Maafkan Aku

Tulisan ini dibuat terinspirasi dari tulisan rekanku Imelda yang pernah ditulisnya 3 tahun lalu di blog TE nya disini , namun kalau sembab mata Imelda disebabkan karena anak-anaknya yang sedang lucu dan aktif, sembab mataku disebabkan karena ketidaksabaranku pada Ibu dan kurasa pernyataan maaf dan tangisku tidak cukup untuk menghilangkan penyesalan diriku sendiri atas perbuatanku pada Ibu.

IMG01035-20120822-0853

Kemarin pagi, Ibu terjatuh (lagi) saat berjalan dari ruang makan ke kamarnya, terjatuh di depan pintu kamar, yang tinggal beberapa langkah sampai di tempat tidurnya. Kami semua terkejut dan berlari ke kamar Ibu. Memang pagi-pagi, kami semua sibuk (sekali) menyiapkan ini dan itu dalam waktu pendek dan agar semua siap berangkat pada pukul 6.30 pagi. Jadi setelah menyiapkan sarapan Ibu di meja makan, yang didahului dengan memandikan Ibu, kadang oleh pembantu, kadang juga aku (kalau si bungsu bisa ‘bekerja sama’ dengan baik), Ibu akan aku dudukkan di kursi di ruang makan.

Singkat cerita, biasanya setelah Ibu mandi dan duduk manis di meja makan, aku menganggap semua akan baik-baik saja. Ntah mungkin Ibu juga tidak ingin merepotkan siapa-siapa, maka dengan merayap-rayap, melipir, berpegangan kursi dan meja untuk masuk ke kamar. Di tengah kesibukanku, aku juga masih melihat keadaan Ibu. Selain itu, biasanya memang aku selalu menahan Ibu untuk duduk dulu diluar, agar tidak kebanyakan tidur yang kurang baik buat kesehatannya. Itu juga salah satu penyebab Ibu memilih berjalan sendiri masuk ke kamar tanpa bantuan siapa-siapa, sehingga terjatuh.

Sebelum berangkat kerja, aku sudah menanyakan apakah perlu dipanggil tukang pijat. Pagi itu, ibu masih bisa duduk di tempat tidur. Namun, sore hari nya saat aku pulang dari kerja, dan aku memasuki kamar Ibu, aku melihat Ibu masih menggunakan baju daster yang sama, berarti Ibu belum mandi dan yang mestinya dilakukan oleh dua orang pembantuku, yang memang keduanya tidak tinggal menginap di rumah. Belakangan ini mereka memang selalu terburu-buru pulang, ntah memang Ibu yang tidak mau dimandikan karena badannya sakit atau kedua pembantuku ini tidak berhasil membujuk beliau untuk mandi.

Ibuku, penderita diabetes, walau kadar gula dalam darahnya selalu kami pantau, tapi urine Ibu masih banyak dan semestinya pampers yang digunakan sudah diganti minimal 4 jam sekali. Jadi bisa dibayangkan kan apa yang terjadi, jika ibu aku tinggalkan di rumah hampir 10 jam ? wangi semerbak apa yang memenuhi kamar dan rumah yang kecil ini. Oh lelahnya aku saat itu, mana harus membopong Ibu ke kamar mandi dalam kondisi Ibu yang sedang susah berjalan itu 🙁

Aku lelah, aku marah, ntah kadang marah bisa tak terarah, ntah aku marah kepada siapa, aku marah kepada dua pembantuku, mengangkat Ibu dengan dua orang tentu lebih ringan daripada aku seorang diri kan ? Agak memaksa aku membawa Ibu ke kamar mandi, dengan menggerutu dan dengan mengomel.

Oh berdosanya aku ini, maafkan aku, Ibu, kenapa aku harus marah, kenapa aku harus merasa kesal ? Sudah seharusnya kan memang aku lakukan ini semua untuk Ibu, yang telah melahirkan aku, merawatku sejak kecil, menjaga aku, menyuapi aku, memandikan aku, mengganti popok dan celanaku, membersihkan pup dan muntahku (karena aku gampang muntah waktu balita), kenapa sekarang aku harus menjadi anak yang tidak sabar kepada Ibu ? Aku berusaha ikhlas menjaga dan merawat Ibu, kenapa aku harus menggerutu dan mengomel saat Ibu sakit. Dan satu hal, Ibu membuat aku jadi wanita yang mandiri, yang kuat dan tidak bergantung pada siapapun sejak aku masih kecil. Ibu, wanita yang luar biasa kuatnya, baik hati maupun fisik, kekerasan hati dan wataknya yang kadang berlebihan bagi orang lain, membuat aku menjadi orang yang kuat. Ibu juga membuat aku menjadi orang yang seperti saat ini, yang tidak takut apapun selain pada Tuhan saja.

