Tulisan ini dibuat terinspirasi dari tulisan rekanku Imelda yang pernah ditulisnya 3 tahun lalu di blog TE nya disini , namun kalau sembab mata Imelda disebabkan karena anak-anaknya yang sedang lucu dan aktif, sembab mataku disebabkan karena ketidaksabaranku pada Ibu dan kurasa pernyataan maaf dan tangisku tidak cukup untuk menghilangkan penyesalan diriku sendiri atas perbuatanku pada Ibu.
Kemarin pagi, Ibu terjatuh (lagi) saat berjalan dari ruang makan ke kamarnya, terjatuh di depan pintu kamar, yang tinggal beberapa langkah sampai di tempat tidurnya. Kami semua terkejut dan berlari ke kamar Ibu. Memang pagi-pagi, kami semua sibuk (sekali) menyiapkan ini dan itu dalam waktu pendek dan agar semua siap berangkat pada pukul 6.30 pagi. Jadi setelah menyiapkan sarapan Ibu di meja makan, yang didahului dengan memandikan Ibu, kadang oleh pembantu, kadang juga aku (kalau si bungsu bisa ‘bekerja sama’ dengan baik), Ibu akan aku dudukkan di kursi di ruang makan.
Singkat cerita, biasanya setelah Ibu mandi dan duduk manis di meja makan, aku menganggap semua akan baik-baik saja. Ntah mungkin Ibu juga tidak ingin merepotkan siapa-siapa, maka dengan merayap-rayap, melipir, berpegangan kursi dan meja untuk masuk ke kamar. Di tengah kesibukanku, aku juga masih melihat keadaan Ibu. Selain itu, biasanya memang aku selalu menahan Ibu untuk duduk dulu diluar, agar tidak kebanyakan tidur yang kurang baik buat kesehatannya. Itu juga salah satu penyebab Ibu memilih berjalan sendiri masuk ke kamar tanpa bantuan siapa-siapa, sehingga terjatuh.
Sebelum berangkat kerja, aku sudah menanyakan apakah perlu dipanggil tukang pijat. Pagi itu, ibu masih bisa duduk di tempat tidur. Namun, sore hari nya saat aku pulang dari kerja, dan aku memasuki kamar Ibu, aku melihat Ibu masih menggunakan baju daster yang sama, berarti Ibu belum mandi dan yang mestinya dilakukan oleh dua orang pembantuku, yang memang keduanya tidak tinggal menginap di rumah. Belakangan ini mereka memang selalu terburu-buru pulang, ntah memang Ibu yang tidak mau dimandikan karena badannya sakit atau kedua pembantuku ini tidak berhasil membujuk beliau untuk mandi.
Ibuku, penderita diabetes, walau kadar gula dalam darahnya selalu kami pantau, tapi urine Ibu masih banyak dan semestinya pampers yang digunakan sudah diganti minimal 4 jam sekali. Jadi bisa dibayangkan kan apa yang terjadi, jika ibu aku tinggalkan di rumah hampir 10 jam ? wangi semerbak apa yang memenuhi kamar dan rumah yang kecil ini. Oh lelahnya aku saat itu, mana harus membopong Ibu ke kamar mandi dalam kondisi Ibu yang sedang susah berjalan itu 🙁
Aku lelah, aku marah, ntah kadang marah bisa tak terarah, ntah aku marah kepada siapa, aku marah kepada dua pembantuku, mengangkat Ibu dengan dua orang tentu lebih ringan daripada aku seorang diri kan ? Agak memaksa aku membawa Ibu ke kamar mandi, dengan menggerutu dan dengan mengomel.
Oh berdosanya aku ini, maafkan aku, Ibu, kenapa aku harus marah, kenapa aku harus merasa kesal ? Sudah seharusnya kan memang aku lakukan ini semua untuk Ibu, yang telah melahirkan aku, merawatku sejak kecil, menjaga aku, menyuapi aku, memandikan aku, mengganti popok dan celanaku, membersihkan pup dan muntahku (karena aku gampang muntah waktu balita), kenapa sekarang aku harus menjadi anak yang tidak sabar kepada Ibu ? Aku berusaha ikhlas menjaga dan merawat Ibu, kenapa aku harus menggerutu dan mengomel saat Ibu sakit. Dan satu hal, Ibu membuat aku jadi wanita yang mandiri, yang kuat dan tidak bergantung pada siapapun sejak aku masih kecil. Ibu, wanita yang luar biasa kuatnya, baik hati maupun fisik, kekerasan hati dan wataknya yang kadang berlebihan bagi orang lain, membuat aku menjadi orang yang kuat. Ibu juga membuat aku menjadi orang yang seperti saat ini, yang tidak takut apapun selain pada Tuhan saja.
Sore itu setelah Ibu mandi dan berbaring, aku cepat memanggil tukang urut dan betul ternyata, ada yang tidak beres di paha kiri dan punggung Ibu. Kaki dan telapak kakinya juga dingin. Ya Tuhan, ampunilah dosa dan ketidaksabarankukepada Ibu, maafkan Adjeng ya bu, semoga Ibu cepat sembuh.







