Oleh-oleh dari Baduy Luar : Tas Koja

Tas Koja yang dibuat warga suku Baduy ini terbuat dari kulit pohon Teureup. Tas ini tersedia dalam berbagai desain dan ukuran. Aku memilih ini, yang terkecil berukuran 20×10 cm, muat untuk 2 telpon genggam, 1 dompet kecil dan 1 buku notes, aku beli dengan harga rp 25 ribu saja.

Bendaterap atau tekalong (Artocarpus elasticus) adalah sejenis pohon buah yang masih satu genus dengan nangka (Artocarpus). Buahnya mirip dengan buah timbul atau kulur, dengan tonjolan-tonjolan serupa duri lunak panjang dan pendek, agak melengket. Nama ilmiahnya adalah Artocarpus elasticus.

Kegunaan

Buah benda yang telah masak dimakan dalam keadaan segar, bijinya dapat dimakan setelah direbus atau digoreng. Adapun kalau buah belum masak, tetap dimakan dengan dimasak terlebih dahulu.[11] Buah muda dari pohon benda atau yang juga disebut dengan teureup ini bisa digulai seperti nangka, dan yang sudah tua bisa dimakan langsung. Namun, buah benda lebih sering dimakan dalam keadaan matang.[12] Getah benda sering digunakan sebagai perekat untuk menjerat burung.[9] Masyarakat Minangkabau di waktu penjajahan Jepang menggunakan serat benda untuk celana, kisah ini diabadikan di dalam pantun Minangkabau ich ni san shi go rok, baju goni sarawa tarok. (Satu dua tiga empat lima enam (bahasa Jepang), baju goni celana serat tarok (benda).

(Wikipedia)

Ternyata banyak ya kegunaan dari pohon yang bisa mencapai tinggi 65 meter ini. mulai dari biji, buah sampai kulit pohonnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Baduy menggunakan Tas Koja ini untuk berladang, bercocok tanam dan menangkap ikan. Tas ini juga tahan terhadap rayap, konon kabarnya tas ini akan membusuk secara alami saat pemakainya sudah tiada.

Proses pembuatannya, kurang lebih sama seperti proses dari bahan yang lain, kulit pohon dijemur, lalu dibuat menjadi serabut untuk benang, yang selanjutnya akan dirajut menjadi tas.

Ini adalah salah satu alternatif buah tangan dari Baduy Luar. Selain itu, ada juga dijual kopi, jahe merah, madu dan yang terutama adalah tenun khas Baduy yang dikerjakan sendiri oleh kaum perempuan di sana. Yuk menjelajah Baduy, untuk mengenali kehidupan mereka dan menikmati karya dan produksi untuk membantu perekonomian masyarakat di sana.


Batu Sebagai Alternatif Hadiah, Mengapa Tidak ?

Saat aku merencanakan pergi ke Ambon, beberapa teman mengatakan begini, “wah bisa borong batu bacan dari sana,” aku yang sudah lama tidak lagi menaruh perhatian pada batu, hanya bisa mengiyakan saja, sambil mengingat-ingat, “batu bacan” dan ternyata benar, setelah tiba disana batu yang kabarnya sedang naik daun ini memang ramai menjadi pembicaraan orang, baik warga Ambon sendiri ataupun para pendatang, bahkan juga dipamerkan pada beberapa booth atau stand di Pameran Maluku Expo 2015.

Dulu, aku memang pernah menyukai batu-batu untuk cincin, namun sudah hampir sejak menikah, tidak terlalu tertarik untuk mengenakan cincin dengan batu, yang sekarang dikenal dengan nama gemstone. Namun, sejak tiba di Ambon dan orang banyak membicarakannya serta juga ternyata hampir semua orang yang aku temui di Ambon memakai cincin dengan batu-batu yang indah, aku juga jadi tertarik untuk mendengarkan pembicaraan mengenai “perbatuan” ini.