Sore itu setelah Ibu mandi dan berbaring, aku cepat memanggil tukang urut dan betul ternyata, ada yang tidak beres di paha kiri dan punggung Ibu. Kaki dan telapak kakinya juga dingin. Ya Tuhan, ampunilah dosa dan ketidaksabarankukepada Ibu, maafkan Adjeng ya bu, semoga Ibu cepat sembuh.


Saat Kurindu Bapak….

Sore itu entah kenapa aku lelah sekali dan saat pulang kantor ada salah paham dengan ibu. Aku memang kadang agak emosi jika seseorang tidak menuruti apa yang sudah menjadi ketetapan aturan, demikian pula yang terjadi dengan ibu sore hari itu. Menurut laporan dari pembantu dan anakku, siang itu Eyang ingin keluar rumah, padahal kondisi ibu tidak memungkinkan untuk keluar rumah, tentu saja itu menjadi kerepotan tersendiri buat orang-orang di rumah mengawasi ibuku. Aku kesal dan aku mengganggap ibu tidak menurut dan tidak mengikuti aturan. Sementara ibuku sendiri menganggap dirinya tidak bersalah, dengan keinginannya sebagai hak pribadinya. Aku kesal dan tiba-tiba aku meneteskan airmataku di sofa, di depan televisi, aku teringat bapakku, aku rindu bapakku. Sewaktu beliau masih ada, aku bisa langsung menelpon atau bicara pada Bapak. Air yang menetes setitik-titik menjadi bertambah deras, setelah anak-anak gadisku berangkat les dan aku tinggal berdua di kamar dengan si bungsu. Aku menangis sejadi-jadinya.

Si bungsu yang sedang belajar menulis, terdiam, berhenti menulis dan bertanya, ‘mama… nangis? Kenapa ma?’

Aku menjawab sambil sesegukan, ‘iya….mama kangen Yang Kung’

‘Hehhh……………,’ Daniel menarik napas panjang, melanjutkan tulisan tangannya, ‘Mama berdoa aja’, jawabannya singkat.

Aku update status di FB sambil mendengarkan kata-kata Daniel. Di FB aku tulis… suddenly miss you, Bapak.

Yah, aku memang kangen Bapak, dulu waktu beliau masih ada, aku sering berdiskusi tentang apa saja, termasuk soal pekerjaan dan pujaan hati saat itu, dan bisa dimana saja, di mobil, ketika Bapak mengantar aku ke sekolah atau di rumah, walau kadang aku takut-takut masuk ke kamar atau ke ruang kerjanya, takut mengganggu istirahatnya, tapi setelah itu kami bisa berdialog panjang lebar dan aku saling curhat, ntah karena masalah di kantor ataupun hal-hal lain. Aku memang lebih sering ngobrol dengan Bapak daripada dengan Ibu, karena Ibu biasanya lebih sibuk dengan urusannya dan sering lebih panik untuk hal kecil sekalipun.

Dulu, waktu kami masih kumpul bersama dalam 1 rumah, setiap makan malam, selalu kami manfaatkan bersama-sama untuk saling cerita, tentang apa yang terjadi di sekolah, di tempat les ataupun selama Bapak berada di kantor. Sampai aku menikah dan punya anakpun, aku masih sering ngobrol dengan Bapak. Sekarang, rasanya belum ada orang yang bisa menggantikan posisi Bapak dalam urusan diskusi seperti ini, Bapak selalu punya waktu untukku dan selalu ada jawaban untuk aku. Siapa sekarang yang bisa seperti itu? Suamiku saja, hanya akan berkomentar seperlunya, atau hanya menganggukkan kepala, atau bergumam, ah dan uh saja. Mungkin terlalu lelah di kantor, sehingga sudah kehabisan energi untuk menjawab pertanyaanku…masih lebih baik berdiskusi atau curhat dengan anak-anakku yang cerdas.

Statusku mendapat komen dari tiga temanku, Dani, teman SMPku, Kris, teman sesama blogger dan Kak Yudhi, kerabatku

Diadjeng Laraswati H suddenly really miss you, Bapak…..:-(

    • V Pramodhawardhani Dhanny Bawa dalam doa aja jeng..

      · ·

    • Krismariana Widyaningsih didoakan mbak..

