Pendidikan dan Kecerdasan, menurut Richard Feynman

Richard Phillips Feynman adalah seorang fisikawan teoretis yang terkenal karena karyanya di bidang elektrodinamika kuantum, dan juga menciptakan teknik belajar yang disebut Teknik Feynman.

Tergelitik untuk memberi komentar pada status seorang teman SMP, yang sekarang menjadi seorang Profesor di sebuah institut kenamaan di Bandung, apalagi kalau bukan Institut Teknologi Bandung, yang memposting pernyataan dari Richard P Feynman.

Betul banget ya pernyataan diatas karena sejatinya memang, education is represented by a piece of paper. Sementara, intelligence is represented by the ability to explain something you are educated on to someone who knows nothing about it, in simple terms.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara tingkat pendidikan dan kecerdasan, terutama dalam hal kemampuan kognitif. Namun, ini tidak berarti bahwa pendidikan tinggi otomatis membuat seseorang lebih cerdas. Kecerdasan bawaan (seperti IQ) juga memainkan peran penting dalam bagaimana seseorang dapat menyerap dan memanfaatkan pendidikan yang mereka terima.

Salah satu dari penelitian itu adalah penelitian tentang IQ dan Pendidikan (Ritchie & Tucker-Drob, 2018). Studi ini mengulas data dari berbagai penelitian di seluruh dunia yang melibatkan lebih dari 600.000 peserta. Para peneliti menemukan bahwa menambah tahun pendidikan formal terkait dengan peningkatan skor IQ. Rata-rata, setiap tambahan satu tahun pendidikan dikaitkan dengan peningkatan sekitar 1 hingga 5 poin IQ.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendidikan formal membantu meningkatkan kemampuan kognitif, termasuk berpikir logis, memecahkan masalah, dan pemahaman verbal, yang semuanya tercermin dalam skor IQ.

Sekarang, kecerdasan yang dikembangkan sejak masa kanak-kanak pun tidak hanya terbatas pada kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup besar pengaruhnya pada pendidikan seseorang, tapi juga ada kecerdasan emotional, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, kecerdasan adaptif, kecerdasan finansial dan beberapa turunan kecerdasan lain, yang juga turut mempengaruhi keberhasilan seorang dalam hidupnya.

Jangan mengukur kecerdasan seseorang hanya dari gelar akademis mereka. Kecerdasan yang sejati melibatkan pemahaman yang mendalam, kemampuan berpikir kritis, kebijaksanaan, kecerdasan emosional, dan keterampilan sosial—semua hal yang tidak bisa diukur dengan sertifikat atau diploma. Seseorang bisa sangat terpelajar tetapi kurang bijaksana atau kurang peka dalam berurusan dengan dunia nyata, dan di situlah pernyataan “you can have a PhD and still be an idiot” menjadi relevan.

Pernyataan ini mengajak kita untuk terus belajar dengan cara yang lebih komprehensif, melampaui batas-batas pendidikan formal, dan menghargai bentuk-bentuk kecerdasan lain yang sama pentingnya dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi, kembali pada pernyataan Richard Feynman diatas yang menyatakan bahwa seseorang bisa memiliki gelar PhD dan tetap “menjadi idiot” adalah pengingat pada kita bahwa walau bisa berkorelasi positif, namun pendidikan formal dan kecerdasan praktis atau kebijaksanaan tidak selalu berjalan beriringan. Feynman ingin menekankan bahwa gelar akademis tinggi tidak menjamin seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis, pemahaman yang mendalam, atau kecerdasan emosional yang baik.

Dan aku setuju pada pernyataan tersebut. Bagaimana dengan anda?


Review Buku Cernak : Raibnya Omprok Mbah Ti karya Afin Yulia

Buku Cerita Anak Misteri Detektif karya Afin Yulia ini keren dan unik menurutku karena mengangkat kearifan lokal yang berada di Banyuwangi.

Apa itu Omprok? Itu yang pertama aku tanyakan pada Mbak Afin dan ternyata jawabannya ada di Prakata buku ini. Omprok adalah hiasan kepala atau aksesoris tarian khas di Banyuwangi, yang mana tiap bagian dari Omprok yang didominasi warna emas ini, memiliki makna yang dalam.

Selain tentang Omprok, sejarah tari Gandrung yang fenomenal itu pun diselipkan dalam kisah detektif untuk anak-anak ini.