Pulau Bacan adalah sebuah pulau yang terdapat di Maluku, tepatnya di sebelah barat daya Halmahera. Secara administratif pulau Bacan masuk ke dalam Kabupaten Halmahera Selatan dengan ibukota Labuha di Maluku Utara. Namun, terjadi diskusi bahwa konon kabarnya yang disebut batu bacan itu bukan berasal dari Pulau Bacan tapi dari Pulau Kasiruta, di tenggara Pulau Bacan. Sebagai hanya pencinta keindahan, aku ga masalah lah batu itu berasal dari mana, yang penting aku tahu oh batu yang aku punya bernama batu bacan doko dan batu alang atau batu bacan palamea 😀

Hanya ketika bertemu dengan penggemar batu, aku sempat bertanya, mengapa batu bacan ini mahal harganya ternyata karena batu bacan adalah batu yang berproses, batu yang semula kita terima berwarna hitam atau hijau tua, lama-lama berproses menjadi berwarna lebih muda dan konon kabarnya jika disinari dari bagian bawah batu tembus cahaya tersebut maka boleh dikata bahwa batu itu batu yang bagus dan telah mengalami proses yang cukup lama.

Dan ternyata benar, ada begitu banyak jenis batu yang aku bisa temui dan lihat saat di Ambon, dan inilah sebagian yang aku lihat disana, milik pribadi dan milik teman-teman, ada yang beli sendiri, ada yang pemberian dari kerabat disana dan ada juga yang minta, ada yang sudah diikat, baru dipoles ataupun masih bongkahan….hehehe…indah bukan ?

b1????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????b11Kini batu dapat digunakan sebagai alternatif hadiah atau oleh-oleh, tentu saja, mengapa tidak ? Tentunya bagi orang yang suka pada keindahannya bukan, seperti saya 🙂 Selamat berburu….

 

Icip-icip Rujak Buah Di Natsepa

Menyambung postingan yang lalu, bukan hanya pantai Liang yang dimiliki Ambon, tapi ada juga pantai yang spektakuler, yang kabarnya selalu dirindukan anak-anak Ambon yang telah melanglang buana ke luar negeri, pantai apa itu ? tak lain adalah Pantai Natsepa.

Apa yang membuat mereka rindu ? Pantai nya kah ? Itu sudah pasti, tapi ada yang lain, yang bisa dibilang menjadi salah satu ikon pariwisata di Ambon yaitu Rujak Natsepa. Saat saya sedang berada di Ambon, ada teman yang bertanya, “Sudah makan rujak Natsepa ?” beruntung saya bisa menjawab, “Sudah dong” karena memang hari pertama berada di Ambon, kami langsung pergi kesana.

Pantai Natsepa terletak di Desa Suli, Maluku Tengah, kalau dari Kota Ambon, kita akan lebih dahulu menemukan pantai ini daripada Pantai Liang. Di sepanjang jalan menuju obyek wisata Pantai Natsepa sudah banyak deretan warung semi permanen terbuka yang menjual Rujak dan Kelapa Muda. Saya mencicipi rujak dari kedua tempat ini, baik yang didalam maupun di luar. Deretan warung yang didalam sangat warna warni dengan dominasi warna kuning, yang cantik berada di antara tepian pantai berpasir putih.

rujak3Rujak Natsepa berbeda dengan rujak di Jawa, terutama bumbunya, di Natsepa tidak menggunakan air asam (catatan : asam Jawa matang dimasak dengan air) tapi langsung diambil dari air buah lobi-lobi atau belimbing yang digerus bersama cabe rawit. Oma penjual sudah mempunyai gerusan kacang halus dan tinggal menambah dengan gerusan kacang kasar dan gula merah. Proses ini membuat bumbu rujak Natsepa kental dan khas. Namun ada juga yang tidak terbiasa dengan gerusan kacang kasar ini sehingga bisa minta agar kacang digerus lebih halus. Campuran buahnya beraneka ragam dan diiris kasar. Dengan harga Rp 12.000,- (Dua belas ribu rupiah) per porsi, kesegaran buah dengan asam manis pedas dan gurihnya kacang sudah bisa dinikmati dengan semilir sepoi-sepoi angin Pantai Natsepa.

