Tradisi Idul Fitri Kenangan Masa Kecil

Kenangan Idul Fitri masa kecil, kami juga punya tradisi itu. Tradisi tentunya yang pertama, tidak jauh dari kuliner. Ketupat, sayur labu siam, opor ayam, sambal goreng ati dan terutama gule kambing masakan Ibu, sebagian yang selalu kami rindukan. Dan Ibu memasaknya sendiri, bumbu hasil racikan sendiri, bukan bumbu jadi, tentu dibantu kami untuk persiapan kupas kentang, potong ati sapi dan lain-lain, yang tidak berhubungan dengan bumbu.
 
Setelah sarapan pagi dan menerima kerabat yang berkunjung ke rumah, biasanya kami akan pergi nyekar dan sowan ke keluarga yang merayakan Idul Fitri di Jakarta, jika kami tidak berlebaran di rumah Eyang di Jawa. 

 

Saat berada di Jakarta, yang pertama akan kami kunjungi adalah kerabat yang dituakan dari pihak Bapak, yaitu Eyang Soebijono, SH (kami biasa memanggil beliau Mbah Bono), beliau adalah adik Eyang putri. Sedangkan bila berada di Jawa, kami akan nyekar keempat tempat di Ngawi, lalu sowan ke rumah Eyang Buyut R. Darmo Wijoyo, berlebaran di sana. Kebetulan rumah Eyang Buyut dari pihak Bapak tepat di depan rumah Eyang R. Koeshartoyo dari pihak Ibu. Jadi kami bisa berlama-lama di sana, sebelum melanjutkan perjalanan kami ke Madiun dan Malang, melewati Ponorogo, untuk nyekar ke makam Eyang Buyut dari pihak Ibu (Eyang R Koesiyar) di Taman Arum, dan mampir ke Tulung Agung ke rumah Eyang R. Suharmadi dan Eyang R. Sumedi (pakde dan paklik Ibu, kang mas dan adik dari Eyang Kung)

Tradisi kuliner Lebaran di rumah adalah salah satu tradisi yang selalu menjadi kenangan kami, karena masakan Ibu menjadi perekat kami bersama keluarga dan kerabat.

Tradisi silaturahmi, sowan atau bersalam-salaman, juga salah satu tradisi yang selalu dipertahankan dalam keluarga kami. Mungkin buat anak seusia kami saat itu, ada keengganan untuk pergi dalam kegiatan seperti itu, namun Bapak Ibu selalu mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kekeluargaan itu dalam keluarga besar kami yang cukup majemuk. Ada berbagai suku dan agama. Dan kami, sejak kecil, sudah belajar mengenai hal itu. Jadi seandainya ada hal perpecahan atau keributan terjadi karena masalah agama dan suku, itu menjadi suatu yang agak aneh buat kami, yang sudah biasa dengan perbedaan. Namun, sekarang, kami sebagai orang tua, yang wajib mengajarkan kembali pada anak-anak kami saat ini, bahwa kita harus bisa menerima orang-orang yang tidak bersedia menerima perbedaan itu. Dan itu wajar saja juga.

Ada juga hal yang menarik saat sowan ke rumah Eyang atau kerabat Bapak yang lebih tua, ntah itu mungkin menarik bagi sebagian anak kecil, yaitu adanya amplop alias angpao 🙂 di awal, aku sempat bertanya pada Ibu, mengapa kalau kita datang selalu diberi uang? Waktu itu ada berbagai versi penjelasan dari Bapak dan Ibu, ada yang mengatakan sebagai bentuk hadiah setelah berpuasa sebulan penuh dan ada juga yang mengatakan bahwa itu sebagai bentuk terima kasih karena kita telah datang berkunjung dan mengingat mereka sebagai “orang tua”. Keduanya masuk akal dan dapat diterima saat itu.

Kesatuan yang sempurna sejatinya adalah penyatuan dengan orang-orang yang berbeda dan beragam. Beda dalam segala hal, pendapat, pikiran, perasaan, yang lebih hakiki dari pada hanya berbeda agama dan suku bangsa. Itu yang selalu diajarkan Bapak.

Semoga tahun ini diberi kesempatan lagi untuk sowan dan silaturahmi ke keluarga Bapak Ibu yang masih ada. Kangen pakde bude, om tante dan sepupu-sepupuku.

Kangen Bapak Ibu. Berbeda namun tetap saling menghormati dan menyayangi sebagai keluarga.

 

Foto Halal Bi Halal Lebaran Tahun 2018 (Keluarga Besar Bapak – Eyang Buyut R. Darmo Wijoyo dan Keluarga Besar Ibu – Eyang Buyut R. Koesiyar)

 
IMG-20180715-WA0128
37393354_268498193959553_9161661113522192384_n(1)Selamat menyambut Idul Fitri, Minal Aidin Wal Faizin, Mohon maaf lahir dan batin. Kiranya kesucian hati meringankan langkah kita dalam mendekatkan hati pada Allah dan sesama. Amin.

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1440 H (3)