Hari ke-3 : Pangururan, Tele, Merek dan Berastagi

Langit masih gelap, walau tanpa AC di kamar kami di Saulina Resort Hotel, Aek Rengat, tapi dingin rasanya menusuk tulang, membuat kami malas bangun dari tempat tidur, tapi ini sudah jam 6 pagi, masak hanya berdiam diri di kamar ? ayo bangun…bangun…kita mau jalan-jalan…. :-D…dengan malas, anak-anak pun bangun, cukup sikat gigi dan cuci muka, hotel Saulina memang seperti hanya untuk tempat mampir tidur saja, pagi-pagi sudah kami tinggalkan lagi.

Pagi ini, saatnya mengeksplorasi kota Pangururan. Kota Pangururan adalah kota kecil, yang merupakan ibukota dari Kabupaten Samosir.  Cerita selengkapnya dan foto langsung di klik diatas yaa.

Dari Pangururan, kami meluncur ke Pelabuhan Simanindo. Suami penasaran ingin menyeberang ke Pulo Silalahi, jadi kami pergi ke Pelabuhan Simanindo, mencari informasi, apakah kami bisa menyeberang kesana. Ternyata untuk kesana, kami harus menyewa 1 kapal, dengan biaya yang tidak murah. Sedangkan yang ada rutin dari pelabuhan Simanindo adalah perjalanan dengan kapal kecil ke Pelabuhan Tigaras, Parapat, dengan waktu tempuh 30 menit saja.

Setelah berjalan sebentar di sekitar Pelabuhan, berfoto dan bahkan melihat kapal merapat dengan membawa ember plastik berisi ikan pora-pora, juga membeli andaliman di penjual sayur di pelabuhan. Kami lanjut untuk kembali lagi ke Pasir Putih Parbaba, yang berbeda suasananya dengan saat kami datang kemarin sore.

Hari mulai beranjak siang, kami kembali ingin mencoba masuk kedalam Makam Keluarga Manihuruk, jadi kami kembali ke rumah keluarga untuk mencari penjaga, yang menyimpan kunci, beruntung penjaga ada, jadi kami bisa masuk kedalam Tugu tersebut.

Dari sana, kami kembali ke penginapan untuk mandi dan check out karena hari sudah semakin siang dan kawatir perjalanan kami menuju Brastagi melalui Tele akan terganggu kabut.

Kami meninggalkan hotel Saulina Resort yang belum sempat kami jelajahi termasuk makanannya, karena waktu itu, tepat pukul 12.00. Perjalanan kami lanjutkan dan di Menara Pandang Tele, akhirnya kami menghentikan mobil dan naik ke Menara sambil tak henti-hentinya mensyukuri keindahan Danau Toba dan sekitarnya, berat rasanya hati ini meninggalkan Samosir dan Danau Toba. Berlama-lama kami disana sambil beristirahat menikmati mie panas pedas dan teh hangat di Menara Pandang Tele.

Pukul 15.00 kami meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan ke arah Merek yang memakan waktu hampir sekitar 3 jam lebih, akibat salah jalan di sekitar Sidikalang untuk membeli kopi.

Akhirnya kami tiba di Merek pukul 18.30 dan berhenti untuk makan malam dengan menu yang kurang lebih sama seperti kemarin, yaitu mie goreng, capcay goreng dan nasi goreng, yang menghabiskan total Rp 86 ribu.

Hari mulai gelap dan semakin dingin, melewati perkebunan buah dan jalan yang sempit cenderung rusak akibat berlubang-lubang, sementara kendaraan kami melaju bersama-sama dengan angkutan umum yang sudah biasa melewati jalur itu. Anak-anak sudah tertidur, aku terkantuk-kantuk menemani suamiku. Pedagang yang menjual buah-buahan dan perkebunan buah kami lewati, tanda-tanda sudah semakin dekat dengan kota Brastagi.

Kurang lebih pukul 20.30 kami mulai memasuki wilayah Gundaling dan perjalanan sempat terhenti dengan arak-arakan anak-anak yang bermalam takbir di hari itu. Puji Tuhan, kami tiba di penginapan kami malam ini di Berastagi Cottage, Bukit Gundaling.

 

 


Makam Raja Sidabutar, Tomok

Makam Raja Sidabutar, yang kami kunjungi di Tomok, merupakan makam yang terbuat dari batu utuh tanpa persambungan yang dipahat untuk tempat peristirahatan Raja Sidabutar penguasa kawasan Tomok pada masa itu. Sidabutar merupakan orang pertama yang menginjakan kakinya di Pulau Samosir. Kuburan yang sudah berumur lebih dari 200 tahun itu, merupakan kubur batu.