Hari Sabtu, 26 September 2009 ini, aku mengantar ibu untuk bersilaturahmi ke rumah adik ibu, tante Puni yang merayakan hari raya Idul Fitri. Tante dan keluarganya tinggal di Bekasi Barat. Tante adalah satu-satunya adik ibu yang beragama Muslim dan sebagai saudara, kami juga ingin ikut berbagi kebahagiaan bersama mereka. Karena masih pagi dan suasana libur, kami berangkat pukul 08.00 pagi melewati tol JORR, keluar pintu tol Bekasi Barat. Walau sudah lama tidak berkunjung kesana, aku masih ingat betul tempat tinggal adik ibuku ini.
Kanak-kanak), namun beliau serius menekuni bidang pendidikan ini, sehingga akhirnya memiliki Taman Kanak-kanak sendiri yang telah terakreditasi A saat ini. Walaupun memiliki murid hanya kurang lebih 60 orang tiap tahun ajaran, namun sekolah ini tidak pernah sepi dengan peminat.



Sementara kami berbincang-bincang, anakku, Daniel dan keponakanku, Petroza, bermain-main di halaman TK dan kurang lebih pukul 10 pagi, kami disuguhi sarapan Soto Ayam ala tante Puni, yang memang jago masak. Soto Ayam komplit, dengan sate jerohan, telur, toge, kol rebus dan sambal rebus…hm sedap..ditambah lagi dengan rujak serut yang asam manis…duh segarnya….

Ibu sudah tampak kelelahan, tidak ada kursi yang enak diduduki di ruang tunggu. Badanpun sakit duduk terus menerus di kursi roda. Kami mendengar pengumuman lagi bahwa pesawat kami akan didelay untuk yang kedua kalinya. Gate yang semula ditunjukkan untuk kami lalui, ternyata berupa tangga dengan undak-undakan. Kepalaku berdenyut-denyut, bagaimana caranya menurunkan ibu dengan tangga seperti ini, mengapa tidak ada tangga belalai yang langsung menghubungkan boarding room ke badan pesawat. Huh kesal aku, padahal diantara kami, ada sekitar 5 penumpang dalam kondisi sakit. Aku menghubungi petugas counter Air Asia di boarding room dan menyampaikan keluhan kami. Penumpang lain sudah tampak kelelahan, mereka duduk di karpet ataupun tiduran, sementara toko-toko dan resto di bandara mulai tutup. Akhirnya kembali diumumkan, gate kami dipindahkan dengan tangga berbelalai. Syukurlah. Kami mulai antri berdiri. Penumpang yang sakit dan pendamping antri di bagian depan. Aku terpisah dengan adik dan ibuku. Aku berbarengan dengan TKW-TKW, yang uh maaf, bau badannya alamak dan bicara tanpa arah tentang pekerjaan mereka dan majikannya tentunya.



Mulai siang itu, ibu harus dirawat di RS. Aku mulai mengurus administrasi, mencari kamar dan memberi deposit. Sementara adikku menemani ibu. Eda dan ibu mertuaku kembali ke penginapan karena malam ini mereka akan kembali ke Jakarta. Ibu memang tampak lemah dan lelah. Hasil lab pagi itu menunjukkan gula darah diatas 400 dan tekanan darah yang cukup tinggi. Hal ini bisa saja disebabkan karena faktor kelelahan dalam perjalanan dan tegang dari diri ibu sendiri. Aku menangis dalam hatiku, ibuku yang baru berusia 63 tahun itu tampak jauh lebih tua dari ibu mertuaku yang berusia 82 tahun.





Hanya sekitar 5 menit dari apartemen, kami sudah tiba di RS. Penang Adventist Hospital, adalah sebuah RS yang terletak di Jalan Birma, Penang, yang dikelola oleh Gereja Advent Hari Ketujuh. Jalan Birma adalah sebuah jalan dengan lebar kurang lebih 4 meter, jalan yang teduh, dilindungi pohon-pohon besar di kanan kirinya, seperti jalan Dago di Bandung. Sepanjang jalan itu, ada beberapa pertokoan yang tidak terlalu besar dan juga banyak kedai dan gerobak makanan yang sudah bisa dipastikan kelezatannya, antara lain nasi campur, nasi ayam hainam dan laksa ayam juga laksa penang.