      · ·

    • Diadjeng Laraswati H ?@ Dani n Kris…trims ya atas perhatiannya..mngkn justru aku yg prlu didoakan..krn bapak kan sdh tenang dan nyaman di alamnya…pyuih kangen bgt, kangen bs ngobrol2 kayak dl..Puji Tuhan, saat ini msh ada Ibu, tp sm spt dl, ibu krg asyik diajak curhat2an…

      · ·

    • Yudhy Ulibasa Hutagalung Kakak, kalau aku rindu sama bapak ku, doa ku begini. Tuhan Yesus Aku Rindu sama bapak ku, Titip Salam Kangen ya. Terima Kasih Yesus sdh menyampaikan salam kangenku. Amin. Lucu nggak ya tp itulah yg ku lakukan. Kadang air mata menitik tp kl sdh doa langs kering deh itu pipi. hehehe

      · ·

    • Diadjeng Laraswati H ?@ kak Yudhy…iya ya..kmarin air mata ku bukan cm menitik tp banjir, hehe…lucunya anakku yg plg kcl blg, mama brdoa aja spy Eyang Kung dtg kesini, tp mesti copot sayapnya dl…anakku sll membayangkan Eyang Kung ada di surga mjd malaikat bersayap

      · ·

Ya…anakku selalu membayangkan, Eyang Kung yang sudah meninggal, sudah berada di surga, bersama dengan Tuhan Yesus, menjalankan tugas sesuai dengan hobinya, sebagai malaikat, bala tentara surga dengan saxophone kesayangannya. Hm kata-kata anakku sangat menghibur hatiku, cukup mengurangi rinduku dengan sarannya yang ringan agar Eyang Kung datang dengan melepaskan sayapnya (padahal bukan begitu kan keadaan yang sesungguhnya, nanti kuceritakan berikutnya ya)


Silaturahmi ke rumah Tante

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia online, si·la·tu·rah·mi adalah sebuah kata benda yang mempunyai arti tali persahabatan (persaudaraan), sedangkan ber·si·la·tu·rah·mi, yang merupakan sebuah kata kerja berarti mengikat tali persahabatan (persaudaraan), contohnya dalam sebuah kalimat,  mereka bersilaturahmi ke rumah sanak saudaranya.

Ibu dan Tante PuniHari Sabtu, 26 September 2009 ini, aku mengantar ibu untuk bersilaturahmi ke rumah adik ibu, tante Puni yang merayakan hari raya Idul Fitri. Tante dan keluarganya tinggal di Bekasi Barat. Tante adalah satu-satunya adik ibu yang beragama Muslim dan sebagai saudara, kami juga ingin ikut berbagi kebahagiaan bersama mereka. Karena masih pagi dan suasana libur, kami berangkat pukul 08.00 pagi melewati tol JORR, keluar pintu tol Bekasi Barat. Walau sudah lama tidak berkunjung kesana, aku masih ingat betul tempat tinggal adik ibuku ini.

Tante Puni, sama seperti ibuku, juga tamat dari SGTK (Sekolah Guru Taman mesjidKanak-kanak), namun beliau serius menekuni bidang pendidikan ini, sehingga akhirnya memiliki Taman Kanak-kanak sendiri yang telah terakreditasi A saat ini. Walaupun memiliki murid hanya kurang lebih 60 orang tiap tahun ajaran, namun sekolah ini tidak pernah sepi dengan peminat.

Kami tiba disana, kurang lebih 40 menit sejak kami berangkat. Rumah tersebut tidak berubah, tetap cantik dan asri. Di pojok, berdiri sebuah mesjid dan menempel dengan bangunan tempat tinggal, berdiri Taman Kanak-kanak yang cerah ceria sesuai karakter anak-anak, lengkap dengan aneka permainan, seperti ayunan, jungkat jungkit dan perosotan.

DSC04939

TK

papan nama TK

Halaman yg asri, ditanami adenium dan aneka tanaman hias

Tante Puni dan suaminya, Om Soekarno, kami biasanya memanggil dengan Pak No, mempunyai 5 orang anak, Katon, si sulung, sudah menamatkan S 3 nya dan memperoleh gelar Doktor di Inggris, menikah dengan seorang sarjana arsitektur dan dikaruniai 2 orang anak, laki dan perempuan. Kemudian nomor 2, Dian sudah menikah dengan seorang PNS dari kantor Pajak dan dikaruniai 2 orang anak laki. Berikutnya, Katrin yang juga sudah menikah dengan Budi, yang bekerja di Kumon. Katrin, adalah satu-satunya anak tante Puni yang berminat melanjutkan karir tante Puni di bidang pendidikan bagi anak-anak balita di TK mereka ini. Yang keempat adalah Alita Numpuni, yang rencananya akan menikah di bulan Desember tahun ini. Sedangkan si bungsu, Apicka, baru saja melanjutkan studinya di bidang ilmu sejarah di kampus UnPad, Jatinangor.