Sebelum memasuki lokasi ada prosesi pemakaian ulos. Selain makam raja Sidabutar, terdapat juga makam raja kedua yang walaupun masih keluarga tetapi bukan keturunan langsung raja Sidabutar. Terdapat juga makam raja berikutnya yang dihiasi ornamen salib, menandakan pada masa pemerintahannyalah masyarakat Batak sudah mengenal agama (Kristen) yang dibawa oleh misionaris asal Jerman yaitu Nomensen.

 

Kunjungilah Makam ini, jika anda singgah di Tomok, karena ini bagian dari sejarah dan budaya bangsa kita


Wisata Budaya Kursi Batu Raja Siallagan

Wisata budaya di Huta Siallagan ini bernama Kursi Batu Raja Siallagan karena konon terkenal dengan kursi batu yang pada jaman dahulu digunakan untuk mengadili seorang terdakwa dan sering disebut juga sebagai “batu pengadilan”. Setelah membayar retribusi kompleks wisata sebesar Rp. 2000 / orang, kami berjalan keliiling tanpa pemandu, karena sudah membawa pemandu sendiri, yaitu suami ku…hehe.. kami berjalan keliling lokasi desa tradisional dimana raja-raja Batak terdahulu tinggal. Di desa inilah terdapat mekanisme pengadilan kuno. Terdakwa sebelum diadili dipenjara di Schand Blok (pemasungan) untuk kemudian dijatuhi hukuman maksimal penggal.

Kursi Batu Pengadilan

Schand Blok

Aku salut dengan kebersihan di lokasi ini, kami masuk ke sebuah rumah adat yang dijadikan Museum, dimana didalamnya terdapat aneka kain tradisional Batak, alat tenun untuk membuat ulos, perkakas untuk memasak dan beberapa peralatan rumah tangga yang lain.

Alat menenun ulos

Kami juga melihat sekumpulan anak sekolah yang sedang menerima penjelasan dari tour guide mereka.

Di lokasi ini juga terdapat tempat penjualan aneka kerajinan khas Batak, seperti kaos, kain, gantungan kunci dan aneka ukiran dari Batak.



Hari ke-2 : Tomok sampai Aek Rengat

Hari ini adalah hari yang panjang buat kami, tapi benar-benar merupakan perjalanan yang menyenangkan. Ini hari kedua kami berada di Utara, tepatnya kehadiran kami di Pulo Samosir, sesuai dengan niat kami setelah sarapan, hari ini, Senin, 29 Agustus 2011, kami akan menyusuri daratan Pulo Samosir mulai dari Tomok sampai ke Aek Rengat, yaitu Tomok, Tuk Tuk, Ambarita, Parbaba, Lumbansuhi-suhi, Pangururan dan Aek Rengat.

Tomok adalah sebuah desa kecil yang terletak di pesisir timur Pulo Samosir. Tujuan pertama kami adalah Dermaga Tomok, tempat kami tiba pertama kali semalam. Kami sengaja datang kembali pagi ini untuk melihat suasananya di pagi ini. Walau dalam suasana libur, namun dermaga ini tetap ramai, banyak kegiatan dilakukan disana. Kami mulai menyusuri deretan toko-toko yang menjual aneka barang souvenir, kain ulos dan pajangan-pajangan khas Danau Toba.

Dari arah Tomok menuju Pangururan, ada sebuah jalan kecil di sisi sebelah kiri yang ramai dengan kios-kios yang tidak kalah ramainya dengan toko yang berjajar di jalan utama. Di jalan itu, terdapat Obyek Wisata Budaya Sigale-gale. Dalam lingkungan obyek wisata itu terdapat beberapa rumah tradisional Batak dan pertunjukan Sigale-gale, yang dulu konon adalah patung kayu yang digunakan untuk menghibur Raja Samosir yang berduka atas meninggalnya putra kesayangannya. Patung itu dapat digerakkan menyerupai manusia. Saat kami disana pertunjukan itu belum ada, jadi kami hanya berfoto sebentar dan pergi menuju obyek wisata yang lain.

Obyek wisata yang lain, yang ada di tempat itu, yaitu Kuburan kuno, makam Raja Sidabutar. Makam yang terbuat dari batu alam utuh tanpa sambungan yang sudah ratusan tahun lalu. Jasadnya tidak dikubur, tetapi disimpan didalam batu.


Selanjutnya kami menuju ke Musium Raja Batak, yang terbuat dari kayu tua berusia puluhan tahun. Museum ini berbentuk rumah adat Batak yang cukup indah. Memasuki ke dalam museum, nuansa megalitikum cukup terasa, hal ini ditandai dengan banyak batu maupun peninggalan masa lalu yang bercorak patung megalitukum. Beberapa alat yang tersisa juga menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat zaman dahulu yang sepertinya menggantungkan hidup dari berburu dan bercocok tanam.


