Repost : Kurnia Effendi, MENGURAI (PE)RASA(AN) MELALUI KOPI

Di dunia ini, lebih-lebih kini, banyak sekali penggemar kopi.Ajakan bertemu dua orang kawan atau lebih, sudah terbiasa dengan “yuk, ngopi”. Sementara urang Sunda, apa pun minumannya, istilah yang digunakan: “bade ngupi heula”.

KEF

Pabila penggemar kopi itu adalah juga seorang penulis, tidak mungkin tidak, diksi terkait kopi akan masuk ke dalam baris puisi atau paragraf prosanya. Jangan ditanya kepada Fikar W Eda , penyair asli Takengon yang sudah sejak lama mengamalkan mantra (menanam, merawat, memanen, dan) meminum kopi. Setiap tahun, sekali atau dua diadakan olehnya event berkonten kopi. Lebih sepuluh tahun yang lalu Dewi Lestari menulis cerpen yang menjadi judul kumpulannya: “Filosofi Kopi”. Setelah diangkat menjadi film, kemudian judul cerpen itu dijadikan nama kedai kopi di bilangan Melawai-Blok M, Jakarta Selatan, oleh dua temannya (Handoko dan rekan, Rio Dewanto menjadi CEO). Dalam praktiknya, sejak 2015, kedai Filosofi Kopi dibentuk bukan semata-mata sebagai warung jualan tetapi ada sisi moralitas dengan menjaga ekosistem kopi, bekerja sama dengan para petani kopi untuk secara mutualisma memberi benefit semua pihak.

Maka kopi, sebagai minuman yang telah populer menjadi teman segala suasana dan situasi, merupakan public domain. Jangan sampai ada seseorang yang bertabiat aneh kemudian mematenkan nama “kopi” sebagai milik pribadi. Di Yogya ada kedai kopi dengan edukasi terhadap pelanggannya—sempat dipetik adegannya ke dalam film AADC 2. Di Yogya pula saya pernah dalam sehari mampir dan menikmati prosesi 3 warung kopi bersama Tia Lesmana (Tanamera, Kopi Pitutur, dan Kopi Nogo). Tumbuh suburnya warung kopi sejak kelas jalanan hingga hotelan dan mal-malan awal tahun 2000-an (saya baru mengenal Starbucks justru di Tokyo pada 2001, yang saat itu hendak membuka kafe “hanya” di Mal Pondok Indah, Kelapa Gading, dan Taman Anggrek. Ya, masih “sombong”, hehe) menunjukkan bahwa kopi sudah menjadi gaya hidup semua kalangan. Perbedaan kelas dibuat—salah satunya—berdasarkan lokasi. Padahal dengan jenis kopi yang sama kualitasnya—baik robusta, arabika, maupun liberika—diseduh di rumah atau saat kemping, akan memberikan rasa mewah yang sama di mulut penggemarnya.

Pengantar di atas terlalu panjang untuk mengupas buku fiksi berjudul “Halusinasi Kopi” karya de Laras (Diadjeng Laraswati H Hanindyani). Ia yang mengaku menyukai kopi apa adanya, dalam himpunan ini menuliskan puisi, cerita (sangat) pendek, sebentuk percakapan, dan semacam quote/caption atas foto-foto yang seolah-olah ikut bicara, seluruhnya 68 judul. Ayu Utami, novelis “Saman” dan “Larung” memberikan pengantar buku ini. Se-adict apa atau sefanatik apa de Laras menyukai kopi? Ternyata tidak akan mati bila tidak minum kopi, bahkan dalam menikmatinya masih menambahkan sedikit gula. Ia cukup moderat “hanya” menjadikan kopi sebagai teman sangat dekat. Kopi, sebagaimana tersirat di banyak tulisannya itu, merupakan inspirasi, perlambang, motivasi, booster, medium, juga sahabat yang akan dirasakan hilang (atau malah rindu) bila absen dalam kegiatannya.

Sebagian besar tulisan de Laras pada buku mungil ukuran 11 x 15 cm itu bagi saya pribadi menjadi pemantik untuk kemudian menghubungkan pikiran dan perasaan dengan sesuatu yang lebih luas. Bagaimana kalau suatu saat kelak saya menjadi barista di kedai kopi milik sendiri? Mungkinkah saya bakal berperan sebagai pencicip kopi dari berbagai tempat di dunia? Apakah perlu setiap tiga bulan digelar festival kopi secara bergiliran di wilayah penghasil kopi terbaik Indonesia? Sebut saja Gayo, Mandailing, Puntang, Sidikalang, Lampung, Toraja, Ciwidey, Garut, Temanggung, Bromo, Kintamani, Flores, Wamena …