sotoSementara kami berbincang-bincang, anakku, Daniel dan keponakanku, Petroza, bermain-main di halaman TK dan kurang lebih pukul 10 pagi, kami disuguhi sarapan Soto Ayam ala tante Puni, yang memang jago masak. Soto Ayam komplit, dengan sate jerohan, telur, toge, kol rebus dan sambal rebus…hm sedap..ditambah lagi dengan rujak serut yang asam manis…duh segarnya….

Hari sudah menjelang siang, kami harus kembali pulang. Kami mendapat buah mangga gadung langsung dari pohon dan juga dua buah pot adenium untuk menambah koleksi ku di rumah. Mari kita jaga tali silaturahmi ini dengan sanak saudara, keluarga dan juga teman…berbagi kasih kepada siapapun, jangan berakhir pada hari raya saja, tapi seyogyanya kita bina terus di hari-hari ini, selama hayat masih dikandung badan….:-)

Ibu, Tante dan adikku, AnandaBerfoto sebelum pulang


Ibu pulih kembali (5)

Kami pulang ke Jakarta dengan pesawat Air Asia. Sebelumnya kami sudah mendapat kabar bahwa pesawat kami didelay selama 2 jam, jadi yang semula akan diberangkatkan pukul 18.00 menjadi pukul 20.00. Lega buat kami, karena kami masih membereskan barang dan ibupun masih beristirahat. Akupun masih sempat membeli makanan dalam boks untuk makan malam kami. Untuk menghindari kemacetan lalu lintas yang mungkin terjadi karena waktunya bertepatan dengan jam pulang kantor, kami dijemput Patrick Keong, adik dari pemilik apartemen pukul 18.00. Kami masih sempat menikmati kota Penang di sore hari dalam perjalanan kami menuju ke Bandara. Hampir sama seperti kebanyakan kota di luar Indonesia, Penang termasuk kota yang bersih, dengan bangunan-bangunan yang relatif kuno dan cukup tua. Yang masih menjadi pertanyaan buat aku, mengapa banyak burung gagak hitam yang terbang didalam kota dan hinggap di pohon-pohon yang ada di sepanjang jalan.

Masalah terjadi di bandara, tepatnya di counter Air Asia. Petugas menyampaikan bahwa tidak ada persewaan wheel chair jika tanpa pemberitahuan 2 hari sebelumnya, apa pula ini? Masak memakai kursi roda saja harus pesan dulu, bukankan Air Asia juga tahu bahwa ada banyak orang berobat ke Penang ini? Sementara ibu masih didalam mobil bersama Patrick Keong, kami, aku dan adikku beraduargumentasi dengan petugas di counter tersebut. Kami masih belum mendapatkan kursi roda padahal ibuku harus segera turun dari mobil. Akhirnya ibu kami papah turun dengan tongkat dan kamipun check in. Rupanya petugas tidak mempercayai bahwa ibu dalam keadaan sakit, karena akhirnya kami memperoleh kursi roda.

resize-of-picture-644 Ibu sudah tampak kelelahan, tidak ada kursi yang enak diduduki di ruang tunggu. Badanpun sakit duduk terus menerus di kursi roda. Kami mendengar pengumuman lagi bahwa pesawat kami akan didelay untuk yang kedua kalinya. Gate yang semula ditunjukkan untuk kami lalui, ternyata berupa tangga dengan undak-undakan. Kepalaku berdenyut-denyut, bagaimana caranya menurunkan ibu dengan tangga seperti ini, mengapa tidak ada tangga belalai yang langsung menghubungkan boarding room ke badan pesawat. Huh kesal aku, padahal diantara kami, ada sekitar 5 penumpang dalam kondisi sakit. Aku menghubungi petugas counter Air Asia di boarding room dan menyampaikan keluhan kami. Penumpang lain sudah tampak kelelahan, mereka duduk di karpet ataupun tiduran, sementara toko-toko dan resto di bandara mulai tutup. Akhirnya kembali diumumkan, gate kami dipindahkan dengan tangga berbelalai. Syukurlah. Kami mulai antri berdiri. Penumpang yang sakit dan pendamping antri di bagian depan. Aku terpisah dengan adik dan ibuku. Aku berbarengan dengan TKW-TKW, yang uh maaf, bau badannya alamak dan bicara tanpa arah tentang pekerjaan mereka dan majikannya tentunya.