Buku yang diterbitkan Forsen Lentera ini, tebal 195 halaman terdiri dari 20 bab, mengisahkan tentang hilangnya mahkota Gandrung milik Mbah Ti. Diulas secara menarik oleh Mbak Afin, dengan urutan tutur cerita yang mudah dimengerti, khususnya buat anak-anak. Unsur budaya diungkapkan secara menarik. Buku cerita anak yang sangat direkomendasikan karena tidak membosankan tapi diungkap dengan seru dan menarik.

Yuk miliki buku ini dan simak keseruannya, apakah Akmal dan Ilham dapat menemukan siapa pelaku pencuri mahkota kebanggaan Mbah Ti ini.


Oleh-oleh dari Baduy Luar : Tas Koja

Tas Koja yang dibuat warga suku Baduy ini terbuat dari kulit pohon Teureup. Tas ini tersedia dalam berbagai desain dan ukuran. Aku memilih ini, yang terkecil berukuran 20×10 cm, muat untuk 2 telpon genggam, 1 dompet kecil dan 1 buku notes, aku beli dengan harga rp 25 ribu saja.

Bendaterap atau tekalong (Artocarpus elasticus) adalah sejenis pohon buah yang masih satu genus dengan nangka (Artocarpus). Buahnya mirip dengan buah timbul atau kulur, dengan tonjolan-tonjolan serupa duri lunak panjang dan pendek, agak melengket. Nama ilmiahnya adalah Artocarpus elasticus.

Kegunaan

Buah benda yang telah masak dimakan dalam keadaan segar, bijinya dapat dimakan setelah direbus atau digoreng. Adapun kalau buah belum masak, tetap dimakan dengan dimasak terlebih dahulu.[11] Buah muda dari pohon benda atau yang juga disebut dengan teureup ini bisa digulai seperti nangka, dan yang sudah tua bisa dimakan langsung. Namun, buah benda lebih sering dimakan dalam keadaan matang.[12] Getah benda sering digunakan sebagai perekat untuk menjerat burung.[9] Masyarakat Minangkabau di waktu penjajahan Jepang menggunakan serat benda untuk celana, kisah ini diabadikan di dalam pantun Minangkabau ich ni san shi go rok, baju goni sarawa tarok. (Satu dua tiga empat lima enam (bahasa Jepang), baju goni celana serat tarok (benda).

(Wikipedia)

Ternyata banyak ya kegunaan dari pohon yang bisa mencapai tinggi 65 meter ini. mulai dari biji, buah sampai kulit pohonnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Baduy menggunakan Tas Koja ini untuk berladang, bercocok tanam dan menangkap ikan. Tas ini juga tahan terhadap rayap, konon kabarnya tas ini akan membusuk secara alami saat pemakainya sudah tiada.

Proses pembuatannya, kurang lebih sama seperti proses dari bahan yang lain, kulit pohon dijemur, lalu dibuat menjadi serabut untuk benang, yang selanjutnya akan dirajut menjadi tas.

Ini adalah salah satu alternatif buah tangan dari Baduy Luar. Selain itu, ada juga dijual kopi, jahe merah, madu dan yang terutama adalah tenun khas Baduy yang dikerjakan sendiri oleh kaum perempuan di sana. Yuk menjelajah Baduy, untuk mengenali kehidupan mereka dan menikmati karya dan produksi untuk membantu perekonomian masyarakat di sana.


Jelajah Eksotika Baduy Bersama Wisata Kreatif Jakarta

Hari ini pertama kalinya, aku bersama teman-teman mengikuti Open Trip yang diselenggarakan oleh Wisata Kreatif Jakarta (WKJ), untuk menjelajah eksotika Baduy (Luar) selama kurang lebih 12 jam.

Yuk mari disimak keseruannya. Pertama, untuk bisa bergabung dalam trip ini, aku mendaftar melalui link yang tercantum dalam akun WKJ. Tentu sebelum mendaftar, pembayaran sudah dilakukan sesuai dengan nilai yang tertera pada flyer, yaitu Rp 350.000,-. Setelah melakukan pendaftaran, aku diundang masuk dalam WAG Tur Baduy.

Selanjutnya, dalam WAG Tur Baduy, Kak Ira Latief selaku Tour Guide kami, menyampaikan gambaran mengenai situasi dan rencana perjalanan ke Baduy Luar dan hal-hal apa saja yang mesti dipersiapkan.