Benar kata de Laras yang saya pastikan mengalami seluruh isi tulisannya (dengan POV yang berbeda-beda) bahwa kopi menjadi bahasa yang intim untuk pertemuan, perbincangan, rapat, bekerja, dan rekreasi. Dalam satu pengalamannya, misalnya, rehat di kedai kopi (murah) di tengah perjalanan panjang. Fragmen lain cukup menyentuh ketika sang ayah mengingatkannya agar segera membuatkan kopi untuk ibu di pagi hari, padahal sang ibu sudah almarhum beberapa waktu lalu. Bahkan, ketika bekerja lembur, di tengah kebosanan mendapatkan seorang teman online mengirim gambar cangkir kopi, seolah-olah benar ada secangkir kopi di hadapannya yang membuat semangatnya bangkit untuk melanjutkan pekerjaan. Aroma kopi nyata yang mampu dihidu lambat laun menjelma halusinasi ketika hadir dalam bentuk aksara atau simbol. “Saya hanya ingin mengurai rasa.” Maksud de Laras adalah rasa batin bukan sekadar rasa di lidah.

Kopi menjadi bahasa universal untuk hubungan sosial dan budaya antarmanusia, tak dapat dimungkiri. Saya setuju dengan semua yang ditulis ringkas—semacam sketsa bila itu lukisan—sebagaimana penggemar kopi sekaligus penulis yang lain, misalnya Titik Kartitiani, Ratna Ayu Budhiarti, dan Iksaka Banu. Maka jangan heran bila saya kerap sengaja meluangkan waktu untuk ngopi bareng Banu. Kopi pada akhirnya bagian dari rindu (teman atau kekasih) yang memang berhasil menciptakan halusinasi.

Seperti juga sejumlah penyair lain penggemar kopi, misalnya Joko Pinurbo yang pernah menerbitkan kumpulan puisi “Surat Kopi”, saya pun tidak luput dari keterikatan pada “dunia kopi” sebagai tema puisi. Puisi-puisi dalam “Hujan Kopi dan Ciuman” (BasaBasi, 2017) dan “Setelah Lima Belas Kabisat” (NAD Publishing, 2021), bahkan di “Mencari Raden Saleh” (Diva Press, 2019) ada puisi “Kopi untuk Ngeri”; benar-benar membicarakan kopi dalam sebuah peristiwa, perenungan, ritual, atau situasi. Akan tetapi karena kumpulan puisi itu bukan melulu bicara kopi, yang terhimpun adalah puisi-puisi yang “lolos” seleksi (pribadi atau redaksi). Salah satu puisi, “Meditasi Kopi” saya dedikasikan untuk penggemar kopi Yayuk Arifin.

Ibarat album rekaman, tidak semua lagu memiliki komposisi yang terpuji. Mumpung dalam bentuk himpunan tematik, naskah yang sekadar melengkapi tema kopi boleh menjadi bagian buku ini. Bisa jadi peran dari tulisan yang tidak cukup kuat adalah untuk menonjolkan tulisan yang mendalam. Mungkin pula demi varian atau semacam alunan naik turun irama meskipun sesungguhnya—seperti sikap atau “ketergantungan sang pengarang” terhadap kopi—ini merupakan himpunan tulisan ringan. Seperti halnya musik, jenis easy listening.

Di akhir tahun sebelum pandemi, saya membaca buku pengalaman seseorang mengenal perihal kedai-kedai kopi di Jakarta. Sejak yang lekat dengan tradisi seperti Tanah Tinggi hingga tempat nongkrong anak muda semacam Amomali. Suatu saat boleh diperbarui, mengajak de Laras dan Ecka Pramita supaya langsung disiarkan melalau IG Tivi atau podcast.

Buku ini mudah dicangking sebagai bacaan di berbagai tempat. Dalam perjalanan, saat rehat dari suntuknya pekerjaan, atau sembari menunggu bus tiba di halte. Ya, mirip kopi itu sendiri. Seteguk berkesan, mungkin meningkatkan mood. Bisa dibaca cepat sekali libas, boleh juga dihemat-hemat dan menjadi bagian perbincangan para pengopi untuk menghangatkan suasana setelah kepala penuh dengan pelbagai aksioma atau beban laporan di kantor.

Halaaauw, kapan kalian mampir ke Kopi Nugi? Ingat cara mengaduknya, kan? [kef]

DATA BUKU

Judul: Haslusinasi Kopi
Penulis: de Laras
Kover: Arief Arianto
Kata pengantar: Ayu Utami
Penerbit: Stiletto Indie Book
Tebal: 120 hal;aman
Ukuran: 11 x 15 cm
Cetakan pertama: September 2020
ISBN: 978-623-7656-64-7


(Bukan) Buku Kopi Biasa, 2020

Puji syukur, dua buku tentang kisah di balik secangkir kopi terbit di 2020 dan diterima di tangan. Yang satu buku solo Halusinasi Kopi, yang satu lagi buku antologi bersama penulis Dreamcatchers Kabar Ezrin.