Akhirnya kami sampai di Bandara Soekarno Hatta dengan selamat. Kami mengurus barang dan ibu menunggu kami. Tidak ada penjemputan karena sudah dapat dipastikan keterlambatan Air Asia akan sangat merepotkan para penjemput. Kami pulang dengan taksi yang dapat dipercaya menuju rumahku, sesuai kesepakatan ibu akan berada di rumahku sampai masa studi S2 ku selesai per 1 September 08, jadi ada kesempatan buatku memulihkan kesehatan ibu selama kuranglebih 1 bulan.

Ibu dalam masa-masa pemulihan, dengan diet yang ketat, obat-obatan dan istirahat yang cukup, akhirnya ibu kembali pulih. Hasil pemeriksaan pada 1 bulan pertama menunjukkan perbaikan yang signifikan. Anak-anak dan suamiku ikut mendukung dan mengerti bahwa aku sedang sangat memperhatikan kesehatan ibu. Terimakasih Tuhan atas kekuatan yang Kau berikan kepada kami, kepada ibu dan kami yang menjaganya.


Ibu dirawat di PAH (4)

resize-of-picture-535 Mulai siang itu, ibu harus dirawat di RS. Aku mulai mengurus administrasi, mencari kamar dan memberi deposit. Sementara adikku menemani ibu. Eda dan ibu mertuaku kembali ke penginapan karena malam ini mereka akan kembali ke Jakarta. Ibu memang tampak lemah dan lelah. Hasil lab pagi itu menunjukkan gula darah diatas 400 dan tekanan darah yang cukup tinggi. Hal ini bisa saja disebabkan karena faktor kelelahan dalam perjalanan dan tegang dari diri ibu sendiri. Aku menangis dalam hatiku, ibuku yang baru berusia 63 tahun itu tampak jauh lebih tua dari ibu mertuaku yang berusia 82 tahun.

Setelah kamar perawatan ibu selesai disiapkan, ibu masuk kedalam ruangan, berganti pakaian dan beristirahat. Suster dan dokter mulai berdatangan bergantian, mulai dari mengukur tekanan darah dan suhu tubuh, infus, suntikan insulin dan juga meminumkan obat. Akhirnya ibu bisa tidur dan beristirahat. Malam ini, adikku yang bertugas menjaga ibu. Aku kembali ke apartemen untuk sekedar memejamkan mata, karena aku tidak bisa tidur, aku ingat ibu…semoga keputusan kami membawa ibu berobat adalah keputusan yang benar.

Hari ke-2, pagi-pagi aku datang ke rumah sakit. Pertama, sudah tidak ada temanku di apartemen dan kedua, aku ingin cepat-cepat bertemu ibu. Aku berjalan kaki menuju RS, sebelumnya aku mampir di kedai pinggir jalan untuk membeli sarapan pagi, aku membeli kuetiau goreng dan teh susu. Pagi ini kami berdua menemani ibu. Kondisi ibu membaik, gula darah mendekati normal dan tekanan darah normal. Dr. Lim mengunjungi ibu dua kali dalam sehari. Kami menyempatkan pergi ke pertokoan dekat RS dan membeli bakpia kesukaan anakku, yang biasa dibawa Eda untuk si bungsu, di Wah Thai Native Product. Malam ini aku giliranku untuk menemani ibu di RS.


Hari ke-3, pagi-pagi aku terkejut luar biasa. Suster jaga berteriak karena ibu sudah turun dari tempat tidur dan berjalan sendiri ke RS. Aku kesal, aku takut ibu terjatuh. Kenapa ibu tidak membangunkan aku? Ibu tidak mau membangunkan aku karena kasihan melihat tidurku, ibu tidak tega. Aku kesal, kan sudah tugasku menjaga ibu, kalau sampai ibu terjatuh lagi, kita bisa tidak pulang hari ini, kataku. Kubawa ibu kembali ke tempat tidur. Kepalaku sakit sekali karena mendadak bangun. Aku mencoba untuk tidur lagi. Hari ini adalah hari penentuan kepulangan ibu. Kalau kondisi ibu membaik, terutama hasil CT Scan baik, maka ibu diijinkan pulang. Demikianpula harapan kami karena tiket kepulangan kami dijadwalkan hari ini dan telah diusahakan untuk reschedule tidak bisa karena tiket yang kami beli adalah tiket promo.