Puas berada di Tomok dan sekitarnya, kami melanjutkan perjalanan ke wilayah Tuk Tuk. Dalam perjalanan kami menuju Tuk Tuk, tak putus-putusnya kami terpesona pada keindahan alam Danau Toba. Sesungguhnya semalam kami juga bisa menginap di hotel Silintong, Tuk Tuk, namun karena sulitnya komunikasi, kami memutuskan menginap di Ambarita, tapi karena kami penasaran dengan hotel ini, kendaraan kami bergerak melaju kesana.

Tuk Tuk memang layak disebut sebagai sebuah Kampung Wisata, walau jauh dari jalan raya, namun wilayah ini ternyata cukup ramai didatangi wisatawan dalam dan luar negeri. Banyak wisatawan yang kami temui bersepeda di sepanjang jalan. Cafe dan resto bertebaran, cukup memuaskan pengunjung. Akhirnya kami tiba di Hotel Silintong, yang ternyata cukup jauh dari wilayah Tomok, bersyukur kami tidak menginap disana semalam, karena jalanan tentu akan gelap menuju tempat ini, apalagi kami tiba di Tomok sudah larut semalam.

Perut kami sudah mulai lapar sesungguhnya, apalagi dengan bau bakaran daging di depan hotel Silintong, tapi tidak berani untuk mampir karena meragukan kesegaran dagingnya, seperti banyak diceritakan orang. Akhirnya kami lanjutkan perjalanan kembali ke hotel Sopo Toba melalui Huta Sialagan. Di Huta Sialagan, ada sebuah tempat wisata budaya yang fenomenal yaitu Wisata Budaya Kursi Batu Raja Sialagan. Salut tempatnya bersih sekali.

Puas berkeliling di Huta Sialagan dan hari juga semakin siang, kami segera menuju hotel untuk check out dan melanjutkan perjalanan kami ke Parbaba, yang sesungguhnya menjadi tujuan utama kami pulang ke kampung, yaitu berziarah ke makam mertua dan ompung doli nya anak-anak, yaitu Amang JB Sidabariba atau Ompung Luhut Doli.

Setelah berziarah dan bertemu dengan kerabat disana, anak-anak bermain di Pasir Putih Parbaba.

Kami berziarah juga ke makam bapak angkatku, Amang AE Manihuruk atau Ompung Alus Doli di desa Lumbansuhi-suhi, sayangnya kami tidak bertemu dengan penjaga rumah sehingga tidak dapat masuk ke makam, kami akan coba lagi besok.

Sementara kami sudah sangat kelaparan, walau di sepanjang jalan ada beberapa rumah makan, yang agak diragukan, jadi kami langsung saja menuju ke Pangururan, dan setelah berputar-putar disana, kami sampai di rumah makan Chinese Food, tepat pukul 16.15 dan disana hanya tersedia menu nasi goreng, mie goreng, cap cay goreng dan babi kecap. Yaa kami pesan semua…..haha lapar….6 nasi putih, 4 the manis, dan semua menu tadi, hanya dengan membayar Rp 110 ribu rupiah saja….mantabs. Ibu yang memasak, luar biasa terampil, dengan 4 masakan hanya dalam waktu tidak sampai setengah jam, mungkin karena melihat wajah-wajah kelaparan kami ya?

Perjalanan sudah cukup melelahkan hari ini. Selesai makan, kami menuju penginapan kami malam ini di Saulina Resort Hotel, Aek Rangat. Tempat yang luar biasa indahnya, pemandangannya.

Setelah check in, masuk kamar dan beristirahat sejenak, kami memutuskan untuk pergi ke pemandian air panas dan sayangnya kami salah pilih tempat. Not recommended lagi, dulu kami pernah kesana. Setelah mengantar aku dan anak-anak perempuan ku ke hotel, suamiku pergi lagi bersama si bungsu ke tempat pemandian air panas yang lain.

Semua tempat yang kami kunjungi hari kedua ini akan aku tulis lagi dalam postingan berikutnya.


Terung Belanda : Buah, Jus dan Sirup

Salah satu oleh-oleh khas dari Sumatera Utara, yaitu Medan dan sekitarnya adalah terung belanda, yang mempunyai nama latin Solanum betaceum. Di Sumatera Utara, buah ini banyak dapat ditemui di pasar-pasar buah, khususnya di Berastagi dan wilayah Karo. Di Pulau Jawa, sudah mulai dikembangkan sejak tahun 1941 di daerah Bogor, Jawa Barat. Mengapa disebut dengan terung Belanda mungkin pertama kali dibawa oleh orang Belanda ke Indonesia, padahal buah tersebut berasal dari daerah Amazon di Amerika Latin.