rujak2Bagi yang menyukai kacang seperti saya, bumbu rujak ini memang paling cocok karena sebanyak apapun kita mengambil bumbu, bumbu kental ini tidak akan menetes, hm puas makan kacang atau puas makan rujak buah ? Tentu dua-duanya dong

rujakrj1

Bumbu kacang ini juga bisa dibawa sebagai oleh-oleh lho, seporsinya diberi harga Rp 75.000,- bisa mengobati lidah yang rindu pada rasa bumbu khas Natsepa ini 🙂

Pantai NatsepaKeindahan Pantai Natsepa dan Rujaknya yang mendunia, ada disini. Selamat berkunjung dan Selamat Menikmati Rujak Natsepa dengan bumbu kacang yang menggiurkan 😉

Review Menginap di All Seasons Hotel Denpasar Bali

Dalam perjalanan kami ke Bali kali ini, aku dan suami memilih menginap di All Seasons Hotel yang terletak di Jalan Teuku Umar, Denpasar. Memilih hotel ini sebelumnya karena letaknya berdekatan dengan hotel tempat kelompok Paduan Suara anak-anak kami menginap. Oh ya kami ke Denpasar Bali dalam rangka memberi dukungan pada anak-anak yang mengikuti lomba Paduan Suara Bali International Choir Festival 2014 yang berlangsung dari tanggal 27 Agustus 2014 sampai dengan 1 September 2014. Yang kedua karena Hotel All Seasons adalah anggota dari Accor Hotels yang memberlakukan sistem point untuk anggota Le Club nya jika memesan kamar melalui booking langsung, melalui website resmi Accor atau walk in dengan personal account. Yang ketiga karena lokasinya di pusat kota, maka sudah pasti dekat dengan wisata kuliner di sepanjang Jalan Teuku Umar yang tidak pernah sepi sepanjang hari.

Hotel dengan 153 kamar ini menampilkan desain kontemporer dengan dominan warna hijau orange dan ungu yang ada di setiap bagian hotel

Kamarnya yang cukup luas dengan tempat tidur double yang besar, dilengkapi dengan TV LCD dan fasilitas hotel lain sesuai standar. Selama 4 malam kami berada disana, setiap hari kamar dibersihkan, handuk diganti sehingga kenyamanan terjamin

Sarapan nya juga cukup bervariasi, selain menu prasmanan, setiap pagi juga disediakan menu makanan masakan khas Bali.

Walau tidak tersedia fasilitas kolam renang seperti yang umumnya dicari anak-anak, namun hotel mempunyai tempat fitnes dan secara keseluruhan pengalaman ku dan suami selama menginap disana cukup nyaman dan menyenangkan. Karyawan ramah dan siap membantu dari petugas front office sampai satpam dan room boy.

Selamat berlibur dan menginap di hotel ini 🙂 sangat direkomendasikan bagi anda yang ingin menginap baik untuk keperluan dinas ataupun berwisata karena lokasinya yang sangat strategis di pusat kota.

The Colours of Ubud Market

Ubud Art Market is located in the center of Ubud, not far from Puri Saren. Ubud Market was the center of attention because there are all kinds of art goods there. Art goods are paintings, garments, handicrafts, blankets, bed covers, cloths, tenun ikat, wood carving, stone carving, metal ornaments, leather bags and much more, there. It’s interesting, all in beautiful color diversity.

The market is open from early morning until 18.00. If you want to shop there, you should bargain price offered by the seller. I like to be there but tired of bargaining 🙂 just enjoy it ….

Keindahan Terasering di Tegalalang

Terasering adalah lapisan tanah pertanian yang dibuat bertingkat-tingkat, dibuat secara alami ataupun mengikuti kontur tanah yang ada. Selain mencegah longsor, pembentukan terasering ini juga memudahkan sistem pengairan lahan pertanian yang ada karena sesuai sifatnya air akan mengalir ke bawah.

Ada banyak Terasering di Bali, salah satunya yang dimanfaatkan menjadi Obyek Wisata adalah Terasering di wilayah Tegalalang. Awal mulanya tempat ini tidak seramai sekarang, namun karena banyak wisatawan manca negara mengganggap ini sebagai sesuatu yang unik dan khas dari Ubud, maka tempat ini menjadi ramai dikunjungi. Ditambah lagi suasananya mendukung untuk sekedar leyeh-leyeh, duduk santai sambil ngopi atau makan ice cream.