resize-of-picture-5991
Dr Lim melakukan kunjungan pagi ini dan sudah mengijinkan ibu untuk pulang serta memberikan sejumlah obat untuk dua bulan kedepan. Namun, ijin terakhir masih menunggu keputusan Dr. Ng Cheok Man, dokter muda, ahli neurosurgery berdasarkan hasil CT Scan yang akan dilakukan pagi ini. Pagi-pagi kami mengantar ibu untuk CT Scan, sesudah itu kami konsul ibu ke dokter mata. Menurut dokter mata, pecahnya pembuluh darah ibu juga sudah terjadi di mata, tidak ada hal lain yang bisa dilakukan, selain berdiet dan memakai obat tetes mata setiap hari. Oh Tuhan…..

Setelah dr. Ng Cheok Man mengunjungi kami dan menyampaikan hasil CT Scan ibu tadi pagi, dokter memberi ijin ibu untuk pulang dan juga diberi sejumlah obat. Ahli gizi juga datang mengunjungi ibu untuk memberi arahan mengenai diet yang harus dijalani ibu. Kami menebus obat-obat di apotik dan selanjutnya aku mengurus administrasi agar kami dapat pulang. Kira-kira pukul 14.00, urusan di RS selesai dan kami segera meninggalkan RS untuk melanjutkan pengepakan barang-barang kami karena kami akan pulang ke Jakarta sore ini.


Ibu di Rumah Sakit (3)

resize-of-picture-513Hanya sekitar 5 menit dari apartemen, kami sudah tiba di RS. Penang Adventist Hospital, adalah sebuah RS yang terletak di Jalan Birma, Penang, yang dikelola oleh Gereja Advent Hari Ketujuh. Jalan Birma adalah sebuah jalan dengan lebar kurang lebih 4 meter, jalan yang teduh, dilindungi pohon-pohon besar di kanan kirinya, seperti jalan Dago di Bandung. Sepanjang jalan itu, ada beberapa pertokoan yang tidak terlalu besar dan juga banyak kedai dan gerobak makanan yang sudah bisa dipastikan kelezatannya, antara lain nasi campur, nasi ayam hainam dan laksa ayam juga laksa penang.

Kalau ingin mengetahui lebih jauh mengenai RS ini bisa mengunjungi website www.pah.com.my. RS nya besar dan pasti bersih. Penanganan administrasi tidak berbelit-belit dan memiliki SOP yang jelas. Tiba di RS, ibu langsung diarahkan ke laboratorium. Di laboratorium, setiap karyawan bekerja dengan cepat dan cekatan. Aku melihat karyawan yang bekerja di RS ini berasal dari suku Melayu, India, Keling dan juga Indonesia. Namun, mereka dapat bekerjasama dengan sangat baik, sejauh yang aku perhatikan. Tak lama kami menunggu, sampai pada giliran Ibu. Ibu diambil darah kurang lebih 10 cc untuk pemeriksaan. Dan selanjutnya yang sedikit menjadi masalah adalah ibu belum bisa buang air kecil, jadi dianjurkan untuk banyak minum air putih. Cukup lama kami menunggu, kami sudah sempat senewen. Maafkan aku ya, bu, memang ternyata untuk merawat orang sakit, perlu kesabaran yang luar biasa, aku salut pada para suster dan dokter, dimanapun mereka berada.

Makan Pagi di Cafetaria PAH
Setelah ibu berhasil menyerahkan urinenya untuk diperiksa. Kami dibawa Eda dan mertuaku ke Cafeteria RS. Namanya juga RS Advent, maka menu yang disajikan adalah menu-menu vegetarian. Makanan dari daging, dibuat sedemikian rupa, namun tetap berasal dari sayur mayur. Mula-mula terasa aneh di lidah, sebuah chicken drumstick terbuat dari kembang tahu yang menjadi bercitarasa daging. Menu favoritku, kembang tahu dengan cairan gula yang hitam pekat, nasi goreng atau bihun goreng dan drumstick serta jus segar, kadang orange, kadang jambu atau teh manis dan susu soya atau susu kedelai dalam dua pilihan (manis atau tawar). Di hari pertama, di RS ini ibu tampak lelah, walau belum menjalani pemeriksaan yang lain. Mungkin ibu masih kelelahan dengan perjalanan semalam dengan fisik yang tidak terlalu sehat.
resize-of-picture-518