Harga Tur Rp 350.000,- termasuk biaya sebagai berikut : Tour Leader (Ira lathief/ founder WKJ), transportasi PP dari stat Rangkas – Ciboleger Baduy (dg sewa Angkot Elf), makan siang di rumah orang Baduy, didampingi warga asli Baduy selama trip berlangsung dan Asuransi perjalanan. Harga belum termasuk tiping utk guide lokal orang Baduy (nanti ada saweran di akhir tur , jumlah bebas).

Menurut rencana perjalanan yang dibagikan, perjalanan akan berakhir di Desa Gajebo dan berfoto di Jembatan Gantung, namun karena kendala cuaca, kami hanya sampai di Lumbung dan menikmati air kelapa muda.

Masukan dan saran dari aku, karena tidak semua peserta suka berbelanja (termasuk aku), alangkah baiknya jika sesi belanja dapat ditempatkan di sesi terakhir atau dibatasi waktunya, sehingga tidak banyak waktu terbuang dan tujuan ke Desa Gajebo dapat tercapai, di luar kendala cuaca. Dalam perjalanan hari ini, pukul 16, kami sudah kembali ke Stasiun Rangkas Bitung. Terima kasih atas pendampingan Kak Ira dan Tim, ini hanya masukan agar lebih baik di kemudian hari.


Baduy dan Kesahajaannya

Sabtu, 5 Oktober 2024, aku dan teman-teman mengikuti Open Trip yang diadakan oleh Wisata Kreatif Jakarta bersama Kak Ira Latief menuju Desa Baduy Luar.

Desa Baduy atau Kanekes adalah salah satu desa di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Di dalamnya terdapat suku Baduy atau urang Kanekes yang merupakan sekelompok masyarakat yang memegang teguh kearifan lokal. Populasinya kurang lebih 26.000 jiwa dan terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam.

Letak Desa Baduy ini sekitar 125 kilometer saja dari tempat tinggalku, atau jika ditempuh dengan kendaraan pribadi memakan waktu sekitar 2.5 jam saja. Namun kami, aku dan lima orang teman, memilih menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) dari Stasiun Rawa Buntu menuju titik temu kami dengan teman-teman dari Wisata Kreatif Jakarta di Stasiun Rangkas Bitung. Di sana, kami bertemu Kak Ira Latief dan Kawan-kawan, yang akan menemani kami memasuki perkampungan Baduy.

Dari Stasiun Rangkas Bitung, kami menuju Kampung Ciboleger, yang merupakan pintu gerbang masuk menuju peradaban Baduy Luar. Perjalanan dengan kendaraan mini bus ELF kapasitas 12 orang, ditempuh selama kurang lebih 1.5 jam. Rombongan kami terdiri dari 24 orang sehingga dibagi kedalam dua kendaraan.

Tiba di Kampung Ciboleger, kami sudah ditunggu para guide lokal penduduk asli Baduy Luar, Kang Baim dan dua orang kerabatnya. Perjalanan kami dimulai diatas jalan yang rata dan tertata rapi, melewati deretan kios warga yang menjajakan barang dagangan khas Baduy, seperti kain tenun, pakaian, gula aren, kopi dan jahe merah.

Pemberhentian kami pertama adalah di rumah seorang Ketua Adat, yang diwakili anaknya, yang bernama Itoy. Ia bertutur mengenai peradaban di Baduy yang jauh dari modernisasi namun mereka cukup melek teknologi, terbukti dengan adanya sistem pembayaran dengan menggunakan QRIS.

Mereka mandi tidak menggunakan sabun tapi dengan buah honje, buah dari tanaman kecombrang. Dan untuk menggosok gigi menggunakan siwak (sabut kelapa). Ini konon kabarnya yang membuat kulit wanita Baduy khususnya tampak glowing (berkilau)

Sambil mendengar penjelasan Kak Ira dan Itoy, beberapa teman sudah mulai asyik berbelanja dan membeli cindera mata.

Mayoritas penduduk di Desa Baduy beragama Sunda Wiwitan dan berbahasa Sunda Banten. Mereka tidak diperbolehkan bersekolah tapi mereka belajar membaca, menulis dan berhitung secara otodidak, yang diajarkan oleh orang tua atau kerabat. Mata pencaharian sebagian penduduk adalah bertani atau meladang, namun beberapa dari mereka juga menjual hasil kebun mereka seperti kopi, jahe dan madu, keluar Baduy, yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan kereta. Sedangkan sebagian wanita di desa tersebut, bekerja sebagai penenun.