WhatsApp Image 2021-01-18 at 19.14.57

Buku solo Halusinasi Kopi berisi 68 tulisan dan foto ngopi dalam 134 halaman A6, penerbit Stiletto Book

Buku antologi Secangkir Kopi berisi 21 cerita dari 21 penulis Kabar Ezrin, dalam 206 halaman A5, penerbit Embrio Publisher

Selalu ada cerita di balik secangkir kopi…


Buku Solo Terbaru : Halusinasi Kopi

prhk2 Paham soal kopi? Engga terlalu. Kok berani nulis tentang kopi? Suka aja. Iya, memang karena suka pada aroma kopi, aku memberanikan menuliskan buku ini. Buku ini menuliskan tentang halusinasi setelah bersentuhan dengan kopi. Bukan kopinya semata. Ada yang berbeda. Ada yang unik terjadi saat aku menghirup aroma kopi. Kala sedih, kala susah, kala senang, kala penat, aroma kopi atau minum kopi, membuat sedikit cerah kehidupan.

Sejak kapan suka ngopi? Dari kecil suka dicekoki kopi. Kata Ibu, supaya ga step (~kejang). Lalu tertular dari Ibu. Lalu punya beberapa pohon kopi sehingga wangi sangrai kopi selalu tercium di rumah. Berlanjut menikah dengan perokok dan pengopi berat, yang sebenarnya akhir ini sudah berkurang. Eh malah jadi aku yang ga bisa lepas, walau masih dalam porsi kecil, karena ada teman-teman baik yang suka ngopi.

Karya ini kuhaturkan untuk semua orang yang menjadi penikmat kopi. Penikmat yang apa adanya. Yang hanya tahu bahwa rasa kopi itu nikmat, sedap, dan dahsyat. Semua itu karena adanya sensasi dari aromanya yang kerap menggetarkan seluruh sendi, saraf, bahkan nadimu.

Karya ini suka-sukanya aku pada kopi, aromanya, rasanya, nuansa, halusinasi, rindu, dan imajinasi tentang segala dari kopi. Aku bukan ahli, apalagi barista, di bidang perkopian. Aku hanya penikmat yang kerap melanglang buana dengan pikiranku sendiri karena secangkir kopi.

Diterbitkan oleh Stiletto Indie Book, dengan pembuka pengantar dari Ayu Utami, penulis dan sastrawan Indonesia, berjudul Secangkir Kopi dan Kopi Tarot. Kata Pengantar dari Ayu Utami ditutup dengan manis dengan sebuah puisi berikut ini. Foto Puisi Ayu Utami Cover buku ini adalah hasil jepretan dari teman baik, Bapak Arief Arianto dan didesain oleh Tim Stiletto dengan apik. Foto ini sangat sesuai dengan sub judul dari buku Halusinasi Kopi, yaitu Ketika Kopi (Tidak) Selalu Pahit dan Hitam.

Cove HK_FIN2 Buku ini berisi 68 tulisan (puisi, prosa, fiksi mini dan sketsa) dan puluhan foto ngopi di berbagai tempat, full colour, 134 hal, soft cover, book mark. Goodie bag untuk 50 pemesan pertama, hanya dengan Rp 80.000,- saja.

HALUSINASI KOPI Ketika Kopi (Tidak) Selalu Pahit dan Hitam Continue reading


Hidup adalah Sebuah Proses

Hidupadalahsebuahproses

sumber foto : oleh-oleh teman dari Banyuwangi

 

Hidup adalah sebuah proses
Ibarat kopi, hidup itu seperti krema
Bagaimana manisnya krema bisa dinikmati dari pahitnya kopi,
itu hanya tergantung bagaimana kita meraciknya
Ga ada rumusnya, ga ada teorinya,
Langsung diramu dan diracik dengan intuisi kita
Bagaimana rasanya, ya kita sendiri yang tahu,
Manisnya aku ga sama dengan manisnya kamu
Seberapa cecap nikmat krema bisa kita rasakan,
ya kita juga yang bisa buat takarannya,
Mesti trial and error sampai dapat kenikmatan itu
Kita yang tahu krema yang seperti apa yang pas buat kita,
begitulah hidup, hanya kita yang tahu….(dan Tuhan tentu saja)

 


Paket Kopi

Selamat pagi….
– Selamat pagi juga…

Paket kopinya sudah diterima
– Paket kopi ?

Iya, paket yang dikirim kemarin. Kamu kirim paket kan?
– Iya, kirim paket

Nah lalu, kok bertanya…
– Kamu yakin itu kopi ?

Bungkusnya sih kopi, belum aku buka. Aromanya juga kopi. Memang kamu kirim apa ?
– Racun…

Racun… ? Racun apa ?
– Racun rindu mengandung aku

😀 yuk diseruput dulu kopinya…kamu kebanyakan ngopi ya 😀

?????????????

#tentangkopi
#delarasngopi
#halusinasikopi

(BSD, 7 Mar 2019, mendung, 08.45WIB)