Terung Belanda lebih masuk dalam kategori buah dan bukan sayur, karena lebih cocok dikonsumsi sebagai buah segar, minuman, jus, selai atau sirup, walau kadang dimanfaatkan pula sebagai sayuran. Rasa buah ini manis asam. Bentuknya lonjong seperti dalam gambar. Kulit buahnya tipis, licin dan berwarna kemerahan, merah jingga atau kekuningan dan lama-lama agak berwarna kehitaman. Karena kulitnya yang licin, maka jika akan dibuat menjadi minuman jus segar, cukup dicuci bersih, dipotong-potong dan langsung diblender, tidak usah dikupas kulitnya.

Buah ini mengandung banyak manfaat, mengandung provitamin A yang baik untuk kesehatan mata, vitamin C, mengobati sariawan dan panas dalam sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Terung Belanda mengandung antosianin yang termasuk kedalam golongan flavonoid yang merupakan salah satu jenis antioksidan, serat yang tinggi di dalam buahnya bermanfaat untuk mencegah kanker dan sembelit.

Selain dalam bentuk buah segar, di wilayah Brastagi, Karo dan Medan, sudah banyak dijual dalam bentuk sirup botolan. Selamat menikmati.

Mantabs 🙂


Pantai Pasir Putih Parbaba

Parbaba,  adalah nama sebuah desa di Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, yang merupakan tempat asal mulanya keluarga suamiku ada. Letaknya kurang lebih 25 km dari dermaga penyeberangan Kapal Ferry di Tomok, atau sekitar 30 menit jika kita menggunakan kendaraan bermotor dengan kecepatan sedang, karena sayang sekali jika kita yang hanya sekali-kali berkunjung ke wilayah ini kalau melewatkan perjalanan dengan alam yang indah mempesona ini dengan berkendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi.

Desa Parbaba, sebuah desa kecil yang terletak diantara Tomok dan Pangururan, mempunyai sebuah Pantai indah berpasir putih. Pantai eksotik ini berbaur meleburkan kecantikannya dengan keelokan Danau Toba yang menghias di belakangnya secara alami. Namun, pantai ini masih perlu dikembangkan fasilitasnya bagi para pengunjung, walau saat ini sudah ada beberapa rumah makan dan fasilitas toilet dan kamar mandi untuk mencuci badan setelah bermain pasir di pantai. Tentunya juga dengan pengelolaan kebersihan, parkir kendaraan dan keamanan di sekitarnya agar kebersihan pantai ini tetap terjaga.

Di pantai ini, selain berenang, berendam, bermain pasir, berjemur yang tentu menyenangkan bukan saja bagi anak-anak tapi juga bagi pengunjung semua usia, pengunjung dapat melakukan olah raga bola voli  pantai. Saat ini, untuk menikmati keindahan Danau Toba dari Pantai Pasir Putih Parbaba dan bermain disana, belum dikenakan biaya masuk, diharapkan jika suatu saat nanti itu ada, dapat dilakukan pengelolaan yang baik agar kelestarian indahnya pantai tetap terjaga, tidak seperti kebanyakan pantai di Indonesia, yang rusak karena masalah lingkungan dan manusia yang tidak peduli pada alam.

Di kemudian hari, tentu semua mengharapkan agar pantai ini dan desa Parbaba dapat berkembang seiring dengan kemajuan pembangunan seperti Tomok dan Tuk Tuk yang telah lebih dulu dikenal oleh wisatawan mancanegara, terutama dengan telah dibangunnya Dermaga Kapal Motor Parbaba, yang dapat mengantarkan wisatawan dari Tomok ke Parbaba dan kembali dari Parbaba ke Tomok.

Bersih ya pasirnya

bermain di pasir

main air, tentu doong

 


Danau Toba, yang Selalu di Hati

Dalam liburan Lebaran tahun 2011 ini, aku dan keluarga berkesempatan untuk kembali mengunjungi kampung kami yang terletak di tepian Danau Toba, tepatnya di Pulau Samosir. Keindahan Danau Toba selalu membuat kami rindu kembali kesana, namun setelah 6 tahun yang lalu kami terakhir berkunjung kesana, saat ini adalah saat yang tepat untuk kembali. Liburan kami selama 6 hari ini menyusuri wilayah di Sumatera Utara, mulai dari kota Medan, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, Siantar, Prapat, Tomok, Tuk Tuk, Ambarita, sampai dengan Pangururan, Tele, Desa Silalahi, Tongging dan Merek sampai dengan Brastagi, dan kembali ke Medan.