Tidak ada penerangan atau listrik di desa ini, menurut Itoy, mereka men-charge telpon genggam di luar kampung. Telpon genggam sekali waktu mereka gunakan untuk berkomunikasi dan bertransaksi.

Itoy juga bercerita tentang sistem pernikahan di Baduy, yang hanya mengizinkan penduduk menikah dari kawasan yang sama, sama-sama berasal dari Baduy Luar atau dari Baduy Dalam. Walau ada juga pernikahan yang terjadi dari kawasan yang berbeda, sehingga warga tersebut dikeluarkan dari kawasannya karena dianggap melanggar adat dan kehilangan statusnya sebagai warga

Dijelaskan pula mengenai perbedaan suku Baduy Dalam dan Baduy Luar, diantaranya

  1. Suku Baduy Dalam masih memegang teguh adat istiadat dan aturan, sedangkan Suku Baduy Luar sudah terpengaruh oleh budaya luar.
  2. Suku Baduy Dalam masih hidup tanpa listrik, alas kaki, dan berjalan kaki. Suku Baduy Luar sudah menggunakan alat-alat modern seperti telpon genggam
  3. Suku Baduy Luar memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak, yaitu ribuan orang, sedangkan Suku Baduy Dalam hanya ratusan jiwa
  4. Suku Baduy Dalam menempati pedalaman hutan di bagian selatan, sedangkan Suku Baduy Luar menempati puluhan kampung di bagian utara Kanekes

Setelah perbincangan itu, perjalanan kami lanjutkan menuju rumah, seorang penenun yang dijuluki sebagai Nenek Cantik, karena di usianya yang ke-35, ia memiliki seorang anak berusia 20 tahun dan telah dikaruniai seorang cucu. Di rumah penenun bernama Aswati ini, selain menjual kain tenun dan aneka cindera mata khas Baduy, pengunjung bisa menikmati kopi, teh dan makanan ringan sebelum melanjutkan perjalanan.

Perjalanan kami lanjutkan menuju rumah kediaman guide lokal kami, Kang Baim yang telah menyediakan Makan Siang untuk kami. Makan siang yang sederhana, disajikan dengan istimewa, berupa pilihan ikan mas atau ayam goreng, tahu dan tempe, beserta lalapan dan sambal tomat yang tidak terlalu pedas dan “pas” buatku. Suasana yang hening, duduk bersama diatas dipan bambu, diantara gemerisik daun pepohonan, membuat suasana makan siang begitu berbeda, di tengah keriuhan gerak teman yang hilir mudik, menambah nasi atau lauk. Nikmatnya….

Selesai makan siang, saat kami bersiap melanjutkan perjalanan, hujan rintik mulai turun, Kak Ira selaku ketua rombongan membatalkan perjalanan menuju Jembatan Gantung yang terletak di Desa Gajebo, yang menjadi tujuan akhir perjalanan ini dengan alasan cuaca dan kondisi kami. Diputuskan perjalanan akan berakhir sampai di Lumbung warga. Baiklah, dengan semangat kami melanjutkan perjalanan ini. Saat hari hujan, jalan setapak yang berbatu ini memang menjadi licin dan butuh kehati-hatian, mencegah terjatuh yang dapat mencederai punggung.

Baduy dan Kesahajaan

Di lereng bukit, sunyi yang teduh,
Terselip di balik hutan yang jauh,
Baduy berjalan dalam kesahajaan,
Menjaga alam, hidup tanpa keluhan.

Tak tersentuh gemerlap dunia kota,
Di rumah bambu, hati mereka penuh cinta,
Kesederhanaan menjadi jalan hidupnya,
Harmoni dengan bumi, abadi selamanya.

#delaras #delarassemesta

Perjalanan kami berakhir, tepat pukul 16, kendaraan ELF kembali membawa kami kembali ke Stasiun Rangkas Bitung. Sebelum berpisah, kami berfoto dibawah ikon patung Kampung Ciboleger.

Buat Kak Ira Latief, terima kasih sudah mengantar kami ke Baduy beserta Tim. Terima kasih untuk semua teman baru dan lama untuk kebersamaannya kemarin. Love you all…

Foto : Pribadi dan Teman2 di WAG Tur Baduy Wisata Kreatif Jakarta


Thank you, September

Thank you, September, for joy and tears,
For moments of light and quiet fears.
In your gentle days, both peace and pain,
Teach us to dance in sun and rain.

For every laugh and every sigh,
Thank you for letting time slip by.
In sorrow’s touch and joy’s embrace,
We find our strength, our healing grace.