Hujan di G17

Kedatangan ke Bandung kali ini, sebenarnya punya beberapa agenda, namun ada yang belum bisa terlaksana karena belum fix, seperti kunjungan ke sebuah stasiun radio. Dalam rencana perjalanan, agenda utama (walaupun bukan satu-satunya) adalah sowan ke rumah Bapak Prof Bambang Hidayat. Sesuai perjanjianku melalui email, kami akan berkunjung pada 15 Februari 2020, dengan jumlah lima orang termasuk pengemudi.

Aku datang bersama mas Aan Naitagama, mbak Tanti Amelia dan mbak Astri, yang postingannya dapat dilihat melalui klik nama mereka masing-masing.

Hujan membuat kami tinggal lebih lama. Tapi hujan yang berhenti membuat kami enggan pulang. Jangan salahkan hujan. Karena hujan yang datang, membuat kami memahami lagi banyak hal. Kali ini tentang kedatangan Jepang ke Indonesia. Saat itu usia Bapak (Prof Bambang Hidayat) baru 8 tahun. Setiap hari menyanyikan lagu berbahasa Jepang.IMG-20200217-WA0017Diiring rintik hujan yang makin deras, kami mendengarkan lagu-lagu perjuangan di masa penjajahan Jepang melalui CD player. Di antara lagu-lagu tersebut terdengar juga pesan-pesan perjuangan, yang disuarakan Bapak.

IMG-20200217-WA0016

IMG-20200217-WA0015IMG-20200217-WA0009Beliau masih hafal lagu-lagu tersebut lho. Perhatikan ekspresi kami mendengar cerita beliau. Aku terutamanya, yang cepat sedih dan gembira terbawa suasana (- sensi atau baper ya? Semoga masih dalam batas wajar ?)

IMG-20200217-WA0014Sebelum pulang, kami berfoto di ruang kerja beliau. Buku dan buku serta banyak kertas kerja. Luar biasa.

Sabtu, Dago Giri, 15 Februari 2020, Sowan Bapak

 


Cita-cita Yang Kandas

Sejak di SMA, cita-citaku adalah menjadi seorang Arsitek. Setiap hari diantar ayah ke sekolah melewati kawasan perumahan elite Permata Hijau menuju SMA Tarakanita. Dalam hati selalu berdoa, “Aku akan membuat sebuah rumah seperti itu buat Bapak.” Waktu itu, kami sendiri tinggal di perumahan Sekretariat Negara, Cidodol, Kebayoran Lama.

IMG_20200203_185121_775Karena kegemaran melihat rumah-rumah bagus dan membaca buku interior yang dibeli ayah, keinginanku semakin besar dan akhirnya memilih masuk jurusan IPA di SMA. Di kelas IPA, aku mendapat mata pelajaran Menggambar. Mata pelajaran yang tentu aku dan teman-teman sukai. Hm…. karena, karena pengajarnya adalah satu-satunya guru pria yang masih muda dan jomblo, juga santun tutur kata dan baik budinya. 😀 lebai ya kami. Ya maklumlah, aku dan teman-teman bersekolah di sekolah yang seluruhnya perempuan.

.

Kalau aku suka pelajaran ini karena ini pelajaran yang santai dan penuh imajinasi. Karena ini kelas IPA, maka teknik menggambar yang kami pelajari pun berbeda. Kami belajar gambar teknik.

.
Aku selalu mendapat nilai minimal 90 lho dalam tugas gambar dimensi ruang dibawah bimbingan pak Gofar. Aku kerap berdiskusi dengan teman sebangkuku, (alm) Agnes Retno, yang akhirnya berhasil masuk Fakultas Arsitektur, setelah mengikuti Sipenmaru di tahun yang ke-2.

.

Di jalur Sipenmaru, aku gagal  diterima di Fakultas Arsitektur. Melalui jalur swasta, aku juga gagal diterima di perguruan tinggi terkenal masa itu di Bandung. Gagal masuk Fakultas Arsitektur, tidak menyurutkan kesukaanku menikmati (bangunan) yang tinggi dan unik.

IMG_20200203_185121_880IMG_20200203_185121_875IMG_20200203_185121_878IMG_20200203_185121_877IMG_20200203_185121_871IMG_20200203_185121_807Di saat teman lebih suka berfoto, aku sempatkan untuk selalu mengabadikan juga bangunan atau dimensi ruang ini, dimanapun, kapanpun. Bangunan dan dimensi ruang selalu menarik perhatianku.
.
Terima kasih foto dari kak Leya, yang maksud hati memotret mama @ari_atletkuliner eh ada tante Adjeng ya. Tapi jadi keren hasil fotonya, tentang dua orang yang berbeda passion ?

#delaras
#delaraswisata