Langkah Kecil di Jalur Setapak Papandayan

30.08.2025 Mencapai 2.185 mdpl saja, demi apa seumur aku (baca : pra lansia) naik gunung? bukan, bukan untuk mengejar puncak, tapi untuk merayakan hidup, melatih kemampuan fisik, menjaga keseimbangan kesehatan jiwa raga, kebahagiaan, kebersamaan (saling memberi semangat) dan rasa syukur saat memandang keindahan alam.

Jujur, karena sesuatu dan lain hal, kami terlambat 2 jam keberangkatan, sehingga ini yang bisa kami capai karena hari mulai gelap dan badan kami mulai letih. Bersyukur bisa melangkah sampai sejauh ini.

Apakah aman untuk mencapai ketinggian ini, bagi amatiran seperti aku? Menurut sumber yang aku baca, ketinggian antara 2.000 sampai dengan 2.500 mdpl masih aman tetapi sebaiknya dengan persiapan fisik, jalan pelan, hidrasi cukup, dan evaluasi kesehatan sebelum berangkat. Dan kuncinya adalah titk memaksakan diri saat berada di lapangan, jika sudah tidak kuat, bisa beristirahat atau kembali.

Pada keberangkatan menapaki jalan setapak Gunung Papandayan ini, aku hanya melakukan persiapan fisik rutin jalan pagi selama 30 menit atau kurang lebih 3 kilometer setiap hari. Persiapan ini tidak bisa dibilang cukup karena usiaku, mestinya ada persiapan fisik yang lain yang lebih menunjang, bahkan perlu pemeriksaan kesehatan untuk mengantisipasi agar tidak terjadi acute mountain sickness. Mendaki gunung tidak hanya bermodal nekat atau keinginan besar tapi juga mesti didukung dengan persiapan, agar menjadi pengalaman yang asik.

Ada beberapa gunung yang menjadi rekomendasi Hiking Aman untuk Lansia (< 2.000 mdpl) di daerah Jawa yaitu :

Gunung Andong (1.726 mdpl, Magelang, Jawa Tengah)
Jalur relatif singkat (1–2 jam).
Pemandangan indah, sunrise populer.
Cocok untuk pemula & lansia dengan kondisi sehat.
Gunung Telomoyo (1.894 mdpl, Jawa Tengah)
Bisa ditempuh dengan kendaraan hingga dekat puncak.
Cocok untuk lansia yang ingin menikmati pemandangan tanpa trek berat.
Bukit Panguk Kediwung (±400 mdpl, Bantul, Yogyakarta)
Spot foto dengan view lembah & kabut pagi.
Jalan singkat dan aman.
Gunung Panderman (2.045 mdpl, Batu Malang, Jawa Timur – sedikit di atas 2.000)
Jalur tidak terlalu ekstrem, tapi butuh stamina.
Aman jika dilakukan perlahan.


Puisi : Belenggu Nurani Diatas Kursi

“Demokrasi adalah panggilan hati nurani, memahami bahwa setiap suara memiliki kekuatan yang sama.” — Tan Malaka

kursi bukan singgasana emas/dipahat dari peluh rakyat/rapuh dipikul keserakahan/tegak ditopang keadilan

duduk bertelinga jadi mata air/tangkap isak hujan hari kemarau/biarlah hati jadi jendela terbuka/suara rakyat berhembus tanpa sekat

jangan jadikan takhta meninggi/kursi itu lahir dari bumi/dari tanah basah harapan dan doa/dari suara yang tak boleh sia-sia

duduk tanpa nurani diguncang/kursi bara bakar lidah khianati rakyat/duduk jiwa bening tuntun jalan/cinta rakyat bukan karena kuasa


Puisi : Larik Kebaya Lestari

Larik Kebaya Lestari

laksana rembulan renda malam/langkah halus tapaki waktu/tiada gemuruh dalam suara/bumi tunduk mendengar

di balik tirai mata bening/tersimpan rahasia lazuardi hati/sejatinya perempuan anggun/lahir dari budi, mekar dalam nurani

di beranda sunyi duduk bersimpuh/berkebaya halus, bersulam waktu/kain songket bagai alun sungai/terurai kisah leluhur dalam bisu

hanya hati bermegah/tiada gemerlap selain budi/perempuan bersahaja sejatinya/tak lekang karena setia berakar

Poem by de Laras. Picture made by AI


Review : Kimono Musim Dingin – Christin Liem

08.07.2025 Arigato Christiani Suryani @christinliem21 yang telah menerbitkan buku berjudul Kimono Musim Dingin pada Maret 2025. Buku setebal ix dan 287 halaman ini berhasil mengembalikan kenanganku tentang Jepang, yang pernah kukunjungi pada tahun 1992 dan menjadi tempatku belajar selama 2.5 bulan.

Kisah perjalanan yang dikemas apik, mengunjungi beberapa tempat yang menjadi jalur keseharianku seperti Shinjuku dan tepat dua kota tempatku field trip yaitu Osaka dan Hiroshima.

