Hari itu masih pagi, suasana sangat hening, suara azan berkumandang dimana-mana, maklum pagi ini adalah pagi lebaran hari pertama di tahun 2008. Umat muslim, laki-laki dan perempuan, tua muda, besar kecil, berduyun-duyun berjalan untuk melaksanakan Sholat Ied. Kami yang semalam sudah menginap di Bandung, merencanakan untuk melanjutkan perjalanan menuju sebuah tempat wisata yang amat indah di Bandung Selatan, bernama Kawah Putih Ciwidey. Sinar matahari yang cerah menyertai keberangkatan kami meninggalkan Bandung, menuju ke daerah selatan. Hawa panasnya menyegarkan. Langit bersih biru dan awan putih, sangat menyejukkan mata kami. Namun, Jalan Kopo yang biasanya macet saat itu cukup sepi, mungkin karena bertepatan dengan hari pertama Lebaran. Ini membuat perjalanan kami ke bagian selatan Kabupaten Bandung tidak terlalu panjang. Cukup satu setengah jam saja kami sudah sampai di Desa Pasirjambu, sama sekali terbebas dari kemacetan yang identik dengan Lebaran, walaupun banyak jalan yang ditutup karena terpakai untuk sholat Ied.
Jalan menuju daerah selatan Bandung cukup dipelihara oleh pemerintah setempat. Jarang kami temukan bagian jalan yang rusak parah. Di sepanjang jalan itu, hamparan sawah dan pepohonan tinggi yang rindang di kiri kanan kami nampak seperti ribuan gradasi warna hijau yang sedang membanjiri tanah. Gunung-gunung terlihat jelas di kejauhan, memutari batas jarak pandang kami. Anak-anak nampak tenang di tempat duduknya masing-masing, mungkin masih mengantuk karena kami memang mengatur supaya tidak terlalu panas dalam perjalanan. Mungkin juga, mereka sedang menikmati pemandangan yang jarang mereka nikmati di ibukota.
Desa Pasirjambu berjarak sekitar 10 kilometer dari perbatasan Kotamadya Bandung bagian selatan (daerah Soreang). Di sini jalannya terbagi menjadi dua jalur utama: satu menuju Ciwidey yang berujung di Situ Patenggang, satu lagi menuju Gambung yang berlanjut ke Pangalengan. Kami memilih jalur ke arah Situ Patenggang. Pertama-tama tujuan kami adalah mampir ke tempat kami menginap, yaitu di Kampung Pago untuk mengkorfimasi booking yang kami lakukan via telpon sebelum berangkat ke Bandung. Setelah itu perjalanan kami lanjutkan ke Ciwidey.
Kawah Putih, Mulut Bumi yang Sedang Menguap
Objek wisata pertama yang kami kunjungi adalah Kawah Putih, yang terletak di lereng Gunung Patuha pada ketinggian sekitar 2000 meter. Jika melalui jalur Ciwidey, Kawah Putih jelas tidak mungkin terlewatkan karena ada petunjuk besar dari batu yang berrtuliskan “Objek Wisata Kawah Putih” tepat di tepi jalan masuknya.
Saya pribadi sangat terkesan dengan pemerintah setempat dalam hal pemeliharaan tempat ini. Ada petugas jaga di gerbang masuk yang terawat baik. Keseriusan pemerintah setempat tampak pada kondisi jalan masuk menuju situs kawah. Dibangun menembus hutan yang sangat rimbun pepohonannya, jalanan yang sangat menanjak ini memberikan perjalanan yang mulus dari mulai gerbang masuk hingga ke situs kawah.
Tempat parkir di situs kawah, meskipun berbatu-batu, sangat luas dan cukup bersih. Ada warung-warung yang menyediakan makanan dan minuman panas untuk melawan udara ‘sejuk’ yang cukup membuat sebagian pengunjung gemetar kedinginan. Saat itu Kawah Putih cukup banyak pengunjungnya, sebagian besar datang dari Bandung dan Jakarta.
Dari tempat parkir sampai ke situs kawah, dibangun sebuah jalan berundak-undak yang panjangnya kurang dari 300 meter. Di sampingnya ada beberapa warung yang menjual baju hangat dan baju-baju wisata. Jalan ini membawa kami ke suatu dataran yang dibuat seperti taman, dimana ada orang-orang yang berjualan jagung, direbus dan dibakar. Dari taman itu kami menyusuri jalan lain yang mengarah langsung ke kawah.
Betapa terkejutnya kami melihat pemandangan menakjubkan di depan mata seketika itu juga. Kawah Putih nampak seperti sebuah mulut menganga: seolah-olah bumi sedang menguap. Bau sulfur hanya terasa sedikit menggantung di udara. Kabut tipis berwarna putih muncul dari permukaan air kawah yang berwarna hijau apel, melayang ke atas, terkadang mengaburkan pemandangan ngarai raksasa di belakangnya. Di mana-mana terdapat banyak sekali bukit kecil yang tertutup pasir vulkanik yang putih keabuan. Paduan antara warna hijau tua dari pepohonan dengan warna putih abu vulkanik ini sungguh amat dahsyat.
