
Dulu, apa ya yang mereka bicarakan? apakah tentang kelomang dan siput yang masuk kedalam pasir karena gelombang air laut? Atau mungkin tentang kedua anjing yang terpaksa dititip karena kami berlibur? Atau mungkin film di televisi yang akan mereka tonton selepas belajar? Atau guru yang terlalu banyak memberi tugas? Atau teman yang kerap ikut makan bekal mereka? Atau mama yang terlalu berisik membangunkan mereka di hari sekolah?
Sekarang, dengan berjalannya waktu yang serba cepat, pembicaraan mereka sudah melebihi apa yang bisa kupikirkan, mungkin pengaruh pesatnya teknologi, wawasan mereka mendunia walau mereka menjalani dunia kerja dari nol, dari level terendah, khususnya untuk kakak yang bekerja dan studi di luar. Mereka menjadi seperti ini bukan tiba2, mereka bertumbuh dan berproses. Mereka sadar, kami, orangtuanya hanya membekali mereka dengan pendidikan dan pengetahuan juga agama. Kami bukan siapa-siapa, sehingga tidak dapat memberi hak istimewa (privileged) apa-apa.
Mereka berjuang dengan doa kami. Mereka bangun pagi, pulang malam, berdesakan dengan kaki satu menggantung di KRL demi masa depan mereka sendiri. Atau kakak mbarep yang harus menjalani 2 dari 3 shift karena ramainya resto dan kurang sdm. Atau kakak tengah yang siap dikomplain pelanggan dengan bahasa yang antah berantah 7/24. Atau si bungsu yang mestinya bebas magang (karena prestasi akademik dan keaktifannya berorganisasi di kampus) tapi tetap memilih magang untuk mengenali dunia kerja. Mereka mesti mampu bertahan dan berjuang dalam setiap aspek di kehidupan nyata. Mereka selalu saling mendukung dan berkomunikasi untuk banyak hal dengan berbagai cara, karena berbeda lokasi.
Kalau disebut generasi mereka generasi “manja”, aku tidak setuju, ada banyak anak muda Indonesia yang berjuang untuk masa depan Indonesia, dengan mulai dari memperbaiki dirinya dan hidup mandiri. Kiranya Tuhan selalu menyertai mereka dan anak Indonesia yang sedang berjuang. Amin