Seluruh perjalanan ini memberi kesempatan pada kami untuk mengagumi keindahan dan keagungan salah satu ciptaan Tuhan, yaitu Danau Toba. Danau Toba sendiri adalah sebuah danau vulkanik dengan panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer, yang terletak di Propinsi Sumatera Utara, dan merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Danau ini tercipta akibat letusan gunung berapi super (supervolcano) yang terjadi ribuan tahun yang lalu. Di tengah Danau Toba terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir, dimana kampung keluarga kami berada disana.

Letaknya yang berada di sekeliling Pulau Samosir, membuat Danau Toba menarik untuk dilihat dari berbagai sudut Pulau tersebut, diantaranya dari Dermaga Penyeberangan Kapal Ferry di Ajibata, dari Tomok, dari Desa Silalahi, dari Tongging dan dari Menara Pandang Tele.

Danau Toba dari Dermaga Ajibata

Dari Dermaga Tomok

Dari Menara Pandang Tele

Dari Desa Silalahi

dan dari Tongging


Menuju Pulau Samosir melalui Prapat

Pulau Samosir adalah sebuah pulau kecil yang berada di tengah-tengah Danau Toba. Untuk mencapai Pulau Samosir dapat ditempuh dengan beberapa cara atau jalur, salah satunya adalah melalui Prapat. Mengapa jalur ini yang kami pilih, karena kami ingin melakukan napak tilas perjalanan kami 6 (enam) tahun yang lalu saat anak-anak masih kecil.

Dan karena rencana kami pada hari ke-2 adalah menyusuri Pulau Samosir mulai dari ujung Tomok sampai dengan Aek Rangat, maka hari ke-1 ini kami harus tiba di Pulau Samosir sesuai dengan rencana dan pemesanan hotel kami jauh hari sebelumnya

Oleh karena itu, setelah membeli Roti Ganda di Siantar, kami tidak berhenti lagi di perjalanan, tujuan kami langsung menuju Dermaga Ajibata di Prapat. Dermaga penyeberangan dengan kapal Ferry ini mempunyai jadwal penyeberangan dari Ajibata ke Tomok pada pukul 8.30; 11.30; 14.30; 17.45 dan 20.30.

Kami tiba tepat pukul 17 seperti yang aku ceritakan pada tulisan berjudul Hari ke-1, ternyata antrian disana sudah sangat panjang sekali, rasanya pesimis kami bisa menyeberang sore itu. Suami mencoba turun dari kendaraan dan ternyata benar, kami harus ikut antri karena sudah ada sekitar 70 kendaraan yang antri di depan kami.

Kami mencoba menikmati kemacetan antrian penyeberangan ini, dengan turun dari kendaraan dan mengagumi keindahan Danau Toba, yang cukup lama kami rindukan ini

Antrian yang panjang ini mungkin disebabkan oleh Libur Lebaran yang cukup panjang baik bagi yang merayakannya maupun tidak, jadi memberi kesempatan bagi banyak orang untuk melakukan perjalanan.

Kami turun dan berjalan-jalan di Dermaga, mengamati kegiatan orang-orang di sekitar sana, diantaranya aksi yang menarik dari anak-anak Ajibata yang mengumpulkan koin yang dilemparkan penumpang kapal ferry ke dalam air Danau Toba yang dingin sore itu dan juga hiburan dari anak-anak yang membawakan lagu-lagu rohani dan pop berbahasa Batak.

dan yang ini juga tidak kalah menghiburnya,

dan kami pun mengisi waktu dengan ….

berfoto ria

mengamati kapal Ferry yang merapat ke dermaga

dan menikmati senja sambil menunggu kapal yang akan menyeberangkan kami ke Pulau Samosir

sambil menikmati makan malam kami didalam mobil, akhirnya antrian bergerak maju, sebagian besar kendaraan mulai diberangkatkan ke seberang. Tiba giliran kami, kendaraan kami masuk dalam area pemberangkatan, setelah mendapat nomor, suamiku membeli tiket penyeberangan sebesar Rp 95.000,- per kendaraan.

Tepat pukul 20.30, seluruh kendaraan telah berada didalam kapal dan siap berlabuh. Lama perjalanan ke Pulau Samosir 45 menit, aku nikmati didalam mobil saja, sementara anak dan suamiku berjalan-jalan keatas dek kapal.

Dermaga Tomok mulai nampak dan tak lama lagi kami kan tiba di Pulau Samosir.