Aku “Hidup” Buat Mereka Hidup

When you buy something from an independent artist, you are buying more than an object (or a video, or a book, or a story). You are buying hundreds of hours of experimentation and thousands of failures.

You are buying days, weeks, months, years of frustration and moments of pure joy.

You aren’t just buying a thing. You are buying a piece of heart, part of a soul, a private moment in someone’s life.

Most importantly, you are buying that artist more time to do something they are truly passionate about; something that makes all of the above worth the fear and the doubt; something that puts the life into the living.


Rebekah Joy Plett

hand

Sebelum serius berbasah ria dengan pewarnaan kain teknik shibori, aku belajar membuat decoupage, namun aku merasa tidak telaten dengan kerajinan itu. Jadi setelah mengikuti workshop shibori, aku merasa klop dan berniat mengetahui tentang teknik-teknik shibori, aku semakin mengerti bahwa suatu pekerjaan seni itu butuh ketelatenan, kesabaran dan latihan terus menerus.

Untuk teknik mokume, aku mesti rela menjelujur semua pola yang aku buat dan menarik kuat-kuat setiap jelujuran yang sudah dibuat. Demikian juga untuk teknik yanagi yang unik, yang menghasilkan pola-pola garis seperti gurat pada batang pohon, kain mesti digulung kuat dengan tali dan ditarik kuat-kuat.

Selebihnya, di awal belajar shibori, aku yang ga sabaran ini, selalu ingin cepat-cepat membuka ikatan shibori saat sudah kering, tapi ternyata salah satu resep rahasianya agar tie-dye atau pewarnaan ini makin menyerap, mesti dikeringkan beberapa hari, tanpa sinar matahari untuk hasil yang lebih baik.

Belajar shibori juga mau belajar kotor atau belepotan karena walau sudah menggunakan sarung tangan, pasti ada aja sarung tangan yang “bocor halus” macam ban mobil aja, akibatnya ya seperti gambar di atas. Belum lagi setelah itu mesti siap membersihkan kamar mandi dan ember-ember serta peralatan dari sisa-sisa pewarna, yang saat ini masih menggunakan bahan kimia naptol dan procion.

Lalu….saat menetapkan harga, orang bilang eh kok mahal ya, cuma kain 2 kali 1 meter aja ? Nah kalau mau dibilang, aku ini bukan orang yang tegaan, sungguh, di awal mulai menjual produk seni shibori ini, aku ya survei dulu lah sama “guru-guru” ku, aku juga sempat nanya, “emang ada yang mau beli harga segitu ?” eh ada dong, begitu jawabnya, bahkan kalau pakai pewarna alami, yang proses celupnya selapis demi selapis, itu harganya bisa 2 sampai 3 kali lipat dari kain shibori pewarna kimia. Jegluk. Ngiler tapi belum tahan ngikuti proses pembuatannya.

Sama dengan pekerja eh artis seni yang lain, setiap proses akan butuh trial dan error, seperti salah seorang teman yang mengerjakan lettering on mug, beliau ini mencoba beberapa kali pecah mug sampai menemukan suhu yang pas untuk mugnya, supaya letteringnya awet menempel di mug dan mug nya ga pecah. Coba bayangkan berapa mug yang sudah jadi “korban” atau “dikorbankan”, belum lagi belajar letteringnya, yang bikin tangan jadi meringkel ikal ?

Membuat shibori juga ga selalu sukses, walau hampir 80% apa pun itu hasilnya selalu membuat suprise karena hasilnya ga pernah bisa ditebak. Yang sering bikin sedih kan jika ada pesanan, pemesan sudah tunjukkan pola yang diinginkan tapi ternyata hasil yang muncul tidak sesuai dengan gambar yang dipesan, walau di awal sudah diinfo bahwa hasil tidak akan pernah bisa sama. Tapi ya inginnya sih selalu bisa memuaskan pelanggan ya, jadi hampir sering bikin ulang lagi atau konfirmasi ke pemesan, mau ga hasilnya seperti ini.

Quote di atas bener-bener jleb buat aku untuk lebih menghargai karya seni yang dibuat setiap artis atau pengrajin. Semakin menghargai karena sudah terjun di sana sehingga tahu bagaimana sulitnya membuat, waktu yang digunakan dan latihan yang mesti dilakukan untuk bisa mendapat hasil yang baik.

Dua hal yang menjadi pengingatku dari quote di atas, yang pertama adalah tetap semangat untuk berkarya dan kedua untuk semakin menghargai setiap karya seni apa pun itu.

Betul banget quote di atas, setiap karya seni yang (aku) hasilkan di Rumah Tanjung, persentase nya aku sisihkan untuk membantu Rumah Baca di seluruh pelosok negeri, tidak bisa bersamaan sekaligus dan bergiliran saja. Sekali waktu di Serang Banten, sekali waktu di Taman Baca di NTT atau di tempat lain. Setiap karya yang aku hasilkan membuat aku “hidup” agar orang lain juga bisa hidup melalui buku bacaan atau pun mau belajar gratis buat siapa pun yang tidak mampu, bisa lho

Mari terus berkarya dan menghargai setiap karya seni 🙂