Letaknya di Utara Bali, jika berkendaraan dari Pasar Ubud, maka hanya memakan waktu sekitar 30 menit saja. Sepanjang perjalanan, akan banyak ditemui tempat industri kerajinan, mulai dari logam, kayu dan patung bahkan juga lukisan

Masalah yang sama dengan banyak obyek wisata di Bali, lahan parkir menjadi salah satunya. Kendaraan diparkir di tepi jalan

Banyak tempat peristirahan dibuat di sepanjang Jalan Tegalalang ini, sehingga selain menikmati pemandangan dan hiking di pematang sawah, kita juga dapat memuaskan keinginan untuk berkuliner.

Nuansa Alam Ubud di ARMA

Agung Rai Museum of Art (ARMA) adalah Museum Seni yang didirikan Agung Rai di wilayah Pengosekan, Ubud, Bali. Museum ini selesai didirikan pada 27 Desember 1989 dan dibuka secara resmi pada tanggal 9 Juni 1996 oleh Prof Dr Ing Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada masa itu

Ada banyak Museum Seni di Bali, lalu mengapa memilih ARMA untuk dikunjungi ? ARMA dibangun di lokasi dengan kontur tanah yang naik turun dan memiliki nuansa alam Ubud. Bukan hanya lukisan dan patung seni bisa dinikmati disana, tapi juga landskap kebun dan tamannya yang tertata rapi.

Setelah membayar tiket masuk Museum seharga Rp 50.000,- (Lima puluh ribu rupiah), aku mulai merasakan hawa yang berbeda, suasana yang nyaman, suara burung-burung memecah keheningan siang itu, kebun yang begitu luas dengan tanaman anggrek yang ditempel pada pohon-pohon yang aku lalui bersama suami berdua saja.

Angin semilir bertiup, sama seperti beberapa Museum Seni yang sebelumnya aku kunjungi, tempat ini begitu tenang dan sepi padahal banyak orang datang tapi sepertinya tak seorangpun ingin mengganggu ketenangan satu sama lain dalam menikmati alam Ubud di ARMA ini. Kami mulai memasuki satu per satu bangunan yang ada untuk melihat lukisan yang dipamerkan di ARMA.

Museum Arma Ubud, memiliki lukisan dari berbagai aliran seni lukis yaitu Lukisan Kamasan, Lukisan Pre War, Lukisan dari orang Eropa yang tinggal di Bali dan Lukisan dengan aliran modern traditional. Yang dapat dilihat beberapa di link berikut ini.

Puas melihat lukisan, kami berjalan memasuki wilayah Resort yang resmi didirikan pada tahun 1982 dengan 15 kamar dengan nama “Puri Indah” yang berarti Indah Palace. Pada tahun 1995 Puri Indah berubah menjadi “Kokokan Hotel”. Pada tahun 2002 berubah menjadi “ARMA Resort” dengan tambahan 8 buah vila mewah. Total akomodasi menjadi 23 unit.

ARMA resort dibangun sebagai penggalangan dana untuk museum. Oleh karena itu kontribusi Anda dan mendukung sangat dihargai untuk program pelestarian seni dan budaya di bawah ARMA Foundation.

Hamparan padi di sawah yang masih menjadi bagian dari ARMA ikut menjadi perhatian kami, demikian juga restoran yang terletak di tepi sawah dengan pemandangan menghadap kesana. Puas menikmati lukisan dan berkeliling didalam ARMA, kami pun beranjak pulang. Namun penjaga tiket masuk mengingatkan kami bahwa tiket yang sudah dibeli tadi dapat ditukar dengan secangkir kopi atau teh. Waah siapa yang mampu menolak ?

Kami berdua melangkah kedalam Cafe ARMA menikmati secangkir kopi Bali yang panas menghilangkan penat dan seporsi tahu isi untuk cemilan menjelang makan siang.

Berkunjunglah kesana, kalaupun anda tidak menyukai lukisan atau barang seni, kita dapat menikmati suasana alam Ubud yang begitu tenang dan nyaman.