Baru tiba hari ini dengan aman setelah ekspedisi menempuh perjalanan menembus hujan dan banjir. Ini adalah buku ke-7 yang wajib diselesaikan di 2025

Kimono Musim Dingin
©2025, Christin Liem

Penyunting : Yuli Triyuliani

Penata Letak : OPM Creative

Pendesain Sampul : pamungkasragil

14 x 20 | x, 290 hal.
Softcover
Nonfiksi, Traveling


Dulu dan Sekarang

Dulu, apa ya yang mereka bicarakan? apakah tentang kelomang dan siput yang masuk kedalam pasir karena gelombang air laut? Atau mungkin tentang kedua anjing yang terpaksa dititip karena kami berlibur? Atau mungkin film di televisi yang akan mereka tonton selepas belajar? Atau guru yang terlalu banyak memberi tugas? Atau teman yang kerap ikut makan bekal mereka? Atau mama yang terlalu berisik membangunkan mereka di hari sekolah?

Sekarang, dengan berjalannya waktu yang serba cepat, pembicaraan mereka sudah melebihi apa yang bisa kupikirkan, mungkin pengaruh pesatnya teknologi, wawasan mereka mendunia walau mereka menjalani dunia kerja dari nol, dari level terendah, khususnya untuk kakak yang bekerja dan studi di luar. Mereka menjadi seperti ini bukan tiba2, mereka bertumbuh dan berproses. Mereka sadar, kami, orangtuanya hanya membekali mereka dengan pendidikan dan pengetahuan juga agama. Kami bukan siapa-siapa, sehingga tidak dapat memberi hak istimewa (privileged) apa-apa.

Mereka berjuang dengan doa kami. Mereka bangun pagi, pulang malam, berdesakan dengan kaki satu menggantung di KRL demi masa depan mereka sendiri. Atau kakak mbarep yang harus menjalani 2 dari 3 shift karena ramainya resto dan kurang sdm. Atau kakak tengah yang siap dikomplain pelanggan dengan bahasa yang antah berantah 7/24. Atau si bungsu yang mestinya bebas magang (karena prestasi akademik dan keaktifannya berorganisasi di kampus) tapi tetap memilih magang untuk mengenali dunia kerja. Mereka mesti mampu bertahan dan berjuang dalam setiap aspek di kehidupan nyata. Mereka selalu saling mendukung dan berkomunikasi untuk banyak hal dengan berbagai cara, karena berbeda lokasi.

Kalau disebut generasi mereka generasi “manja”, aku tidak setuju, ada banyak anak muda Indonesia yang berjuang untuk masa depan Indonesia, dengan mulai dari memperbaiki dirinya dan hidup mandiri. Kiranya Tuhan selalu menyertai mereka dan anak Indonesia yang sedang berjuang. Amin


Rekor MURI Menulis 10.000 Fiksi Mini

Saya siap jadi bagian dari sejarah!

Bersama Gol A Gong, Duta Baca Indonesia, dan ribuan penulis dari seluruh Indonesia, mari kita pecahkan Rekor MURI dengan menulis 10.000 Fiksi Mini!

Kamu juga bisa ikut ambil bagian dalam gerakan literasi terbesar ini. Yuk, daftarkan dirimu sekarang melalui narahubung berikut:

Mila: 0895-3846-52297
Indiana: 0896-7732-8203
Itsna: 0898-8240-712
Risma: 0895-0894-3674
Alda: 0856-4061-9661

Jangan sampai ketinggalan.

Jadilah bagian dari sejarah literasi Indonesia!

RekorMURI2025

10000FiksiMini

GerakanLiterasiNasional

MenulisBersamaGolAGong

DutaBacaIndonesia

AyoMenulis

LiterasiIndonesia


Be for Your Heart to be at Peace

Dostoevsky said: “I never needed your love in return. All I ever wished was for your heart to be at peace.”

because real love it doesn’t ask, it simply gives loving you  was never about holding on. It was about feeling alive in your presence, about the way you lit up, the darkest corners of me without even trying, you were a warmth. I never knew I was missing a moment that felt like forever. Even if it passed too soon, you gave me something timeless the kind of joy that  no goodbye can take away, so even if we part know this : I have loved, I have felt, and because of you I will never be the same.

Written by @the.carazon

#poetry#poem#explore#quotes#poet#relationshipgoals#deep#poetic


Festival Sastra Yogyakarta “RAMPAK” 2025

Festival Sastra Yogyakarta, izin repost dari IG @festivalsastrayk dan IG @dinaskebudayaankotajogja

Festival Sastra Yogyakarta selalu memiliki semangat dan bercita-cita menjadi ruang perayaan bersama, tempat bermuaranya apresiasi dan ekspresi sastra, dari pelaku dan penikmat sastra. Setelah “MULIH” (2022), “SILA” (2023), dan “SIYAGA” (2024), FSY 2025 hadir mengusung tema “RAMPAK”.

“Rampak”, memiliki artinya serempak dan bersamaan. Rampak juga berarti setara. Rampak kemudian dimaknai oleh FSY sebagai kerja kolaboratif yang setara, yang memberi ruang secara harmonis untuk beragam perspektif, medium, dan pengalaman bersastra bertemu dan saling menguatkan.

Di Yogyakarta, diseminasi dan apresiasi karya sastra tumbuh subur dalam suasana sosial yang dihidupi oleh berbagai komunitas. Sastra di kota ini bukanlah sebuah lanskap individual atau arena pertarungan ego atau estetika semata, melainkan ladang kolaborasi yang tiada ujungnya. Oleh karena itu, rampak menjadi penting sebagai identitas gerak komunitas dalam bersastra.

Nantikan ragam program festival yang merepresentasikan semangat “RAMPAK” yang akan berlangsung di bulan Agustus ini ya. Mari kita bersama-sama, secara rampak, merayakan sastra ya, Kancasastra!?

#RAMPAK

#FSY

#FestivalSastraYogyakarta