Tepat di perbatasan antara mulut bumi yang berasap dengan tanah berbukit-bukit tempat kami berada terdapat lumpur hijau yang seolah hidup. Beberapa pengunjung yang berani menjejakkan kaki ke atasnya, sempat terisap masuk. Ternyata air yang ada di tepian tidak panas seperti yang diduga sebelumnya. Tapi saya tak berani membayangkan betapa panasnya air yang keluar tepat dari pusat kawah.
Waktu satu jam tak terasa telah kami habiskan disana. Setelah kami selesai membersihkan sisa-sisa lumpur yang menempel di kaki dan tangan dengan air yang dinginnya membuat sedikit mati rasa, kami pun meninggalkan Kawah Putih. Namun sebelumnya, kami menikmati segelas jus stroberi dingin yang fresh, dibuat di hadapan kami. Menyegarkan karena siang itu, matahari mulai naik ke atas kami. Sangat disayangkan, objek wisata yang demikian spektakuler dan terpelihara baik ini belum banyak dikenal dan dikunjungi wisatawan.
Dari Ciwidey, kami melanjutkan perjalanan ke obyek wisata berikutnya, Situ Patenggang.
Situ Patengang
Setelah melewati Ranca Bali maka kita akan sampai di Situ Patengang, sebuah danau cantik yang dikelilingi oleh perkebunan teh. Keheningan di sekitar lokasi Patenggang semakin menambah indahnya suasana di danau yang beriak kecil ini, danau ini luasnya 48 hektar. Nama Situ Patengan berasal dari bahasa Sunda yaitu Pateangan-teangan yang artinya saling mencari. Alkisah nama tersebut merupakan sebuah mitos masyarakat setempat yang merupakan perlambang dari kisah cinta abadi dari dua pasang kekasih yang terpisah. Cinta dari putra Prabu dan putri titisan Dewi yang besar bersama alam yaitu Ki Santang dan Dewi Rengganis, mereka berdua berpisah untuk sekian lamanya namun karena cinta mereka yang begitu dalam membuat rasa ingin bertemu demikian besar. Mereka saling mencari dan akhirnya bertemu di sebuah tempat yang sampai sekarang dinamakan Batu Cinta. Dewi Rengganis pun minta di buatkan sebuah danau dan perahu untuk berlayar bersama. Perahu inilah yang kemudian berubah menjadi sebuah pulau yang berbentuk hati dan kemudian dikenal dengan sebutan Pulau Sasaka yang berarti Pulau Asmara. Menurut cerita dan kepercayaan masyarakat setempat jika singgah di Batu Cinta dan kemudian mengelilingi Pulau Asmara, maka senantiasa akan mendapatkan cinta yang abadi seperti Ki Santang dan Dewi Rengganis. Kabarnya, Batu Cinta ini juga diabadikan di layar kaca dalam cerita My Heart, yang dibintangi Nirina Zubir.
Di kawasan ini sarana penunjang wisata sudah tertata rapi, pengunjung bisa menyewa perahu untuk melayari danau Patengang dan memutari pulau Asmara, atau bisa juga menyewa sepeda air untuk mengelilingi danau kecil ini. Dari tengah danau jika pandangan diedarkan tampak puncak gunung Patuha dan hamparan kebun teh. Di akhir pekan kawasan ini banyak dikunjungi oleh pengunjung yang datang untuk bersantai diantara mereka juga terselip pasangan kekasih yang terbuai oleh indahnya Patengang serta harapan akan mendapat cinta yang abadi seperti Ki Santang dan Dewi Rengganis. Kami juga tidak melewatkan kesempatan berperahu di sekitar danau ini, setelah melakukan negosiasi dengan pemilik perahu, kami menikmati pemandangan dan udara yang sejuk di Situ Patenggang.
Kalua Jeruk, Oleh-oleh dari Kota Wisata Ciwidey
Sebelum melakukan perjalanan pulang ke Bandung, kami mampir di salah satu toko yang menjual oleh-oleh Ciwidey. Kata-kata “kalua jeruk, oleh-oleh khas Ciwidey” terpampang besar-besar di setiap toko yang kami lewati, sehingga kami tertarik untuk mencicipinya.
Kalua Jeruk dibuat dari kulit jeruk bali yang masih muda, diolah sedemikian rupa seperti manisan bermacam-macam warna: merah, kuning, hijau, oranye, sampai putih. Rasanya sangat tidak biasa di lidah. Manis, tetapi suatu manis yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Terlalu manis, yang saya rasakan malah bukan rasa buah kalua, tapi hanya rasa manis gula saja. Jadi, maaf, kami tidak membeli sama sekali produk oleh-oleh yang menjadi unggulan dari Ciwidey ini. Yang sangat enak justru dodol stroberi dan sirupnya. Masih sangat terasa stroberi, yang asam dan manis itu.
Kami akhirnya masuk ke mobil dengan membawa sekantong besar makanan khas berbagai daerah–mulai dari bandrek, manisan, dodol, sirup hingga harum manis–dan memulai perjalanan pulang kami menuju Bandung, meninggalkan sejuknya udara bersih dan parade warna hijau yang masih membanjir di kejauhan.