Membaca Raden Saleh Episode ke-12 ini, dipilihlah bab pada hal 285 dari buku novel sejarah Pangeran Dari Timur, yaitu bab Penangkapan Dipanegara. Pembacaan Episode ke-12 ini diselenggarakan di Toety Heraty Museum, yang dulu dikenal dengan nama Galeri Cemara 6, beralamat di Jalan HOS Cokroaminoto, Jakarta Pusat. Acara dimulai pada pukul 10.00, dimoderatori Bu Debra M Yatim.
Sebelum pembacaan novel, Bu Ananda Moersid, Doktor Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menyampaikan sharingnya yang berjudul Re-invention of Tradition. Kami juga dapat melihat proses pembatikan pada hari ini dari adik bu Ananda dan Mbak Aryani Tina Sitio.
Pak Kurnia Effendi dan Pak Iksaka Banu, mengawali pembacaan dengan menyampaikan latar belakang penulisan Bab Penangkapan Dipanegara.
Seperti kita ketahui dalam Catatan Sejarah bahwa Dipanegara dianggap sebagai pemberontak oleh Pemerintah Belanda sehingga ia ditangkap dan diasingkan.
Diponegoro (1785-1855), keturunan Sultan Yogyakarta dan putra tertua Hamengkubuwono III, dilewati dalam suksesi takhta tetapi tidak melepaskan klaim kepemimpinannya di kalangan priyayi. Dengan deklarasi perang suci melawan penjajah dan proklamasi dirinya sebagai Ratu Adil, ia memberontak melawan sultan yang berkuasa dan pemerintah kolonial Belanda.
Dalam perang yang berlangsung 5 tahun berikutnya di sebagian besar wilayah Jawa Tengah, lebih dari 200.000 tentara Jawa dan 15.000 tentara Belanda tewas. Setelah serangkaian kemenangan besar, sebagian besar pemimpin pemberontakan ditangkap dan peperangan mencapai titik balik yang menguntungkan Belanda. Pada tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro diundang oleh Letnan Hendrik Merkus de Kock ke wisma karesidenan di Magelang untuk menandatangani perjanjian perdamaian dan mengakhiri permusuhan. Ia ditangkap karena kebuntuan dalam negosiasi setelah menolak untuk mengakui statusnya sebagai pemuka agama umat Islam se-Pulau Jawa.
Kemudian ia dimasukkan ke dalam kereta ke Batavia (nama lama dari Jakarta), dari mana dikirim ke Manado di pulau Sulawesi; kemudian dipindahkan ke Makassar, di mana ia meninggal dalam pengasingan dua dekade kemudian. Diponegoro meninggalkan sejarah pemberontakan Jawa yang ditulis secara pribadi beserta autobiografinya
Pembacaan Bab Penangkapan Dipanegara kali ini, moderator memilih dua orang untuk membacakan satu halaman, dengan improvisasi pembacaan diserahkan pada tiap pasangan.
Lukisan Penangkapan Pangeran Dipanegara ini menjadi sangat begitu dikenal di dunia karena kemampuan Raden Saleh melukiskan peristiwa itu tersebut dari sisinya sebagai seorang pribumi, berbeda dengan karya seniman Belanda Nicolaas Pieneman dalam lukisan berjudul Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock (1830-1835).
Saleh melukis lukisan itu pada tahun 1856–1857, setelah itu ia secara pribadi menyerahkannya kepada Raja Willem III dari Belanda. Pada tahun-tahun berikutnya, kanvas ini disimpan di Istana Het Loo, Den Haag. Pada tahun 1978, lukisan itu disumbangkan kepada pemerintah Indonesia yang sudah merdeka, setelah itu dipamerkan di Museum Nasional Indonesia dan Istana Kepresidenan di Jakarta. Karena lukisan tersebut berada dalam keadaan yang buruk, lukisan tersebut sepenuhnya direstorasi pada tahun 2013. Kini lukisan tersebut menjadi bagian dari koleksi Museum Kepresidenan.
Salut pada duo penulis, yang menurut aku berhasil menghadirkan peristiwa Penangkapan Dipanegara ini dalam narasi sepanjang 10 halaman, dengan dialog dan gambaran peristiwa yang membuat aku semakin memahami gambaran peristiwa tersebut.
Kegiatan Membaca Raden Saleh bersama pembaca yang hadir ini, selalu kuusahakan untuk kuhadiri karena seperti disampaikan Pak Kurnia Effendi, pemilihan tempat penyelenggaraan diusahakan sedekat mungkin berhubungan dengan sang tokoh, yaitu Raden Saleh. Selain Bincang Batik dan Pembacaan Bab dari novel sejarah ini, kami juga bertemu dengan para pembaca yang lain, sesama pecinta sejarah dan pembaca buku tentunya, sehingga dalam acara ini juga diadakan Book War, agar kita juga terus menambah wawasan dan mau membaca banyak buku dari perbagai genre.
Acara ini tak terlepas dari kebaikan hati Mbak Endah Sulwesi, yang rajin menginformasikan kegiatan, mencatat peserta, mengurus konsumsi, mencatat registrasi dan banyak hal lain, yang kadang tak terpikirkan oleh peserta.Terima kasih Mbak Endah, sehat selalu ya.
Salam literasi, sampai jumpa di kegiatan MRS berikutnya.
Sumber Foto : Pribadi dan Teman2 di WAG Reading PDT