Tidak seperti di laboratorium di Indonesia, yang biasanya mengharuskan kita untuk kembali lagi untuk pengambilan darah ke-2. Di RS ini kami hanya tinggal menunggu hasil, langsung di ruang tunggu dokter spesialis penyakit dalam yang kita inginkan, dalam hal ini kami memilih dr. Lim Hooi Leng di bilik 119. Dr. Lim Hooi Leng, mempunyai jabatan sebagai Consultant Physician, Nephrologist dan expert di bidang Internal Medicine. Pasiennya cukup banyak dan ternyata banyak juga orang Indonesia yang berasal dari Medan, berobat ke Penang. Hampir 2 jam kami menunggu giliran untuk berkonsultasi, begitu mendapat giliran, bertemulah kami dengan sosok Dr. Lim. Wanita yang gesit, cerdas namun tampak kaku dan pendiam. Ia tidak banyak bicara, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat hasil pemeriksaan laboratorium ibu. Dengan cermat, beliau mendengarkan penjelasan kami mengenai riwayat kesehatan ibu dan kejadian terjatuhnya ibu di kamar mandi. Satu hal yang berbeda dengan RS di Indonesia, adalah sistem informasi yang sudah online dari ruang dokter ke laboratorium dan atau ke ruang-ruang yang lain. Beliau juga memeriksa ibu dengan seksama. Akhirnya, tanpa banyak kata, dr. Lim menulis rujukan agar ibu melanjutkan pemeriksaan ke ruang radiologi untuk melakukan CT Scan dan segera menyampaikan hasilnya. Sejujurnya aku lemas, tapi tak mengapa, dengan CT Scan akan diketahui lebih lanjut mengenai pendarahan atau hal-hal lain yang terjadi pada ibu akibat jatuh.

Kami menuju ruang CT Scan, tanpa harus membayar lebih dahulu, kami hanya menunjukkan ID Card ibu, CT Scan bisa dilakukan. Aku menunggu ibu didalam, sementara adik dan Edaku mencari makan siang. Kami yang muda-muda ini mungkin tidak terlalu berselera untuk makan, tapi diantara kami, ada ibu dan ibu mertua yang sedang sakit, jadi kami semua tetap harus makan. Kami menunggu hasil CT Scan di ruang tunggu, sambil menikmati lunch box kami, nasi ayam…


Sekitar pukul 13.00, kami diberitahu bahwa hasil CT Scan telah keluar. Kami, aku dan adikku beserta ibu juga menemui dr. Lim di ruang radiologi. Rupanya person in charge di bagian radiologi sudah memanggil dan memberitahukan mengenai hasil ibuku, karena sekali lagi, saat ini era nya digital, jadi hasil CT Scan ibu sudah terkirim ke komputer di ruang konsul dr. Lim. Dokter memanggil kami dan membicarakan hasil scan ibu. Dari hasil tersebut, tampak ada gumpalan darah yang belum terlalu lama (memang kejadian terjatuhnya ibu baru terjadi kurang lebih 1 minggu yang lalu), tampak dari warnanya yang berbeda dengan yang ada di sekitarnya. Rupanya gumpalan inilah, yang mengganggu sistem saraf ibu. Gumpalan darah ini terjadi karena tingginya angka gula darah ibu saat itu, sehingga terjadi pecah pembuluh darah di otak, yang kemudian mengakibatkan ibu kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh di kamar mandi. Dokter meminta ibu untuk rawat inap mulai hari itu untuk memudahkan observasi selama tiga hari.


Ibu ke Penang (2)

Perjalanan membawa Ibu tidak semudah yang aku bayangkan, karena Ibu dalam kondisi lemah. Kami berangkat dengan pesawat Air Asia sore hari dan tiba di Penang malam hari. Kami dijemput oleh pasangan suami istri A Keong, yang langsung mengantar kami ke Apartemennya. Disana kami bertemu dengan ibu mertua dan ipar, yang telah lebih dulu tiba, juga untuk berobat di Penang Adventist Hospital.

