 setiap harinya. Menjual berbagai macam barang khas Bali mulai dari pakaian anak sampai dewasa, kaos Barong, daster, tenun dan batik Bali, salak, jajanan khas Bali, aneka kerajinan dari kayu, juga lukisan. Mengenai harga, layaknya pasar, harga ditentukan dari tawar menawar antara penjual dan pembeli. Pasar Guwang punya area parkir yang lebih luas, yang selama ini hampir di setiap pasar di Bali mempunyai masalah yang sama yaitu perparkiran. Selain itu juga ada tempat makan dan mesin ATM.

Karena kali ini kami memang ingin mencari lukisan, maka kami berkeliling didalam Pasar untuk mencari lukisan, namun sayang kami belum menemukan lukisan yang pas di hati dan di kantong walau banyak sekali lukisan dan karya seni yang dipamerkan disana.

Selamat berkunjung dan menjelajahi Pasar Guwang Sukawati.


Monkey Forest Ubud – Mandala Wisata Wenara Wana

Monkey Forest atau Hutan Kera di Padangtegal, Ubud adalah cagar alam diatas tanah seluas 27 hektar yang melindungi sekitar 200 an kera jenis ekor panjang. Tempat ini dikenal juga dengan nama Mandala Wisata Wenara Wana.

Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp 35.000,- per orang, aku memasuki hutan yang dipenuhi sekitar 115 jenis pohon besar.

Jika ingin memberi makanan pada kera yang ada disana, pengunjung dapat membeli pisang atau ubi yang ada didalam. Namun mesti berhati-hati saat memberikan pada kera tersebut, jika mengalami masalah dapat memanggil pemandu yang banyak berada didalam hutan.

Di dalam Ubud Monkey Forest terdapat Pura Dalem Agung Padangtegal serta Pura Madia Mandala, di mana terdapat sebuah kolam suci dan candi lainnya yang digunakan untuk upacara kremasi.

Ulah lucu para kera

Cagar alam yang dimiliki penduduk Desa Padangtegal ini, dikelola oleh Yayasan Wenara Wana Padangtegal yang wajib menjaga kesakralan cagar alam ini dan juga mempromosikannya sebagai obyek wisata di Ubud.