Kami menginap di sebuah apartemen tua berlantai 7. Walaupun tua, apartemen ini masih cukup baik, lift berfungsi dengan baik. Di lantai dasar, terdapat tempat parkir mobil, yang dijaga seorang satpam berwajah muram. Pelataran parkir yang tidak luas itu tertata dengan baik. Apartemen terletak ditengah-tengan perumahan warga. Apartemen yang kami tempati terdiri dari tiga buah kamar. Kamar pertama dengan kamar mandi didalam saat ini ditempati ibu mertua dan adik iparku. Kamar kedua ditempati pasangan suami istri Silitonga, yang juga berobat di rumah sakit yang sama dengan ibu mertuaku. Kamar ketiga adalah kamar yang akan kami tempati bertiga, kamar dengan satu tempat tidur dan tambah sebuah extra bed. Apartemen ini dilengkapi sebuah dapur dengan lemari es, rice cooker, pemanas air, peralatan gelas, piring, sendok garpu dan peralatan lain lengkap. Ada ruang tamu dan ruang makan dengan meja makan untuk 6 orang. Dengan sewa kamar sebesar RM 15, buat kami, kamar ini sudah cukup.

Inilah gambar apartemen kami dan pemandangan yang bisa kami nikmati dari atas apartemen

Keesokan harinya, pagi-pagi, Eda (adik perempuan suamiku-pen) dan adikku sudah mendaftarkan ibu untuk mendapatkan nomor di RS. Di Penang, pukul 6.30, masih tampak gelap, namun pukul 17.00, sudah mulai gelap. Jadi, untuk keluar rumah atau apartemen pagi-pagi, kami masih agak ragu-ragu. Sekitar pukul 08.00, kami dijemput oleh A Keong dan istrinya. Kami memang belum sarapan, karena ibu diharuskan berpuasa.


Ibu Jatuh (1)

Ibu sudah mengidap penyakit Diabetes sejak 10 tahun yang lalu, tepatnya baru menyadari penyakitnya setelah Bapak meninggal tahun 1998. Maklum selama itu, Ibu tidak pernah memperhatikan kesehatannya sendiri. Ibu hanya terfokus pada kesehatan Bapak. Namun, walau sudah divonis mengidap Diabetes, Ibu yang sangat ahli memasak ini tidak mau berdiet dengan serius. Ibu tetap diam-diam mengkonsumsi makanan yang manis-manis, seperti es krim dan coklat dan juga makanan yang mempunyai kandungan kolesterol cukup tinggi, seperti otak dan kulit (tunjang).

Puncak dari keadaan ini adalah pada tanggal 26 Juni 2008, tepatnya pada hari sidang tesis S2 ku di FISIP UI. Pagi itu, aku berangkat untuk melaksanakan sidang mempertahankan hasil karya ilmiah yang kubuat dan mengakhiri perjuanganku mengikuti kuliah selama dua tahun di FISIP UI. Setelah menelpon Ibu, aku diantar suamiku berangkat ke FISIP UI untuk Program S2 yang beralamat di Jalan Salemba. Mengenai Sidangku, akan kuceritakan pada posting tersendiri. Singkat cerita, aku dinyatakan lulus dan aku langsung kembali pulang ke rumah. Siang itu, aku tidak langsung ke rumah Ibu, namun aku sudah menelpon memberitahukan kelulusanku. Tentu saja Ibu menyambut gembira dan mengucapkan Selamat atas hasil perjuanganku dalam Sidang hari itu.

Sore harinya, masih dengan sisa kelelahan yang ada, maklum aku pulang naik kendaraan umum, dengan membawa beberapa bundel tesis disertai bukti-bukti otentik kuesioner hasil penelitianku, juga beberapa buku pendukung, aku menerima telpon dari adikku yang memberitahukan bahwa Ibu terjatuh di kamar mandi. Aku menjawab telpon itu dengan menanyakan kondisi Ibu, apakah Ibu sehat, muntah, benjol dimana dan sebesar apa. Aku juga menelpon dokter keluarga kami untuk menanyakan apa yang harus kami lakukan, dokter menyarankan untuk melakukan rontgen kepala. Rontgen kami lakukan esok harinya dan diberitahukan bahwa hasilnya ”tidak ada retak”. Kami juga melihat kondisi Ibu secara kasat mata, tidak ada masalah, hanya lemas, pucat dan berjalan agak terhuyung-huyung.

Beberapa hari setelah kejadian itu, kami kakak beradik berembug untuk membawa Ibu berobat ke Penang, demikian juga saran yang disampaikan oleh keluarga suamiku karena ibu mertua juga pernah berobat disana. Kami juga menyadari bahwa selama 10 tahun mengidap Diabetes, belum ada penyembuhan yang memberi hasil yang signifikan bagi kesehatan Ibu karena selain itu tidak mau taat berdiet, kami juga belum menemukan obat yang pas dan sesuai, ditambah lagi dengan masalah jatuhnya Ibu tempo hari. Akhirnya diputuskan, aku dan adikku, Adinda berangkat menemani Ibu ke Penang.